-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

22 May 2016

PASTEL TONED SKY

  • May 22, 2016
  • by Nur Imroatun Sholihat
PART #2: THE SYNONYM OF RAIN




















Langit di jendela kami berpendar semburat jingga. Jarum jam melaju perlahan bersama gerakan jemari Arda membalik lembar demi lembar. Dia masih khusyuk tenggelam dalam catatanku hingga malam menjelang. Aku beranjak untuk menutup jendela sebab udara semakin dingin saja. Aku sengaja tak menutup tirai sebab air dari langit sedang berebut turun. Aku senang menatap hujan. Bagiku hujan telanjur bersinonim dengan rindu: rasa yang dalam diam aku selami.

Aku mempunyai perasaan teramat khusus terhadap hujan. Hujan adalah rasa yang tak pernah tuntas. Sekalipun setiap hujan akan usai, masih ada air lain yang akan jatuh di masa mendatang. Karena itu, tak sulit bagiku memutar kenangan tentang rindu. Hujan tak pernah gagal mengantarkan rasa bernama engkau dan kejadian itu.

Di setiap kampus tentu ada seseorang yang begitu memesona hingga hampir-hampir semua orang mengaguminya bukan? Di fakultas ekonomi, kami memiliki Dimas—someone you’d love even when you knew he didn’t even know you. Dia adalah seseorang yang membuat perasaanku terhadap hujan kerap kali berganti sebelum akhirnya menjadi tetap.

“Aku nggak nyangka kamu punya kemampuan menyalin sangat cepat. Apa kamu benar-benar nggak bisa ngerjain soal akuntansi padahal jurusanmu akuntansi? Kenapa kamu selalu saja ngerjain PR dengan meniru jawaban teman?” Arda tertawa riang membaca buku harianku. Aku seperti tak mendengar apa yang Arda ucapkan sebab pikiranku di bawah hujan tetaplah sama sedari lama. Aku boleh berganti-ganti perasaan terhadap hujan tetapi yang aku pikirkan tetaplah satu.
***
Aku tergesa-gesa ingin merebahkan diri setelah kelas akuntansi perpajakan yang kelewat sulit dan diampu oleh dosen yang galak bak monster tetapi ternyata aku tidak bisa segera pulang. Hujan sore ini mengamuk sangat deras. Aku dan Sarah terpaksa sama-sama menunggu redanya hingga waktu maghrib hampir tiba. Setelah lama menatap hujan, aku melihat seorang yang tidak aku kenal mengulurkan payung kepada Sarah.

“Pake dulu aja buat ke parkiran.” Nada bicaranya hangat dan bersahabat.

“Kamu?” Sarah seperti hendak mengembalikan payung di tangannya.

“Aku kan udah biasa nerobos hujan.“ Dia berlari sembari tersenyum. Aku melihat hatinya yang seolah berlompatan girang menyambut hujan.

Aku tidak pernah menyangka bahwa seseorang bisa terlihat sangat menarik hanya karena memberikan payungnya kepada orang lain. Entah mengapa dia juga terlihat begitu memikat dengan menerobos hujan. Haha. Aku pasti tengah gila.

“Temen SMA?” Aku bertanya pada sahabatku ini. Entah apa yang mendorongku bertanya.

“Iya. Dimas. Ketua pramuka. Suka naik gunung. Suka olahraga apa aja. Suka bantuin orang. Suka hujan.” Sarah nyerocos panjang lebar sepanjang perjalanan menuju tempat parkir.

Aku melihat  motor Dimas membelah jalanan kampus. Lampu-lampu jalanan seolah membiaskan rintik-rintik hujan menjadi lukisan wajahnya di hadapanku. Ah, aku pasti sedang kelewat sentimental karena akuntansi perpajakan tadi. Aku hampir saja membuntutinya jika saja tak teringat bahwa arah pulang kami berbeda.

Dia berhasil menentukan sikapku terhadap hujan selama 2 musim penghujan. Terkadang aku merasa sangat senang melihatnya menari di bawah hujan. Terkadang aku sedih sebab hanya bisa memandangnya dari kejauhan.
***
“Lelaki yang terlihat begitu menarik di bawah hujan ternyata juga menarik di bawah matahari. Setiap hujan tiba, aku seperti mengingatnya.” Aku sama sekali tidak menjawab komentar Arda tentang catatanku. Arda berhenti membaca. Kali ini air mukanya berubah menjadi serius. 

“Siapa?”

“Aku bisa saja tak menceritakan bagian itu di diary tetapi aku ingin orang yang membacanya nanti tahu bahwa aku juga punya masa lalu di mana aku tertarik pada seseorang lain. Toh aku sama sekali tak pernah dekat dengannya. Apa kamu keberatan, Da?” Aku menatap wajahnya lurus.

“Apa kau masih mengingatnya sampai sekarang?” Arda mengajukan pertanyaan yang tidak aku duga sebelumnya tetapi aku tahu pasti apa jawabannya.

“Ya.” Aku menjawab singkat. Arda pasti tidak menyangka jawabanku demikian singkat dan bukan kata yang semestinya terucap. “Tapi bukan dia yang membuatku paling menyukai hujan. Kamu ingat kan dulu waktu KKN kamu memaksa aku berteduh padahal aku ingin menerobos hujan? Kejadian itu adalah kejadian yang paling aku ingat saat hujan tiba. Sejak saat itu, perasaanku pada hujan menjadi tetap: rindu.”
(to be continued)
----
image source: triphobo.com


0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE