PASTEL TONED SKY
- May 26, 2016
- by Nur Imroatun Sholihat
PART #3: I’M AN ENGINEER-TO-BE. AND YOU?
“Ardana Kamajaya.
Teknik Mesin. Angkatan 2009.” Giliran lelaki berbadan tegap itu
memperkenalkan diri di depan jajaran perangkat desa. Dia sedikit membungkukkan
badannya setelah itu.
Rombongan kelompok
KKN kami disambut hangat di tempat kami akan menetap 2 bulan ke depan. Langit
yang berwarna keunguan pagi itu seakan tersenyum seramah senyum penduduk desa
setempat. Aku yakin mataku memancarkan kebahagiaan meskipun tak cukup tidur
semalam akibat kami harus berangkat dini hari. Tak seperti pelajaran menghitung,
pelajaran menghafal dan pelajaran lapangan akan selalu menjadi favoritku.
Itulah mengapa aku bersemangat mengikuti KKN ini.
“Namaku Ardana. Calon engineer. Kamu?” Lelaki dengan topi berwarna hitam itu menyapaku.
Yes. I've remembered his name already. I’m good at it.
“Anak akuntansi
tapi nggak pengen jadi akuntan. Nera. Nerasa kalau sepertinya KKN akan
menyenangkan.” Entah darimana becandaanku barusan muncul. Hei. Ini pertama
kalinya aku bertegur sapa dengan orang ini dan aku telah melempar lelucon yang
tidak lucu. Level leluconku saja hanya segitu. Pasti dia menyangka anak
akuntansi yang aneh ini tidak pernah cumlaude.
Aku tidak akan membantah hal yang benar kok.
Dia tersenyum simpul. Entah apa yang dia pikirkan tentang becandaanku barusan.
Dia tersenyum simpul. Entah apa yang dia pikirkan tentang becandaanku barusan.
“Fakultas kita
nggak pernah akur ya.” Dia mengalihkan pembicaraan.
Yang tengah dia
bahas adalah fakultas ekonomi dan fakultas teknik yang gedungnya berhadap-hadapan
tetapi tak pernah rukun hidup berdampingan. Sebenarnya hanya perkara sedikit
ketidakcocokan masa lalu yang akhirnya menjadi warisan turun temurun.
Aku mengangguk.
“Tapi kita nggak perlu ikut musuhan kan?”
Lelaki ini
kembali tersenyum simpul. Senyumnya adalah kombinasi antara malu-malu dan
percaya diri. Goresan di wajahnya itu berada di antara menyenangkan sekaligus
misterius.
“Aku nerasa kalau
seharusnya orang yang KKN bareng itu berteman sih, bukan musuhan.” Arda
menekankan kata ‘nerasa’ agar aku tidak salah mendengarnya. Kali ini dia
tertawa. Percayalah bahwa Ardana Kamajaya memiliki tawa yang tak semestinya
dimiliki oleh seorang yang terlihat pendiam.
“Sebentar ya.” Dia beralih dari pandanganku
untuk menerima panggilan yang barusan saja berdering dari ponselnya. ”Hei, Deara.
Barusan banget nyampe. Kamu gimana tempat KKN-nya?” Ada jeda beberapa detik
sebelum Ardana kembali bersuara. “Jangan bilang kamu jadi ketua grup KKN-mu.
Nggak di arsitektur nggak di KKN tetep ya. Hahaha.” Terdengar tawa kecil Arda
dari kejauhan.
Wait, Deara?
Deara Klarina Putri, mantan ketua HIMA Teknik Arsitektur? Aku ingat setahun yang
lalu dewan redaksi majalah kampus memutuskan untuk mengangkat profilnya. Sebagai
editor, tentu aku tak luput membaca artikel wawancara tersebut sebelum naik
cetak. Tiba-tiba saja aku dihantui rasa penasaran untuk membuktikan kebenaran perkataan
teman-temanku. Ah, mungkin perempuan memang ditakdirkan untuk memiliki rasa
penasaran yang demikian tinggi tentang perempuan lainnya.
***
Sebab aku menganggap menyeberangi hujan seperti Dimas terlihat sangat menarik, aku tak ingin
berteduh. Jika saja Arda tidak meninggikan suaranya menyuruhku untuk menepi,
aku pasti sedang tersenyum mengingat langkah ringan Dimas di bawah hujan. Kami
menghening beberapa saat seolah hanya suara rintik hujan yang boleh bergema.
“Jadi apa
cita-citamu kalau bukan akuntan?” Aku tak menyangka seseorang ini masih mengingat kata-kataku apalagi penasaran
pada masa depanku.
Cara Arda
mendengarkan cerita membuatku lupa bahwa yang semestinya ku pikirkan adalah
Dimas. Matanya memperhatikan dengan seksama seolah cerita yang sedang
didengarkan sangatlah penting. Dia tersenyum setelah aku menyelesaikan
kalimatku.
“Suatu saat,
tercapai atau tidak, kabari aku ya.”Arda menatapku. Apa nama tatapan ini? Aku
merasa menemukan tempat yang paling aman di dunia: rumah.
“Deara” Arda tiba-tiba menyebut nama ini ketika
melihat layar ponselnya menyala. “Jangan lupa bawa payung pas pergi-pergi. Aku nggak bisa lagi selalu
mendengar ceritamu jadi kamu baik-baik ya di sana.“ Ditutupnya panggilan itu
padahal aku masih mendengar suara di seberang sana.
Arda
mendongakkan kepalanya memandang langit dengan tatapan kosong. Aku
sungguh-sungguh penasaran tetapi tak punya keberanian untuk melompat masuk
dalam topik itu. Jelas tak sopan orang yang baru berkenalan seminggu bertanya
hal yang sangat pribadi.
“Kamu pasti
berharap KKN bareng Deara ya.” Aku berusaha mengajukan pertanyaan senetral
mungkin. “Aku denger dari anak-anak lain, kalian itu serasi banget.” Ini adalah
hasil menggosip berkedok makan siang bersama beberapa hari yang lalu. Dia memilih bungkam.
Ponsel Arda
kembali berdering. Kali ini dia membiarkan bunyi deringnya mengiringi perjalanan
kami pulang menuju tempat menetap sementara kami di sini. Entah mengapa
perasaanku berkata Deara ada di seberang sana menunggu Arda menjawab
panggilannya. Dalam situasi yang serba kikuk itu aku memilih untuk melarutkan diri dalam kebisuan.
“Langit di sini
selalu berwarna pastel ya.” Suara Arda terdengar di antara nada deringnya.
Apakah baginya memandang
langit berwarna pastel lebih penting dari Deara? Aku tenggelam dalam
pertanyaan-pertanyaan yang harus aku terka sendiri jawabannya. Menyimpan pertanyaan
tanpa mengetahui jawabannya terasa seperti mengetahui akun di sisi
debit tetapi tidak tahu sisi kreditnya—seperti biasanya aku ketika berhadapan
dengan akuntansi. In the end, I can’t find the balance for both the unanswered questions
and the balance sheet1.
.
(to be continued)
----
Balance sheet: Neraca atau laporan posisi keuangan dalam sebuah periode akuntansi per tanggal tertentu. Sisi debit diisi oleh aset, sisi kredit diisi oleh utang dan modal.
Balance sheet: Neraca atau laporan posisi keuangan dalam sebuah periode akuntansi per tanggal tertentu. Sisi debit diisi oleh aset, sisi kredit diisi oleh utang dan modal.
image source: centralpark.com
0 Comments:
Post a Comment