PASTEL TONED SKY
- June 06, 2016
- by Nur Imroatun Sholihat
#PART 5: UMBRELLA FOR MY HEART
Hari ini aku
berniat mampir ke tempat Arda bekerja. Gerimis turun perlahan ketika aku
berjalan menuju gedung tempatnya melewati waktu bersama mesin-mesin. Aku
melupakan payungku di meja kerja bersama tulisan-tulisan yang akan naik cetak
lusa. Aku melangkah tergesa-gesa sebab khawatir gerimis akan menjelma menjadi lebih
deras. Di separuh perjalanan, aku menghentikan langkahku seketika. Aku melihat cara melangkah riang di
bawah hujan khas seseorang. Awalnya aku punya perasaan khusus terhadap hujan
sebab dia.
“Hei, Nera”
Lelaki itu menghentikan langkahnya di dekatku. Dia menenteng helm yang biasa
dipakai oleh pekerja lapangan. Helm itu tidak dipakai di kepalanya pasti karena dia memang berbahagia kehujanan. Berdasarkan cerita Sarah, Dimas
bekerja sebagai auditor di perusahaan properti. Dia mungkin baru saja mengecek pembangunan
ke lapangan.
Aku mengangguk
kecil. Dia tersenyum seperti seseorang yang sudah lama mengenalku. Aku melihat
jari-jarinya, mengecek apakah ada lingkaran di salah satu jari manisnya. Entah mengapa aku refleks melakukan hal itu. Tidak
ada sesuatu pun di sana. Aku berbalik melirik tangan kananku dan melihat benda
putih melingkar .
“Ada perlu apa ke sini?” Dimas masih saja belum beralih padahal kami sama-sama hanya
beratapkan langit saat gerimis ini.
“Ketemu
seseorang. Kamu kerja di sini?” Padahal aku sudah tahu jawabannya.
“Di seberang.”
Dia menunjuk ke arah gedung yang tak terlalu jauh dari kantor Arda. “Mampir?” Dimas
selalu saja santun seperti biasa.
“Aku udah
janjian sama suami. Kantor dia di situ. Next time aku minta anterin dia mampir
ke kantormu ya.” Aku menunjuk kantor yang berdiri di belakang Dimas. Setelah
berlalu, aku baru saja tersadar bahwa kemejaku lumayan basah akibat berdiri cukup
lama di bawah gerimis.
Rupanya Arda
sudah menungguku di lobby gedung kantornya. Dia menenteng jaket warna abu-abu
favoritnya.
“Duh, kehujanan ya Ner.” Dia memasangkan jaketnya padaku. Aku hafal wajah ini: wajah
ketika kekhawatiran Arda selalu berhasil tersamar di balik ketenangannya.
“Namanya Nera. Dia ini orang yang berhasil
mewujudkan cita-citanya jadi jurnalis.” Arda memperkenalkanku kepada sahabatnya
di kantor. Orang di hadapan Arda itu melirik kartu pers yang terkalung di
leherku.
“Ke sini bukan
buat nyari bahan nulis artikel perakitan mesin kan?” Orang itu melemparkan
candaan kepadaku. Aku tersenyum kecil lalu menatap Arda yang wajahnya belum
bersih betul meski sebelum menemuiku pasti sudah mencuci mukanya. Aku
mengusap wajahnya. Dia refleks ikut mengusap wajahnya.
“Masih kotor ya?
Tadi buru-buru cuci mukanya. Kirain kamu udah mau nyampe.” Arda melempar
senyum simpulnya. Aku merasa bersalah membuatnya menunggu sedangkan aku justru
berhenti di bawah hujan bersama Dimas.
***
“Arda, aku tadi ngobrol
sebentar sama Dimas. Maaf ya ternyata kamu udah nunggu di lobby.” Aku mencoba sepelan
mungkin bicara padanya dalam perjalanan pulang kami.
Arda menghening
beberapa saat.
“Gimana rasanya melihat
Dimas lagi setelah sekian lama?” Arda seperti telah menata pikirannya untuk
tidak serta merta marah. Dia selalu demikian.
“Aku udah nggak
punya perasaan khusus ke dia. Ardana Kamajaya adalah satu-satunya lelaki yang
membuat hidupku kaya akan rasa. Hari ini aku ketemu Dimas dan aku nggak punya
kekhawatiran seperti yang selalu aku rasain ke kamu. Aku melihatnya tapi nggak otomatis merasa bahagia seperti
ketika aku melihatmu bahkan dari kejauhan.”
Aku merasa masih
perlu melanjutkan penjelasanku.
“Di dunia ini
pasti ada banyak sekali orang yang menarik perhatianmu. Tetapi hanya ada satu
yang membuatmu begitu ingin melindunginya. Kamu khawatir padanya. Kamu takut
sesuatu yang buruk terjadi padanya meski tahu dia akan baik-baik saja. Bagiku,
orang itu bernama Arda.“ Aku hampir berkaca-kaca.
Di ponselku,
sebuah pesan whatsapp muncul.
“Seolah duniamu
berputar dengan Arda sebagai pusat gravitasinya.” Sarah membalas pesanku
tentang cerita pertemuanku dengan Dimas sore ini.
Seperti biasa,
Arda tidak berusaha melirik ponselku untuk tahu aku mengobrol apa dan
dengan siapa. Aku membaca ulang pesan yang ku kirimkan kepada Sarah.
Sar, aku nggak lagi memikirkan Dimas semenjak
bertemu Arda. Dia saja cukup. Bersamanya, aku merasa sangat berharga. Aku juga,
sekuat tenaga ingin membuktikan bahwa dia teramat penting bagiku.
“Kamu jangan
sakit ya, Da.” Aku menggenggam tangannya. Sudut mataku berair. Padahal aku tahu
dengan daya tahan tubuhnya yang kuat itu, dia tidak mudah sakit. Aku hanya
merasa perlu untuk mengucapkan kekhawatiranku padanya. “Jangan pernah lupa
membawa payung di musim hujan.”
“Aku nggak boleh
lupa bawa payung tapi kenapa sore ini kamu hujan-hujanan? Apa menurutmu aku
lebih gampang sakit dibanding kamu?” Arda mencoba mengangkat suasana yang kelabu. Dia menggodaku yang sering lupa membawa payung.
Aku tersenyum
meliriknya.
“I always bring
an umbrella, Da. You’re an umbrella for my heart.” Aku membalas meledeknya.
“Mana ada payung
untuk hati. Kebanyakan baca sastra kamu.” Arda tertawa.
“Yang kebanyakan
baca sastra siapa ya? Inget kan waktu kamu tiba-tiba ngajak aku nikah padahal
kamu nggak pernah bilang suka? Kamu aja bisa pacaran sama Rara tapi kamu
bahkan nggak pernah PDKT ke aku sama sekali. Waktu aku tanya, jawabanmu sok
sastra. ‘Aku nggak mau hubungan yang mengenal kata putus. Aku mau kita saling
menjadi pendukung terdepan selamanya.’”Aku menirukan nada bicara Arda. “Kamu
seharusnya melamar seseorang dengan cara yang manis.” Aku memprotesnya.
Arda tertawa
terbahak-bahak. Dia pasti tak pernah
menyangka aku akan membahas lamarannya
yang aneh itu.
“Dua minggu lagi
aku ke rumahmu. Aku nggak mau denger penolakan ya. Oh ya, karena musim hujan
ngingetin kamu sama Dimas, kita harus nikah di musim kemarau.” Dia melakukan reka ulang kejadian delapan bulan yang lalu.
“Kemarau tahun
depan?” Aku mengulangi pertanyaanku kala itu.
“Kemarau tahun
ini.” Dia menjawabku. Ah. Aku ingat bagaimana dia mengucapkan kalimat ini dulu. Dia menjawab dengan
wajah polos kemudian berlalu seolah aku pasti akan mengiyakan semua rencana
gilanya. Aku terkejut dan sulit mempercayai apa yang baru saja aku dengar. Tetapi apa aku punya alasan untuk menolak ide-idenya itu?
(to be continued)
----
image source: modestmiracles.tumblr.com
0 Comments:
Post a Comment