ON MARRIAGE – KAHLIL GIBRAN
- December 25, 2016
- by Nur Imroatun Sholihat
ilustration by: @fjalarfjalar |
/Fill each
other’s cup but not drink from one cup/ Give one another of your bread but eat
not from the same loaf/ Sing and dance together and be joyous, but let each
one of you be alone/ Give your hearts, but not into each other’s keeping/ (“On Marriage” from The Prophet, Kahlil Gibran)
Yang artinya
kira-kira begini:
Saling mengisi
cangkir masing-masing tetapi tak meminum dari satu cangkir/ Berbalas memberi
roti milikmu tetapi tak memakan dari satu tempat roti/ Menyanyi dan menari
bersama dan bersuka cita tetapi mengijinkan tiap-tiap dari kalian untuk
sendirian/ Memberikan hatimu tetapi tidak dalam pemeliharaan satu sama lain/
(Pardon me for
the bad translation. Huhu. Sulit menemukan terjemahan yang tepat untuk bahasa
puisi.)
Jadi ceritanya
beberapa hari yang lalu saya tiba-tiba pengen baca-baca lagi karyanya Kahlil
Gibran dan saya nemuin puisi yang belum saya baca padahal baguuus! As usual,
suka kalimat Kahlil yang selalu sanggup bikin kita melayang-layang tanpa harus
meninggalkan pijakan di bumi. Bahasanya nggak terasa mengawang-awang dan
utopis. Itulah mengapa puisi sang penyair bisa menyentuh realita kehidupan
banyak orang.
Pernikahan yang
digambarkan di puisi tersebut adalah sebuah keniscayaan. Bahwa kita jatuh hati sedemikian dalam pada seseorang hingga memutuskan menikah dengannya. Bahwa kita
ingin memberikan segala yang kita punya hanya untuk seseorang itu. Bahwa dunia kita
seolah-olah adalah miliknya.
Tetapi Kahlil
dengan apik memberi batasan atas semua perasaan yang kelewat indah itu. Bahwa
kita harus tetap menjadi diri sendiri. Bahwa kita tetap berdiri di atas dua
kaki kita sendiri. Bahwa kita tidak pernah berubah sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab memelihara hati kita sendiri. Kita tidak sepenuhnya bergantung pada orang lain
dengan memberikan spasi dalam kebersamaan tersebut. It feels intriguing, right?
Betapa sulitnya membayangkan kehidupan pernikahan seperti dijabarkan dalam
puisi tersebut. Seolah-olah puisi itu berteriak “Jatuh cintalah tetapi tetaplah
memelihara kehidupanmu sendiri dalam kebersamaan itu”. As if, even if you were
deeply madly truly in love with someone, never lose yourself.
Kahlil berpuisi
seakan kita bisa memberi batasan pada perasaan, seolah hati bisa dikendalikan
begitu saja. Kenyataannya, batin adalah sesuatu yang kita hampir-hampir tidak
kuasa mengaturnya. Tetap saja, pesan Kahlil bahwa diri kita adalah
tetap diri kita meskipun bersama seseorang lain benar adanya.
This poem reminds me to pray about these things. May
Allah gives us the right feeling over someone/something. May Allah gives us the
right amount of feeling over someone/something. Life’s plain without love, but
the state of being too in love sometimes leads us to a tragedy. The right amount is
what we need in life—not less, not more.
-------
(I know I wasn’t
in a position to write this kind of thing. Just so allured by this beautiful
piece from Kahlil *wink.)
(Shout out to my
talented friend, Aldo Lazuardy, for making the illustration while we were
having a class ongoing. “So, table represents the marriage and each of them drink
from their own cup?” He seeked for my confirmation. “Yes, they do.” I giggled
absurdly *-*)
0 Comments:
Post a Comment