HELLO RIAU (PART 1): THE POWER OF “SUDAH”
- March 27, 2017
- by Nur Imroatun Sholihat
image source: picturequotes.com |
Hati yang patah akibat
gagal mengisi acara di Jakarta belum sepenuhnya pulih ketika saya harus
berpindah ke kota lain yaitu Pekanbaru. Saya harus mempresentasikan esai saya
di final lomba esai FITION 2017 yang diselenggarakan Universitas Riau.
Persiapan saya untuk acara ini sangat minim (ternyata saya memang kurang
bersungguh-sungguh). Slide saya belum selesai dan saya
baru menyelesaikannya di ruang tunggu bandara. Huhuhu. Sesampainya di wisma
penginapan, saya langsung mengikuti technical
meeting dan pengundian nomor urut. Saya mendapat nomor urut terbaik untuk
terlihat bodoh: diapit oleh para kandidat juara. Saya masih mengingat nama-nama
finalis yang berada di urutan teratas dan mereka mendapat nomor urut di dekat
nomor saya (pity me). Saya cuma bisa ketawa. Hidup saya akhir-akhir ini sedang
malang jadi saya ketawa aja melihat kemalangan lain datang.
one of my very fav place to write: airport waiting room |
Sedari awal,
saya mempunyai pilihan untuk tidak mendatangi final lomba ini. Probabilitas saya
untuk menang adalah 0%. Semua yang lolos ke babak final menulis sesuatu yang
praktis, aplikatif, dan bahkan sudah mereka ciptakan prototype-nya. Bandingkan dengan saya yang cuma membawa gagasan
ekonomi yang sejahtera, merata, dan berwawasan lingkungan. Menjadi finalis saja terhitung beruntung. Saya adalah satu-satunya yang tidak membawa wujud nyata dari gagasan yang dituliskan. Tetapi kenyataan
itu tidak mendorong saya mundur barang selangkah pun.
Mengapa saya masih
memutuskan untuk bertanding? Pertama, bagi saya mengikuti lomba menulis adalah
selebrasi dari passion saya di bidang menulis. Saya tidak lagi mengkalkulasi menang-kalah ketika mengikutinya. Bagi
saya berdekatan dengan banyak penulis adalah pesta. Di setiap lomba, saya berjumpa orang-orang yang penuh gagasan, ambisi, dan semangat. Dan saya senang hanya
dengan bertemu, berkenalan, dan bersahabat dengan mereka. It's a party I will always celebrate.
in the lack-of-sleep state. mata panda sepanjang acara. hihi |
Kedua, ini
adalah ajang menyebarkan pengaruh yang positif. Saya sungguh senang ketika gagasan saya
didengar lebih banyak orang. Saya ingin meningkatkan awareness orang-orang tentang isi tulisan saya. Saya ingin turut
berkontribusi sebagai pemuda yang turut memikirkan masa depan bangsanya dengan
cara saya sendiri. Bagi saya, bidang itu adalah ekonomi dan menulis.
Dugaan saya sepenuhnya
benar. Saya bersua dengan orang-orang yang berbagi jiwa dan passion yang sama
dengan saya. Saya betah mengobrol dengan satu persatu dari mereka seolah kami
sudah bersahabat sekian lama. Kami saling berbagi mimpi dan harapan kami
sebagai penulis. Kami saling menguatkan agar bisa mempresentasikan ide kami
dengan sebaik-baiknya di depan juri. Kami adalah rival tetapi jauh di atas itu
semua, kami adalah sahabat jiwa. Saya suka setiap detik yang saya lalui bersama
mereka. Nobody stole my heart as easily as a writer. Surely, writer is one of my favourite type of people.
Saat presentasi
tiba. Tidak seperti biasanya saat berbicara di depan umum, kali ini jantung saya
berdegup kencang. Saya harus melangkah ke panggung dan menyampaikan presentasi di tengah-tengah presentasi menawan dari teman-teman saya (a.k.a best way to look stupid). Bukannya mengomentari tulisan saya, juri hanya berkomentar
suara saya yang microphonic, enak didengar, dan menduga saya seorang penyiar
radio. Haha. Saya senang saya akhirnya
memberanikan diri untuk maju dengan tenang sekalipun minder berada di antara
karya-karya lain. Saya juga bergembira menyaksikan sahabat-sahabat saya di sana mempresentasikan alat dan temuan mereka yang cukup sederhana tetapi sangat
bermanfaat. (Saya akan menceritakan satu per satu ide yang mencuri perhatian
saya di tulisan selanjutnya.)
Satu hal paling penting saya pelajari dari kompetisi ini adalah: the power of “sudah”. Sebuah karya yang sudah dilakukan lebih bermakna dari gagasan yang baru sekadar dipikirkan. Ketika
saya masih menawarkan ide yang abstrak, orang lain sudah menyodorkan alat yang
dia kerjakan selama berbulan-bulan. There’s no way I could beat them.
Menurut saya, membuktikan dengan tindakan nyata jauh lebih puitis dari kata-kata. If I may say
something, I dare the youngsters to do something they could do. Para generasi
muda, mari menjadi generasi yang mengerjakan sesuatu sekecil apapun itu. Bukan
berarti menganaktirikan gagasan. Tetap saja pemuda perlu berpikir dan membanjiri
dunia dengan gagasan-gagasan mereka. Tetapi sungguh di masa semua orang berteriak menawarkan
ide, karya nyata terasa demikian berharga. Lakukan apapun semampu kita untuk
berkontribusi terhadap lingkup yang lebih besar dari diri kita sendiri. Berkaryalah
agar status kita sebagai pemuda menyala bersama dengan karya—bukan sekadar
kata. Saat ini, saya pun tengah mencari cara agar dapat
berkarya nyata. Kamu juga ya :)
0 Comments:
Post a Comment