DI TENGAH KEGADUHAN YANG HENING DI PERPUSTAKAAN
- April 18, 2017
- by Nur Imroatun Sholihat
source: iStockphoto.com |
Aku suka mendengar suara-suara
lirih yang nyaris tidak terdengar di perpustakaan. Di antara suara-suara itu,
aku bisa memisahkan bunyi jarimu membalik halaman buku. Aku bisa mengenali
suara matamu yang berdansa dengan kata. Aku bisa mendengar tulang-tulang
rusukmu terangkat ketika menghela udara. Di tengah riuh rendah itu, aku bisa
membedakan suaramu ketika kau berbisik-bisik menceritakan sesuatu kepada
kawan-kawanmu. Aku bisa mendengar kalian merendahkan suara gelak tawa. Aku bisa
mengidentifikasi bunyi jemarimu melangkah di atas papan ketik. Aku berhasrat
mengintip puisi yang tengah kau hidupkan melalui sepuluh jari-jarimu. Jadi
sajak apa yang tengah berdenyut bersama detak jantungmu kini?
Suara lirihmu dalam melakukan
segala sesuatu di perpustakaan begitu berbeda. Di tengah kegaduhan yang hampir
terdengar hening itu, aku menemukanmu dengan mudahnya. Sementara udara yang
dingin tak mampu meredam deru senyummu. Sementara wangi buku seolah memasung
sepasang lingkaran matamu dalam dunia yang lain. Sementara larik-larik puisimu
tampak tak ingin berbagi pujangganya dengan siapa pun.
Akankah kau datang tepat waktu ke
perpustakaan hari ini? Apakah lingkaran hitam masih menetap di bawah matamu?
Apakah kau masih akan duduk di tempat yang sama seperti biasa? Akankah
teman-temanmu akan menyusulmu tigapuluh menit kemudian seperti yang
sudah-sudah? Akankah matamu bergerak dengan kelambatan yang sama ketika
menelusuri satu per satu kalimat? Akankah jemarimu masih akan sesekali
mengambil jeda di atas papan ketik ketika kau tengah mencari kata? Sepertinya
kau tidak ingin menyerah memaku jiwamu untuk tetap menulis. Akankah kau melepas
kacamata dan mengusap mata dengan cara yang sama? Akankah kau tetap bergegas
menuruti sebuah panggilan yang mengalun tatkala matahari tepat berada di atas
kepala? Medio siang menjadi waktu di mana kita berpisah di saban harinya.
Aku menemukanmu di sela-sela
buku-buku favoritmu. Aku menyelamimu bersama keingintahuan tentang sajakmu
selanjutnya. Sementara kau adalah buku yang paling aku favoritkan. Sementara
sepuluh huruf namamu adalah puisi yang paling ingin aku lantunkan. Kau adalah
buku yang ingin aku baca berkali-kali tanpa penghujung. Apabila belum ada buku
tentangmu, aku akan menuliskannya—untuk diriku sendiri. Maukah kau memberikanku
sekadar kata pengantarnya?
---------
Do you ever meet someone and think
“Wow I could write a book about you”? -Unknown
when "baper" touch my deep heart :) wkwkwk
ReplyDeleteHei Ai,
DeleteAku nulis ini pas lagi baper baca tulisannya Helvy Tiana Rosa "Bolehkah sekedar kupinjam punggungmu untuk menulis puisi-puisi yang tak henti menangis?"
Kayanya untuk nulis yang baper kita harus baper duluan :)
Haha.