THE JOURNEY OF MY UNDERGRADUATE THESIS (PART 3)
- September 09, 2017
- by Nur Imroatun Sholihat
source: gxo4r801.adtddns.asia |
(Sorry beforehand for it is a rather long story. Hehe.)
Tulisan ini akan menjelaskan babak akhir dari
perjalanan skripsi saya. Setelah menyelesaikan seminar hasil, saya harus
merevisi skripsi untuk mendapat acc ujian. Dari proses revisi ini saya belajar
bahwa kita semua memiliki potensi yang belum kita maksimalkan. I couldn’t contain
my thankfulness to the examiner, Mrs. Rindu Rika Gamayuni, for pointing out my thesis’s
flaws. Kalau Beliau nggak pernah bilang skripsi saya seperti laporan PKL dan
saya harus menambahkan analisis yang mendalam, saya mungkin masih terjebak di
level saya yang sebelumnya. Oh ya, skripsi ber-acc ujian merupakan salah satu
persyaratan pendaftaran ujian pendadaran dan ujian komprehensif. Berhubung
syarat pendaftaran kedua ujian tersebut cukup banyak, saya jadi cukup
mondar-mandir mengumpulkan syarat. Setelah semua terkumpul, babak ujian pun
dimulai.
8. Ujian
Pendadaran
Di Unila, hanya ada 1 program studi yang
mewajibkan mahasiswa melewati ujian pendadaran and unfortunately, prodi yang
dimaksud adalah S1 Akuntansi. Kami harus melewati ujian lisan sebagai
pembuktian pemahaman kami mengenai 3 mata kuliah: pemeriksaan keuangan, sistem
pengendalian manajemen (SPM), dan teori akuntansi. Sehari sebelum hari ujian,
kami mendapat SK nama penguji daaaaan saya dapet penguji yang track record-nya lumayan menyeramkan.
Penguji teori akuntansi saya pernah tidak meluluskan teman saya. Penguji
pemeriksaan keuangan saya teliti banget dan sering juga tidak meluluskan dengan
sekali ujian. Penguji SPM saya ternyata suka banget nanya praktik dari
teori-teori yang ada padahal saya ngapal teorinya doang. Dosen-dosen lain
biasanya tidak terlalu lama menguji tetapi ketiga dosen penguji saya betah
banget nanya. Huaaaa. Drama pun terjadi saat penguji teori akuntansi berkata:
“Iim, ini rahasia kita berdua ya. Kamu saya kasih nilai 65. Gimana pendapat
kamu? Apa kamu merasa pantas untuk naik menjadi nilai 80 atau turun menjadi 50?
Coba introspeksi jawaban-jawaban kamu”.
“Saya merasa pantas untuk nilai 70 Pak.” Jawab
saya karena dalam pemahaman saya, batas minimal lulus adalah 70.
“Saya nggak ngasih pilihan nilai 70. Jadi 80
atau 50? Coba dipikir lagi tadi jawaban-jawaban kamu seperti apa?”
Setelah drama yang cukup panjang, mata saya
mulai merah. Air mata pun menetes tanpa bisa saya tahan. Saya tidak ingin
mengulang ujian pendadaran karena saya harus segera lulus sesuai dengan kontrak
beasiswa saya. Saya sudah merasa capek sehabis 2 ujian sebelumnya ditambah
perdebatan nilai di ujian ketiga. Setelah beradu argumen cukup lama, saya pun
menghapus air dan menegakkan badan sembari berkata:
“Iya Pak. Saya banyak kurangnya. Silakan beri
saya nilai 50. Saya akan mengulang pendadaran minggu depan.”
Dosen tersebut kemudian membuka lembar berita
acara pendadaran yang ternyata masih kosong.
“Kamu saya kasih nilai 70 ya. Manusia itu
harus mau mengakui kekurangan dan kelemahannya. Karena kamu bilang nilai 50 yang
artinya kamu tidak merasa sombong untuk mengakui kelemahan, saya justru akan
memberi nilai lebih.”
Dan beberapa hari kemudian saya baru tahu
kalau nilai 65 masih terhitung lulus asal rata-rata 3 mata ujian adalah 70. Oh
drama! Tau gitu saya nggak nangis.
What I learnt:
- Ikuti proses kuliah dengan baik terutama untuk
mata kuliah wajib/utama. Pemahaman saat menerima materi di kelas akan mempercepat
proses belajar untuk ujian pendadaran
- It’s good to have a strong mentality. Tadinya
saya merasa pantas untuk nilai 70 karena saya bisa menjawab semua pertanyaan
yang materinya ada di buku. Lah ternyata dosen tersebut juga menghitung jawaban
pertanyaan-pertanyaan filosofis semacam “menurut kamu kenapa kita butuh
informasi?” dan jawabannya harus sesuai dengan jawaban versi Beliau. Lah sejak
kapan sih saya bisa baca pikiran Bapak dosen tersebut? Huhu. Tapi kalau saya
boleh menasihati diri siri saya seharusnya nggak usah cengeng sih. (My friends told me that it's funny to see my crying over and over again. Lol). I wish saya
punya kekuatan mental lebih untuk tidak terkoyak dalam situasi-situasi semacam
ini.
- Be humble. Dosen saya malah mau ngasih nilai
lebih tinggi kepada yang mengakui pantas mendapat nilai lebih rendah.
-
9. Ujian
Komprehensif
Saya pernah menulis ini di tulisan saya yang
berjudul “Kesungguh-sungguhan”: saya akan memastikan semua jalan saya untuk
mewujudkan sebuah kesempatan. Dan perjalanan saya menuju ujian kompre sedikit
mengingatkan saya akan kalimat tersebut. Saya berlarian menemui ketiga dosen
penguji saya yang kesemuanya sibuk dan sulit disatukan jadwal kegiatannya. Di
tengah lari-lari kecil saya mengejar pembimbing 1 saya yang akan berangkat ke
bandara, saya berpikir “Saya harus memastikan jalan saya untuk ujian kompre sebab itu akan menjadi tanggal kelulusan
saya”.
Saya ujian komprehensif pada tanggal 6
September 2017 pukul 09:00. Setelah segala kerempongan terlewati (finalisasi
skripsi, bikin atribut tambahan semacem kata pengantar dll), akhirnya saya
masuk ruang ujian. Di luar dugaan, ujian komprehensif saya mengalir dalam
suasana yang begitu hangat. Saya mempresentasikan materi lalu dosen penguji
mengajukan beberapa pertanyaan (I guess it was done after 15 minutes). Saya
diminta untuk keluar ruangan sementara para penguji mendiskusikan nilai saya.
Saya dipeluk oleh suasana yang begitu
menyenangkan ketika para dosen mengumumkan kelulusan saya. Mereka berkomentar
tentang perjalanan saya, kemampuan menulis saya, keberanian saya mengambil topik
yang cukup aneh, keberanian untuk menulis dalam bahasa inggris, juga hikmah dari
semua penundaan yang saya alami. Saya jadi tahu kalau dosen sebenarnya tahu seberapa
banyak usaha kita. Ketika saya merasa direndahkan saat bimbingan maupun seminar
seolah-olah saya tidak bekerja keras, saya pada akhirnya tahu bahwa mereka
mengenali setiap usaha mahasiswanya (T.T). Mereka mengapresiasi setiap langkah yang
saya ambil tanpa sedikit pun mengabaikannya. Saya tersenyum begitu bahagia hari
itu. Haru biru menyelimuti saya ketika para dosen penguji berpesan agar saya
tidak melupakan mereka dan tetap melanjutkan persahabatan yang sudah terjalin selama ini
antara saya dan dosen-dosen tersebut. Aaaah, Allah is super kind. Ternyata
perjalanan panjang yang berdarah-darah ini pada akhirnya mengantarkan saya ke
tempat yang indah. I couldn’t be less than grateful.
What I learnt:
- Self respect. Pengerjaan skripsi mengajarkan
saya untuk menghargai diri saya sendiri. Saya bangkit setiap kali dijatuhkan
dan berkata pada diri sendiri “But you know you’ve worked the hardest, right?
Don’t let anyone makes you love yourself less.”
- Every timing happens for a reason. Segala
sesuatu, terjadi pada waktu tertentu, atas tujuan tertentu. Setiap waktu yang
diputuskan Allah adalah tepat. Karena kita berjalan di zona waktu kita sendiri—tidak
ada kata terlalu cepat atau terlambat.
- Hargai prosesnya. Nikmati prosesnya. Meskipun banyak jalan pintas yang mungkin diambil, menjalani proses yang benar adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi.
- Hargai prosesnya. Nikmati prosesnya. Meskipun banyak jalan pintas yang mungkin diambil, menjalani proses yang benar adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi.
- Stop being an over-thinker. Ini penyakit saya
dari dulu sih: suka khawatir berlebihan. Beneran deh sebagian besar hal yang
kita khawatirkan itu absurd dan nggak beneran terwujud. Saya khawatir banget bakal dibantai pas ujian
kompre tapi ternyata saya justru bisa tersenyum haru.
- Never lose the kid in you. My friends said
that I’m too old to do this cheesy thing to celebrate graduation but for me,
there is no “too old” term to be happy and celebrate it. We deserve to be happy
no matter how old we are. Be like a kid, cherish your happiness like every
single thing is worth-celebrated.
10. Acknowledgement
Salah satu bagian paling menyenangkan dari
menulis skripsi adalah menulis kata pengantar untuk menyebutkan nama orang-orang
yang kita berikan kredit atas perannya dalam pencapaian kita. Melalui tulisan ini, saya menghaturkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada nama-nama berikut ini:
Bapak
Satria Bangsawan
(Dekan FEB Unila), Ibu
Farichah
(Ketua Jurusan Akuntansi FEB Unila), dosen-dosen
Akuntansi Unila, Bapak
Yuliansyah
(my mentor), Ibu
Dewi Sukmasari (my instant mood
booster), Ibu Rindu Rika Gamayuni (the
lovely brilliant examiner), Bapak Sofandi Arifin (Sekretaris
Itjen Kemenkeu), Bapak JB. Widodo Lestarianto (kepala
Unit Audit TI Itjen Kemenkeu), Bapak Tri Achmadi (Kepala
Bagian Sistem Informasi Pengawasan Itjen Kemenkeu), Bapak Yogi
Ishwara
(Kepala Subbagian PKTI, Itjen
Kemenkeu), Bapak Gatot S. Priambodo (Kepala
Subbagian PDE, Itjen Kemenkeu), Bapak Yudhy Haryantho (Kepala
Subbagian PBDI, Itjen Kemenkeu), Bapak Sulardi (Kepala
Subbagian OTI, Itjen Kemenkeu), Para Auditor TI di Itjen Kemenkeu (for
the elaborated answer and explanation for my thesis), rekan-rekan di Itjen Kemenkeu (special shout out for SIP-ers), teman-teman
sekelas saya di S1 Akuntansi Kelas Star BPKP Batch II, Aldo Lazuardy (the
reliable editor), Angky Verdian Diputra (temen
curhat), Widyanti Anggita Lestari, Marisa Choiriyah,
Ria Shaintisia, Rizki Wulandari, Dian Palupi, Dita Leonita, Aini Kolbiana, Dian
Widowati, Sodik Adi Endarto, Resa Tri Putranto, Fitri Ani Nur Muslihatun, Dwiky
Krisyunianto, Yohanes Beato Dionisius, Bakhas N. Diso, Widiastuti, Delima Frida,
Keluarga Pak Rajino (for taking care
of me), orang tua saya, keluarga saya, Ubaydur Rosyid
Al Huda
(adik saya), dan setiap nama yang
tidak bisa saya sebutkan satu persatu tetapi kebaikan hatinya selalu saya
apresiasi.
I couldn’t be here without these people’s helping
hands. Thank you Allah for the beautiful journey. Thank you My Lord for making
everything possible. Thank you for sending me these kind-hearted people. I’m humbled and forever grateful. I'm ready to embrace the next chapter of my life.
0 Comments:
Post a Comment