-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

28 Dec 2017

HOT CHOCOLATE, COLD REALITY, AND WARM YOU

  • December 28, 2017
  • by Nur Imroatun Sholihat
PART 3: THE SURPRISINGLY WARM YOU
source: pinterest.com
“Kinan?” Airlangga menghentikan langkahnya di dekat Kinan.

Kinan yang sedang memperhatikan sambutan mengalihkan pandangannya ke arah suara yang begitu dikenalnya. Berdiri di sampingnya kini pria yang dulu selalu duduk di sampingnya membawa senyum yang begitu dia kenal. He is seriously standing here or I’m just hallucinating?

“Media partner?”

Kinan mengangguk. “Lo?”

“Sekarang kan gue kerja di sini. Lupa?”

Kinan menggeleng. “Inget kok. That’s why I’m here. Siapa tahu bisa ketemu teman lama.”

Airlangga mengambil kursi kosong di sebelah Kinan. Mereka fokus mendengarkan suara yang menggema dari panggung. Sesekali keduanya mengangguk. Sesekali mereka tertawa pada kalimat lucu dari sang pembicara. Tak ada perbincangan apapun sebab keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidak saling berbicara selama 32 hari nyatanya cukup menjadikan mereka bak orang asing.

“Tadi gue sempet ngobrol sama Mas Satya.” Airlangga membuka kembali perbincangan.

“Iya nih tadi dia ketemu temennya terus pergi entah ke mana.”

Airlangga mengangguk-angguk sebab mengerti kebiasaan Satya yang mudah lupa pada Kinan begitu bertemu teman lainnya. Ini bukan pertama kalinya Satya berpindah mengobrol dengan orang lain. Pintu ruang divisi mereka adalah saksi betapa seringnya Kinan yang masih berdiri di dekat pintu menunggu Satya berhenti berbicara dengan orang lain yang kebetulan lewat dan mengajak Satya berbincang.

“Btw ngobrolin apa sama Mas Satya? “

“Nanya sesuatu sekalian minta izin.” Jawab Airlangga singkat. Kinan mengerutkan dahi pertanda meminta penjelasan lebih. Tetapi Airlangga tampak tak ingin menjelaskan lebih.

“Masih ngerasa seneng banget setiap pergi sama Mas Satya?” Pertanyaan Airlangga yang kemudian mengalihkan topik pembicaraan.

Kinan terdiam. Kali ini gantian Airlangga menunggu jawaban dengan mengernyitkan dahi. Hanya tatapan mata Kinan yang mencoba menjawab pertanyaan yang seharusnya tidak sulit jawabannya.

“Gue lebih seneng kaya gini. Ketemu temen lama lagi.” Jawab Kinan seolah hanya asal menjawab.

Airlangga menahan tawanya meskipun tidak ada yang melarangnya tertawa.

“Kinan yang gue kenal nggak kaya gini deh. Pertama, lo selalu paling seneng pergi sama Mas Satya. The ideal type, the crush, the smart guy, the most eligible bachelor in the office. Gue sering denger itu meskipun bukan dari lo. Tapi sekalipun lo nggak pernah bilang, your smile told me anything. Jadwal latihan gitar aja bakal lo tinggalin.” Airlangga tertawa kecil. Kinan tidak mencoba menyela. “Kedua, kayanya gue nggak pernah denger lo terang-terangan ngomong seneng ketemu seseorang sekalipun itu Mas Satya. Apalagi gue.”

“Mas Satya itu hangat” Kinan menghentikan kalimatnya “buat semua orang”

“Ya bagus dong.”

“That’s not what I mean.” Kinan memotong kalimat sebelum Airlangga sempat meneruskan. “Dia itu kaya secangkir cokelat hangat yang dihidangkan di depan gue tapi bisa dicicipi semua orang. Do you think I would still drink it? Or at least call it mine?”

“Aren’t you just being too possessive? He’s a nice guy with a lot of friends and connections, apa yang bisa lo keluhin?”

“You don’t understand this. “

“More than anyone, I understand this matter the most.” Airlangga buru-buru membalas. 

“The way he treats everyone telling me I’m just another friend of him.” Suara Kinan terdengar berat. Helaan napasnya terdengar seperti orang yang kelewat lelah.

Airlangga ikut menghela napas panjang sebab mengetahui betul cerita tersebut tanpa perlu Kinan bercerita. Dia adalah penonton kelas VIP atas kisah yang sudah berlangsung dua tahun itu. Suasana menjadi begitu dingin meskipun sang pembicara masih sesekali melempar lelucon yang membuat penonton tertawa. Mereka berdua tak tertawa. Seolah keduanya sibuk memilah kata yang tepat untuk diucapkan setelah ini.

“Dua tahun cokelat itu ada di meja gue berharap suatu saat orang lain akan berhenti mencicipinya. Terus selama dua tahun itu, selera gue perlahan berganti.”

“Maaf ya, Nan. Tadi gue cuma menguji pernyataan lo. Gue pikir lo cuma lagi kesel aja terus nanti balik lagi ke Mas Satya. But you seemed very determined about walking away from him.” Airlangga menjelaskan. “Selama ini gue nggak ikut campur tapi sekarang gue rasa gue berhak tahu. Thanks for finally moved on. Even when it's painful, please make sure you're happier."

Kinan tidak menjawab. Mereka kembali terlarut dalam keheningan. Suara-suara gaduh di sekeliling mereka seolah diturunkan volumenya menjadi teramat lirih. Hingga pembicara turun panggung pun, mereka masih terkuasai pikiran masing-masing.

“Sampai ketemu lagi, Lang.” Kinan beranjak dari kursinya. Airlangga mengikuti langkah Kinan menuju pintu keluar.

“Kinan, udah tahu siapa yang ngirimin cokelat hangat?”

Kinan menghentikan langkahnya. Dia bergegas berbalik badan dengan ekspresi terheran-heran.

“Emang gue udah pernah cerita ya Lang? Perasaan gue nggak cerita ke siapa-siapa selain Kea.”

“Belum. Tapi kan ada cara lain buat tahu soal itu.” Airlangga tersenyum. “Sampai ketemu lagi, Nan.” Airlangga berbicara dengan nada sumringah.  Dia sudah bersiap pergi ketika Kinan meraih lengan bajunya memaksanya menghentikan langkah. Airlangga masih tersenyum dengan cara yang sama setiap kali Kinan melakukannya.

“Kinan, setiap kali lo narik lengan baju gue, menahan gue beberapa detik, gue inget puisinya Neruda.”

“Yang mana?”

I want to do with you what spring does with the cherry trees.”  

Kinan tersenyum menyadari betapa seringnya dia melakukan hal ini. Dia tersenyum dengan senyuman yang tidak bisa disembunyikan. Senyum yang tanpa disadarinya selalu dijinjing setiap hari dan telah sebulan ini menghilang. Senyum yang tenang dan biasa saja. Senyum yang dilemparkan kepada Airlangga setiap kali lelaki itu menyemangatinya. Senyum yang mengembang di hatinya setiap kali Airlangga menanyakan apakah dia baik-baik saja dua kali karena tak yakin pada jawaban pertamanya. Senyum yang dilemparkan ke udara ketika melihat Airlangga datang untuk duduk di sampingnya hari ini.

“Kea, kalau cokelat ada di dalam cup tertutup, gimana caranya benar-benar memastikan itu hangat atau dingin?” Kinan menelpon sahabatnya itu seusai Airlangga pergi. Yang ditanya hanya bisa mengeluarkan suara tanda bingung.

“Dipegang?” Ada nada tidak yakin dalam suaranya.

“Ya. Lo harus benar-benar mendekat dan menyentuhnya dengan tangan lo.”

“Lo kenapa lagi sih Nan? Kok sekarang lo makin aneh deh.” Kea meledek.

“Gue udah tahu yang mana yang sebenarnya cokelat hangat.” Kinan tersenyum.

***

(Jumat terakhir sebelum Airlangga pindah bekerja.)

“Lang, kenapa lo bersih-bersih meja sih?” Kinan yang tengah bersiap-siap pulang iseng saja bertanya. “Pak bos mau inspeksi kerapian meja ya? Pasti lo doang ya yang tau  secara cuma lo yang sering dicurhatin Pak bos.” Kinan setengah becanda setengah serius.

“Menurut lo Pak bos senganggur itu ya sampai mau inspeksi meja? Hahaha.” Jawab Airlangga yang disambut tawa keduanya. “Oh ya, boleh minta tolong nggak, Nan?” Ujar Airlangga sembari memasukkan buku-bukunya ke kardus.

 “Udah temenan segini lama masih aja ya kalau mau minta tolong mukanya serius amat.”  Ujarnya sembari mengangguk. Ucapannya disambut Airlangga yang tak kunjung menyampaikan maksudnya. Melihat keraguan di wajah Airlangga, Kinan yang semula sudah berdiri kembali duduk di kursinya.

“Jangan pulang dulu boleh?” Ada nada keraguan di sana.

“Lagi? Sesorean ini udah berapa kali gue ditahan biar nggak pulang? Mau disuruh bantuin ngrapiin meja lo? Udah deh Lang senin besok juga bisa. Inspeksinya beneran nggak ada kan?”

Airlangga menatap Kinan yang tengah protes mengapa dia harus menunda pulang di malam sabtu ini.

“Kerja yang bener ya. Jangan kebanyakan ngelamun kalau abis didatengin Mas Satya. Kalau stuck soal konsep acara, cari temen diskusi sebanyak-banyaknya. Harus pegang gitar minimal 10 menit sehari supaya makin lancar. Kalau lagi butuh cerita atau hiburan, panggil Kea. Biarin aja dia becanda nggak jelas yang penting lo ketawa kan? Jam makan siang ya makan. Jangan nglanjutin kerjaan dulu kecuali mendesak. Jangan suka nunda sholat sampe waktunya udah mau abis. Jangan capek-capek. Di divisi kita banyak kok yang mau bantuin kalau beban kerjaan lo udah nggak masuk akal. Jangan suka begadangan sekalipun malam deadline. Lo kan bukan redaktur.”

“Iyaaa Pak banyak amat ya nasihat malam ini. Lo kayanya tau banget ya soal gue.” Kinan seperti anak kecil yang tidak suka diceramahi orang tuanya.

“Karena dibanding siapapun di kantor ini, nggak ada yang ngalahin gue soal jumlah waktu bareng lo. Makanya gue segitu hafalnya. Siapa sih yang bisa ngalahin orang yang menghabiskan waktu paling banyak buat lo ini.” Airlangga dengan nada becandanya yang tidak meyakinkan itu tertawa.

“Jaga diri baik-baik. Ravindra Airlangga undur diri dulu.” Airlangga memberi kode untuk pulang setelah setengah jam berbicara panjang lebar kepada Kinan.

“Lang, kok rasanya lo kaya mau pergi gitu sih?” Kinan mengikuti dari belakang.

“Terus?”

“Terus ya sedih aja gitu.”

“Sesedih apa?”

Kinan terdiam. Mereka berjalan bersisihan menuju pintu keluar kantor. Kinan menarik lengan baju Airlangga untuk menghentikan langkah yang akan memisahkan mereka.

“Aneh nggak sih kalau gue bilang sedih?” Kinan masih menggenggam lengan baju Airlangga.

“Tapi malam ini, gue yang bakal nulis puisi paling sedih, Nan.” Airlangga melirik Kinan yang tak kunjung melepaskan genggamannya padahal mereka seharusnya berpisah jalan. Kinan selalu melakukan hal ini secara refleks setiap kali Airlangga hendak pergi sementara Kinan masih ingin bercerita.

“Nggak move on dari Neruda?” Kinan meledek.

“Nggak move on dari penggemar Neruda yang sekarang ngakunya sedih.” Airlangga menjawab sembari tersenyum tenang.

Oh God, when will I realize that this man is the real hot chocolate of my life? How can I ignore all the warmth surrounds me whenever he’s around? When will I admit that he offered me the warm heart I need? He will stay beside me as always, right? I want to admit the truth to him. But why do I get a feeling that he’s about to leave me?
-------
Read also:
Hot Chocolate, Cold Reality, and Warm You (Part 1)
Hot Chocolate, Cold Reality, and Warm You (Part 2)

2 Comments:

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE