-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

10 Jan 2018

KEIKHLASAN DALAM BEKERJA

  • January 10, 2018
  • by Nur Imroatun Sholihat
source: freepik.com
Seorang teman bercerita kepada saya: “Duh im, gue mau nambah ilmu dulu terus resign deh. Pekerjaan gue sebagian besar administratif banget. Ilmu gue yang ini nggak berkembang. Sayang banget kayanya.”. Teman saya ini memang memiliki keahlian di sebuah bidang dengan level yang cukup tinggi. Sebagai orang yang mengenali usaha, kemampuan, dan juga pekerjaannya, saya memahami perasaannya. Kegelisahannya yang terpancar di wajahnya adalah sesuatu yang saya mengerti tanpa perlu penjelasan lebih lanjut darinya. Saya pun menarik napas panjang terhanyut pada pergulatan pikiran saya sendiri. 


Momen ini mengingatkan saya pada masa dulu ketika saya juga mengeluhkan hal yang sama. Dahulu saat pertama kali bekerja, saya pernah mengalami masa diam-diam mengeluh karena perbandingan. Bukan perbandingan rezeki ya karena sudah menjadi prinsip saya untuk tidak iri pada rezeki orang lain. Perbandingan yang saya maksud adalah perbandingan beban kerja. Sialnya pekerjaan-pekerjaan yang berada di pundak saya (di luar kerjaan inti saya) adalah pekerjaan-pekerjaan administratif yang banyaaaak tapi nggak keliatan sama sekali. Ya intinya kerjaan yang outputnya kind of invisible tapi harus ada dalam keseharian. Saya ngerasa nggak penting banget ada di kantor padahal kerja keras untuk memenuhi semua tuntutan administratif itu. Di saat orang lain bisa mengklaim sudah bikin ini itu, saya nggak bisa mengklaim apa-apa. Dalam pusaran usia muda, keinginan untuk mendapat pengakuan, dan pemikiran yang belum matang, keadaan tersebut menyeret saya dalam kubangan demotivasi akut saat itu. Di luar tampak baik-baik saja tapi di dalam hati saya merasa nggak berguna. Untungnya saya mendapat kesempatan melanjutkan studi sebelum sampai ke titik jenuh tertinggi.

Kini setelah kembali bekerja dan mendengar curhatan teman saya itu, saya jadi berpikir: Apakah hati akan ikhlas jika hal yang terjadi pada teman saya itu terjadi pada saya? Apakah saya akan merasa baik-baik saja jika hal tersebut terulang lagi dalam hidup saya?


Jika saya masih seperti dulu mungkin saya akan mengeluh. Tetapi sekarang saya insyaAllah akan ikhlas. And I’m not even trying to be wise here. I just came to a realization that no matter what you do, as long as you do your best, then you’re the best.

Semua ini diawali dari persuaan saya dengan seorang senior yang mengalami hal yang sama: dibebani banyak sekali pekerjaan administratif yang saya tahu banyaaaknya benar-benar banyak. Bikin dokumen ini itu, memperhatikan pretelan-pretelan kecil yang pasti dilupakan orang lain, men-support pekerjaan-pekerjaan lain, memastikan kelengkapan atas apapun--secara singkat semacem caretaker-nya setiap orang dan setiap kerjaan. Bahkan saya yang entahlah banget ini aja diurusin di tengah-tengah load pekerjaan yang sampai susah dibayangkan. The best part is, itu semua di luar pekerjaan inti Beliau. Beliau selalu berusaha memberi lebih dari yang diminta bahkan yang nggak diminta. Percaya nggak kalau saya bilang saya nggak pernah lihat orang ini mengeluhkan pekerjaannya? Jangankan mengeluh, keliatan nggak bahagia soal kerjaannya aja nggak pernah. Saya bisa merasakan dedikasi dan cinta yang Beliau berikan untuk tugas-tugasnya. I can clearly see that this person loves the job and is grateful about it. Rasanya kaya disindir pedas kenapa saya dulu hitung-hitungan soal beban kerjaan. Ngeselin ih saya!


(Saya bahkan pernah berbicara kepada teman saya: Saya nggak terima kalau Beliau tidak mendapat mendapat kesuksesan sepadan dengan dedikasinya. Saya diam-diam ikut mendoakan kesuksesan Beliau. Itu semua sebab saking langkanya orang seperti ini). Orang ini adalah teladan bagi saya tentang pekerjaan. Saya ingin mencontohnya yang selalu ikhlas mengerjakan pekerjaan tanpa hitung-hitungan apapun. Saya digaji cukup untuk bisa hidup pantas lalu dengan alasan apa saya tidak mengusahakan yang terbaik untuk pekerjaan saya? Bahkan memberikan yang terbaik pun kadang tidak cukup bukan? Apalagi kalau tidak memberikan seluruh upaya masih ditambah terkadang mengeluh pula.


Tapi apa yang teman saya katakan ada benarnya. Kalau kita memang tidak merasa berkembang di tempat kerja kita sekarang dan punya kesempatan yang lebih baik, mengapa tidak. Mungkin memang kita ditakdirkan untuk sesuatu yang lebih sesuai dan tempatnya bukan di tempat kerja kita saat ini. Hanya saja kita punya opsi lain juga kok. Kita selalu bisa mencintai dan mensyukuri pekerjaan yang sudah mengantarkan kita sampai ke titik ini. Jangan pernah menganggap pekerjaan kita sepele karena setiap orang dalam sebuah organisasi seperti onderdil yang menyusun sebuah mesin—satu buah baut pun penting. You’re still important no matter what task you’re in charge of. Karena apapun yang kita kerjakan, ketika kita mengusahakan yang terbaik, maka kita adalah yang terbaik.

“Apapun keputusanmu, aku dukung. Ayo sama-sama sukses di bidang kita masing-masing.” Jawab saya pada teman saya itu. Kami pun kembali tenggelam dalam genangan pikiran masing-masing.

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE