LIMA KISAH
- December 17, 2018
- by Nur Imroatun Sholihat
PART 3: FRIENDS
source: trackblasters.com |
“Saya
Madhara Hadinata. Panggil aja Madha.” Pria yang berdiri di sebelah Naura
memperkenalkan dirinya.
“Mada? Gajah
Mada? Yang nama sumpahnya jadi nama satelit telekomunikasi pertama di
Indonesia?” Naura melempar candaan.
“Beda. Madha
pake 'H'.” Madha meralat Naura seolah meralat adalah hobinya. Naura hanya tertawa yang terdengar tanpa suara di tengah riuh hujan.
“Semua anak ilkom tuh seserius ini ya?” Naura memperhatikan reaksi
seseorang yang memegangi payungnya saat ini. Pria yang tangan kanannya memeluk
tas punggungnya itu hanya mengangguk tanpa menoleh ke arah Naura.
“Oh ya, nama
belakang kita sama.” Pria itu akhirnya angkat suara setelah hening beberapa
detik.
“Bedaaaaa.
Cuma sama ‘Dinata’-nya doang. Beda ‘H’ doang aja nggak boleh dianggep sama
apalagi beda beberapa huruf.” Perempuan pemilik payung itu berbicara dengan
yakin kemudian tersenyum.
Sudut bibir
Madha kembali terangkat. Sungguh lelucon
perempuan ini sama sekali tidak lucu tetapi ia terus saja melucu. Hanya saja
tawa perempuan ini seperti menular. Meski apa yang diucapkannya tidak lucu,
orang lain pasti ingin ikut tertawa melihat tawanya.
“Dha...” Setelah perjalanan yang hening, Naura
memanggil nama pria itu. “Madha” Dia menggerak-gerakkan tangannya di depan
wajah pria yang sedang menatap kosong ke depan. “Kosanku ini. Kamu bawa aja payungnya.
Besok kan kita ketemu lagi.”
Belum sempat
Madha menjawab Naura sudah berlari cepat memasuki kosan yang dimaksud. Saya besok berangkat ke Bandung, Nau.
****
(2 Februari 2011)
“Madha...”
Naura tersenyum sembari melambaikan tangan melihat pria itu berdiri di depan studio.
“Ke mana aja?” Naura mulai melangkah meninggalkan studio seusai siaran bersama
Madha yang sudah menunggunya di luar.
“Saya ke
Bandung beberapa hari kemarin. Maaf ya soal payungnya. Saya sebenarnya mau
bilang waktu itu tapi kamu keburu lari masuk kosan,” ujarnya kemudian
mengeluarkan payung berwarna biru dari tasnya. “Makasih ya, Naura.”
“Sama-sama.”
Naura mengambil payungnya dari Madha. ”Kamu ke Bandung ngapain?”
“Nemenin
senior yang ikut kompetisi programming.”
“Nemenin
atau ikut?”
“Nemenin.
Tahun depan semoga bisa ikut.” Ada nada penuh pengharapan di sana.
“Aamiin.”
Naura menangkupkan kedua tangannya. “Btw, kamu tuh asisten lab atau apa sih?”
“Hmmmm”
Madha mengangguk.
“Tiap hari
emang harus ke lab gitu ya? Di lab ngapain aja?” Naura bertanya dengan
semangat.
Madha
menoleh untuk mendapati sepasang mata yang menampakkan keingintahuan yang
besar. Usually people don’t ask me
because my life seems too plain but in her eyes, it becomes something worth to
be listened for—at least from what I see.
“Sebenernya
nggak harus tiap hari sih cuma saya lebih suka ngerjain apa-apa di lab. Yang
dikerjain? Bantu-bantu di kelas praktikum. Biasanya kelas praktikum itu sore tapi
lab dibuka sampai malem buat yang mau belajar di situ.”
“Wah, kamu
bisa juga ya ngomong panjang lebar. Saya kira karena belajarnya bahasa
pemrograman terus kamu jadi kikuk pake bahasa Indonesia. And I’m kidding don’t you
feel offended.” Naura menghentikan Madha yang hendak menjawabnya.
Madha
kembali menatap ke depan. Dia sedang mengumpulkan pikirannya yang berserakan
mendengar kata-kata Naura. Kita akan
bertemu dengan hal-hal semacam ini ketika berteman dengan seseorang yang sangat
berseberangan.
“Just to let
you know, bahasa pemrograman itu bukan buat becanda. Do a little research
before you talk about it.” Madha akhirnya berhasil menyusun kalimat yang
berserakan di pikirannya itu. Menyadari Naura tidak ada di sampingnya, dia
menengok ke belakang mendapati penyiar itu tertinggal beberapa langkah di
belakangnya. Dihampirinya perempuan yang kini terdiam menundukkan wajah.
“Kata-kataku
salah ya?” Madha meng-copy ritme langkah Naura yang kini lambat itu.
Naura
menggeleng masih dalam keadaan menunduk. “Maaf ya. Aku cuma becanda karena muka
kamu capek banget. Ternyata aku salah milih topik becandaan.”
Kali ini
bukannya jawaban yang didengar Naura tetapi suara tawa lirih pria di
sampingnya. Tawa yang pertama kali terdengar dari lelaki itu.
“Sorry. Anak
TI emang gini, Nau. Kadang kalau ngomong nggak mikirin perasaan yang diajak
ngomong. Terlalu biasa ngomong sama layar. Pasti sebagai anak yang
belajar berkomunikasi secara efektif, kamu kesel ya lihat saya? Harusnya
saya milih bahasa yang lebih enak buat didengerin ya.” Madha gantian menghibur
Naura. “Tapi serius bahasa pemrograman jangan buat becanda. It’s our pride so
don’t you talk easy about it. Biasanya saya nggak negur orang tapi sekarang
saya bilang sama kamu karena kamu sudah saya anggap teman. Nanti kalau ada hal
yang nggak kamu suka, dan pastinya banyak ya berhubung saya nyebelin gini
orangnya, let me know. Because we’re friends.”
“Naura...”
Menyadari Naura masih terdiam, Madha memutuskan untuk memanggil namanya.
“Hmmmm”
Naura masih bingung untuk berkata apa berhubung dia takut kembali salah bicara.
“Boleh saya
simpen nomor kamu?” Madha mengulurkan ponsel di tangannya. Naura masih belum
mengambil ponsel yang diulurkan kepadanya. “Teman harusnya saling nyimpen nomor
masing-masing kan?”
Dengan ragu-ragu Naura
mengambil ponsel di tangan Madha kemudian mengetikkan nomor ponselnya.
“Tapi, Dha,
teman juga nggak pakai ‘saya’ waktu ngobrol.” Naura mengembalikan ponsel itu ke
pemiliknya yang disambut dengan tawa kecil sang pemilik.
“Terima kasih,
Naura. Feel free buat ngabarin aku kaya kamu ngabarin teman-teman kamu
lainnya.” Madha mengantungi ponselnya seiring Naura tak lagi menundukkan wajah.
***
(17 Februari
2011)
Hai, ini
Naura.
Naura
berjalan keluar dari studio DASA Radio sembari mengetik pesan untuk seseorang.
Beberapa waktu yang lalu, dia membisikkan kepada Ayu agar memberinya nomor
yang hendak dituju oleh pesan ini. Suara seseorang yang muncul entah dari arah
mana mengagetkannya.
“Lagi
ngetik apa serius banget?” Suara seseorang ini sedalam Naura terakhir kali
mendengarnya kala itu.
Hampir saja
Naura melompat jika tidak mengingat hal tersebut akan membuat seseorang di
depannya terkejut. Pria di depannya menatap penuh keheranan pada wajah Naura
yang mendadak pucat pasi.
“Ada acara
apa malem-malem ke sini?” Naura berusaha terlihat tenang.
Yang ditanya
hanya menggeleng seolah hanya gelengan adalah satu-satunya jawaban atas
pertanyaan Naura. Pria yang hampir tidak pernah menghitung nilai kredit di neraca itu kemudian melempar senyum khas yang –did he know he has a lovely smile?
“Aku nggak
tau tiba-tiba udah sampai sini. Aneh ya?” Galen menggaruk dahinya perlahan.
Naura
mengangkat bahunya kemudian tertawa. Sang pemilik gelengan pun ikut tertawa.
“Mau pulang,
Nau?”
“Iya.”
“Biasanya
pulang sama siapa?”
“Biasanya
sama temen tapi dia lagi ada acara di Depok makanya sekarang pulang sendiri.”
“Ohhhh. Mau
dianterin pulang?” Spontanitas lainnya dari pria ini setelah kedatangannya ke
gedung ini yang tanpa alasan itu.
“Nggak usah.
Ngrepotin.” Naura menolak sopan.
“Nggak
apa-apa. Kosan kamu di mana?”
“Belakang
kampus. Tapi beneran bisa pulang sendiri kok.”
“Nggak apa-apa. Memastikan penyiar radio favoritnya anak-anak DASA selamat sampai tujuan itu tugas lumayan penting buat setiap mahasiswa di sini.” Pria ini selalu terlihat polos dalam berkata-kata sehingga Naura bahkan tidak khawatir ada maksud lain dari kalimatnya. Dengan ucapan sesederhana ini, Naura pun tak lagi menolak tawaran yang datang kepadanya itu. Sang penyiar kemudian memasukkan ponselnya ke tas. Dia tak perlu lagi mengirim pesan kepada seseorang ini sebab seseorang itu telah berdiri di sampingnya.
Galen melangkah
perlahan di samping Naura sembari bercerita tentang dirinya yang sedang
mendengarkan acara Lima Kisah sebelum akhirnya melangkah ke sini. Sepertinya dia
memiliki kebiasaan menertawakan penjelasannya sendiri seperti saat menyatakan
dia tidak pernah menghitung nilai kredit dalam neraca. Bahkan saat ini, ketika
dia menjelaskan langkah kakinya ke gedung kemahasiswaaan yang seolah tak
beralasan itu, dia tertawa. Sebuah tawa polos yang membuat langit yang hening
malam itu seperti terhujani kembang api.
“Tadi kamu setelin ‘I knew I loved you. I
have been waiting all my life’. Pas banget sama kisah yang
sebelumnya kamu bacain.” Galen
menyanyikan sepenggal lirik lagu milik Savage Garden itu.
Naura
mengalihkan pandangannya yang ke arah pria yang malu-malu bernyanyi itu. Have you ever feel so dragged into someone
just because their simple something? Like, the way he thinks, speaks, moves,
smiles, or ...... the way he suddenly exists in front of you when you are
thinking about them.... or the way he coyly sings? I do.
“Alasan kamu
jadi penyiar radio apa sih, Nau?” Galen mengalihkan topik menyadari Naura tidak
berkomentar apapun atas topik lagu yang diputar di acaranya tadi itu.
“Sejak kecil
aku tumbuh bareng radio karena bapakku juga penyiar di Magelang. Jadi setiap
malam sambil belajar aku dengerin bapak siaran. Dengerin bapak siaran tuh
emosional banget deh rasanya.” Suara Nuara melirih.
Galen hanya
terdiam menatap Naura yang menundukkan kepala. Ketika aku pikir aku tertarik karena keriangannya di radio, aku justru
lebih terikat pada Naura yang terdiam seperti sekarang. Ketika aku pikir dia
yang begitu ringan melangkah adalah alasanku menatapnya, ternyata dia yang
memiliki kedalaman pemikiran, yang langkahnya seolah penuh pemikiran, adalah
versi dari dirinya yang membuatku ingin menepuk-nepuk kepalanya.
“Nau, kamu udah
pernah ke museum telekomunikasi belum? Ada soal radio juga lho.”
Naura
menoleh kemudian menggeleng.
“They said
people become closer when they travel together. As friends, let’s go that place
together.”
“Hmmmm.” Jawaban di antara ya dan tidak yang Naura berikan.
“Kalau...”
Galen nampak menimbang-nimbang apakah ia perlu melanjutkan kalimatnya. “Kalau
besok kita ke sana gimana? Kita berdua.” Galen menunggu jawaban Naura yang kini
terlihat berpikir. “Hmmmmm... kalau kamu mau ngajak temen juga nggak apa-apa.”
Galen berusaha mengurangi kekikukan di antara keduanya.
Naura
akhirnya mengangguk. Aku baru saja akan
mengiriminya pesan sebelum dia muncul tiba-tiba di hadapanku. Seolah-olah
pikiranku menariknya melangkah ke sini, dia hadir tanpa tahu alasannya berada
di sini. Seolah ketika memanggil namanya, dia akan datang begitu saja di
depanku. Seseorang yang sepertinya sangat mengetahui apa-apa yang aku sukai itu
mengajakku ke tempat yang sebenarnya sudah lama ingin aku kunjungi. Galen
Wardhana seperti ledakan kembang api bagiku. Seperti lagu yang sedang populer:
Firework dari Katy Perry. Dia datang begitu saja, berpijar dalam kilau yang
menyinari pikiran.
****
(11 Februari 2017)
“Inget nggak sih Februari 7 tahun yang lalu kamu nyuruh aku
sengaja nggak dateng biar Galen sama Naura berdua aja ke museum?” Ayu berujar
sembari memilih cincin yang akan menjadi cincin pernikahannya.
Faris pun tertawa menyadari kebodohan keduanya kala itu. Galen
mengajak Faris, Naura mengajak Ayu tetapi keduanya tak muncul di hari itu.
“Dari awal masuk kampus, Galen pengen tahu soal Naura. Mana tega
aku ganggu.”
“Eh? Kok aku nggak tau? Aku kira dia mulai suka pas ketemu di
studio atau sesudah itu.”
“Tau kan Naura suka ngasih kata-kata bijak waktu siaran? Galen
seneng banget dengerin itu. Itu kenapa kesempatan kenal Naura itu kaya anugerah
buat dia.”
“Ngomong-ngomong soal bersyukur kenal Naura, aku jadi inget Madha.”
“Oh ya? Kok aku nggak tau?” Faris terkejut.
“Karena Madha lebih sering diem. Tapi beberapa waktu yang lalu waktu
aku tanya itu jawaban dia.”
Keduanya bertatapan menyadari kedua pria itu sama-sama tidak
bersama Naura saat ini—berkebalikan dari perasaan mereka terhadap perempuan
itu.
0 Comments:
Post a Comment