LIMA KISAH
- January 02, 2019
- by Nur Imroatun Sholihat
PART 5: HIGH HEELS
source: trackblasters.com |
Naura tidak tahu mana yang sekarang sedang mengganggu pikirannya:
kenyataan bahwa Galen refleks menghindar jauh ketika Naura ingin mendengar
detak jantungnya atau kenyataan bahwa detak jantung Madha terdengar begitu
keras saat dia mendekat. Baik mengetahui maupun tidak mengetahui ternyata sama
rumitnya. Masalahnya juga tidak sesederhana itu: sepertinya yang dia katakan
sebelumnya, bagaimana menerjemahkan detak jantung? Jantung berdetak kencang
tidak melulu secara spesifik ekuivalen dengan perasaan tertentu. It doesn’t even necessarily related to affection. Terlebih bagi Madha yang selama ini tidak memiliki teman
perempuan. How if he was just flustered because never a woman came that close?
Soal Galen, jangankan soal apa arti denyut jantungnya, Naura bahkan tak pernah
mendengar denyut itu dari jarak yang memungkinkannya untuk mendengar. Jika pun
sudah mendengar, dia juga tidak bisa serta merta memaknainya. Jelas ini
membingungkan. Bagi diri seseorang berusia 19 tahun, hal yang terdengar remeh
bagi orang-orang dewasa itu sudah cukup membuatnya sulit tertidur malam ini.
Lebih penting dari detak jantung orang lain, bagaimana dengan detak jantungnya
sendiri? Denyut semacam apa yang dimiliki jantungnya ketika bersama Madha
maupun Galen?
Aku sekarang tahu mengapa
denyut jantung tidak pernah dimasukkan sebagai bahasa nonverbal. Bukankah detak
jantung adalah hal yang tidak bisa kita dapati tanpa mengganggu privasi dan
juga teramat rumit untuk dimaknai? Naura menutup matanya dengan kedua tangannya
agar cepat terlelap dan melupakan kegelisahannya. Eventhough I said heartbeat isn’t even considered as a part of
communication, now I can’t live without curiousity about someone’s heartbeat towards
me.
***
“Naura kok rapi banget hari ini?” ditatapnya perempuan yang baru selesai
siaran itu. Naura memakai dress selutut berwarna biru tua dengan high heels
berwarna hitam. Naura berusaha menahan agar ekspresi terkejut tidak muncul di
wajahnya. Sebenarnya dia bersyukur beberapa minggu belakangan dia tidak pulang
bersama Madha—entah karena disengaja atau tidak oleh pria ini. Pikirannya masih
cukup berantakan memikirkan detak jantung yang tak sengaja didengarnya. Dan
kehadiran pria yang memakai sweater berwarna hijau tua itu saat ini seolah
mengoyak ketentramannya.
“Iya abis nge-MC gala dinner di dekanat terus langsung ke sini siaran.”
Naura merapikan pikirannya agar tidak terbata-bata berucap.
“Besok aku berangkat nemenin seniorku lomba.” Madha bercerita ketika
mereka mulai keluar dari gedung kemahasiswaan. “Beberapa minggu terakhir aku
menemin dia belajar. Makanya nggak bisa pulang bareng.” Madha menjelaskan tanpa
diminta.
“Kalau gitu kamu duluan aja. Pasti pengen cepet istirahat kan.” Naura
memberi isyarat dengan tangannya agar Madha berjalan duluan. Entah bagian mana
dari dirinya yang mengucapkan kalimat barusan: diri yang sedang menghindar dari
Madha atau diri yang peduli pada seorang teman.
Madha sekilas menatap langkah Naura yang lambat sebab berjalan dengan
high heels. Dialihkannya kembali tatapannya ke depan. Langkahnya yang sudah
lambat semakin melambat.
“Nggak apa-apa kok, Nau.” Madha menggeleng. “Kamu nggak bawa sepatu
ganti?”
“Nggak. Lupa. Tadi buru-buru. Kamu duluan...”
“Mau pake sepatuku?” Potong Madha. Naura urung melanjutkan sarannya agar
Madha berjalan duluan saja. Dilihatnya Madha melepas sepatu tanpa menunggu
jawaban darinya. Madha berdiri tanpa alas kaki memberi kode agar Naura melepas
sepatunya tetapi perempuan itu hanya membeku di tempatnya.
“Kamu khawatir aku modus ya? Nggak, Nau. Cuma nglakuin apa yang temen
lakuin. Katamu aku harus belajar buat sensitif.” Madha berjongkok untuk melepas
sepatu Naura. Perempuan itu refleks melangkah mundur. “Dan kamu harus belajar
buat nggak curiga.” Madha melangkah maju masih dengan posisi berjongkok untuk
menjangkau sepatu Naura.
“Aku nggak curiga kok. Cumaa....” Naura akhirnya membiarkan Madha melepas sepatunya.
“Cuma nggak mau pertemanan kita jadi aneh.”
“Bima, Deka, Recha, mereka bukannya juga baik banget ke kamu. Kenapa cuma
ke aku kamu bilang itu aneh?”
Naura terlihat kehilangan kata-kata. Bola matanya bergerak cepat secepat
dia sepertinya ingin menjawab meski kata-kata tak kunjung muncul di kepala.
“Mungkin karena kita belum temenan selama aku temenan sama mereka. Itu
kenapa aku belum nyaman nerima kebaikan-kebaikan lebih dari kamu." Naura menunduk untuk memakai sepatu Madha ketika Madha menghentikannya.
“Dan minjemin sepatu bukan kebaikan lebih lho, Nau. Every man can do
that even to a stranger because we are naturally have protective instinct
towards woman.” Madha selesai memakaikan sepatunya untuk Naura kemudian berdiri kembali bersama high heels di tangannya.
“Oke, sorry. Mulai sekarang aku bakal nerima kebaikan kamu tanpa mikir
itu aneh.” Naura mengangguk yakin. Madha tersenyum tanpa menatap Naura. Matanya
masih sepenuhnya terfokus pada sepatunya yang kini dipakai Naura dan kakinya
yang berjalan tanpa alas. Naura kini bisa berjalan lebih cepat meski sepatu
converse itu terlihat kebesaran di kakinya.
“Dha, aku mau beli nasi goreng
dulu ya.” Naura menunjuk ke arah pedagang nasi goreng tepat di samping pintu
keluar kampus.
“Emang tadi nggak makan pas gala dinner?”
“Nggak sempet. Masih banyak orang terus udah keburu mau siaran juga.”
Madha mengangguk pertanda memahami alasan Naura. Dia pun ikut duduk
menunggu nasi goreng untuk Naura dibuat. Keduanya sedang mengobrol tentang
acara yang besok akan diikuti Madha ketika ponsel Naura tiba-tiba berdering.
Madha menghentikan penjelasannya memberi kesempatan Naura untuk mengangkat
panggilan yang masuk.
“When they played I’d sing along.
It made me smile.” Madha memperhatikan Naura yang sepertinya tidak terusik
dengan panggilan yang datang dan justru terlihat serius mendengar nada
deringnya sendiri.
“Kok nggak diangkat, Nau?” Madha memecah konsentrasi Naura terhadap lagu
favoritnya itu.
“Penggemar acara radioku. Udah cukup ngeganggu.” Naura menunjukkan layar
ponselnya yang memunculkan deretan nomor. Pasti nomor ini sudah cukup sering
menelpon ketika Naura tidak menyimpannya tetapi hafal siapa pemilik nomor itu.
“Siapa tahu dia suka sama kamu, Nau.” Madha kembali memecah konsentrasi
Naura terhadap nada deringnya.
“Justru karena itu, Dha. Ngeganggu banget.”
“Orang suka kok ngeganggu sih, Nau.”
“Maksudku, caranya. Bukan dengan ngejar-ngejar gini. Pengennya tuh
natural aja gitu, Dha. Kenal, jadi temen, terus ngrasa cocok. Bukan dari orang
yang nggak aku kenal terus tiba-tiba bilang suka.”
“Siapa tahu dia orang yang baik, Nau. Cuma karena nggak tau cara bisa
jadi temen kamu aja.”
“Kok kamu jadi belain dia sih?” Naura menatap heran. Saat itu pula, nada
deringnya kembali berdering. Sekali diabaikan, sang pemilik nomor mencoba menghubungi
Naura kembali. Naura memasukkan ponselnya ke tas seolah sama sekali tak peduli pada panggilan itu.
“Bukan belain.” Madha terlihat kaget mendengar protes Naura. “Tapi kamu
tahu sendiri, nggak semua orang jago berkomunikasi. Nggak semua orang bisa
mengekspresikan dirinya dengan pas. Juga nggak semua orang punya akses buat
kenal kamu gitu aja.” Penjelasan Madha yang disambut ketiadaan jawaban Naura. Nasi
goreng yang dipesannya sudah jadi sehingga dia bergegas membayar kemudian
kembali melangkah. Mereka berjalan dalam keheningan sampai gerbang kosan Naura.
“Nau, tapi kalau orang yang tadi nelpon itu ngeganggu banget buat kamu,
block aja nomornya. Atau perlu aku hack hp-nya?” Madha mengulurkan high heels Naura kemudian berlalu
dari hadapan Naura.
Naura tersenyum tak percaya sembari menatap punggung Madha yang semakin
lama semakin tak terlihat. Pria ini jelas kesulitan mengekspresikan pikirannya
dengan baik yang berujung pada ambiguitas di mata Naura. Ada ucapannya yang sepertinya akan selalu aku ingat sampai tua: “Atau
perlu aku hack hp-nya?” (Madhara Hadinata, 2011). Entah mengapa aku merasa sebenarnya
dia ingin melindungiku dari apapun yang mengganggu hatiku. If that’s the case, every woman needs someone like him--as a friend or maybe more.
***
“Madha, pagi-pagi ngapain udah
sampai sini?” Naura yang baru saja menerima pesan Madha yang menyuruhnya
keluar sebentar membukakan gerbang kosannya. Meski matanya belum sepenuhnya
terbuka, dia bisa melihat Madha berdandan rapi lengkap dengan tas ranselnya
yang terlihat berat. “Mau ambil sepatu ya?” Naura menatap kaki Madha tetapi
pria itu ternyata memakai sepatu.
“Nggak. Simpenin dulu ya.” Madha menggeleng. “Tiga hari ke depan pulang
sendiri ya. Tempat lombanya cuma di Jaksel tapi aku nginep di sana.”
“I know. Kan beberapa minggu ini aku juga pulang sendiri.” Naura mengusap-usap kedua matanya dengan tangan kiri menyadari
dia masih sangat mengantuk.
“Take care.”
“I know....” Ucapan Naura berhenti begitu saja ketika Madha
menepuk-nepuk kepalanya perlahan. Tangan kirinya berhenti mengusap matanya. Dia
tak perlu untuk membuat kantuknya hilang. Tepukan tangan seseorang di kepalanya
cukup untuk membuyarkan semua kantuk yang ada.
“Lihat deh. Kamu keluar tanpa peduli sisiran atau cuci muka dulu.”
Telapak tangan yang semula menepuk-nepuk kepala bergerak menyisir rambut Naura
dengan jari-jarinya. Madha berusaha merapikan rambut Naura yang sedikit
berantakan. Naura terlihat kikuk bersama diri yang menyadari setiap gerakan
tangan seseorang di rambutnya.
“My heart feels uneasy to know kamu bakal pulang sendirian sementara
semalem kamu cerita kalau ada penggemar acara radiomu yang ngejar-ngejar kamu.
So please take care of yourself well. Minta Bima, Recha, atau Deka jemput juga
mereka pasti nggak keberatan kok.” Madha menurunkan tangannya dari kepala
Naura. “Cuma mau ngomong itu kok. Aku berangkat dulu ya.” Madha melambaikan
tangannya kemudian pergi menjauh seolah tidak terjadi apa-apa barusan.
What’s the point of that
action? Sometimes we wish we knew someone’s feeling so we could react
correctly. The friendship line, has he went over it? I wish I knew.
***
“Galen.” Naura melambaikan tangannya dari seberang jalan. Tatapan
matanya memastikan benar Galen yang dilihatnya sedang berjalan di trotoar depan
Fakultas Ekonomi.
“Hei.” Galen menyapa dengan suaranya yang terdengar semakin dalam
seiring Naura mengenalnya. Galen menyeberangi jalan yang memisahkan Fakultas
Ekonomi dan FISIP untuk menghampiri Naura. “Tumben banget kita ketemu di
kampus.” Galen tersenyum khas yang menunjukkan deretan rapi giginya.
“Iya ya. Kamu darimana?”
“Perpus pusat. Balikin buku.” Galen menunjuk ke arah perpustakaan
Universitas Dharma Bangsa yang terletak tak terlalu jauh dari fakultas mereka.
“Jadi lombanya besok? Kok nggak belajar?”
“Cuma lomba sejurusan, Nau. Biar bonding
antar angkatan makin kuat kata anak-anak HIMA. Nggak usah ditanggepin
serius-serius.”
“Emang kapan kamu serius? Kredit aja nggak pernah dihitung.” Naura
tertawa meledek.
“Itu kalau waktunya nggak cukup, Nau. Kalau cukup ya aku ngitung. Mau
sampai kapan coba kamu jadiin itu senjata buat ngehina-hina aku?” Galen tertawa
hingga matanya menyipit.
“Kredit tuh kaya separuh jiwanya anak akuntansi gitu. Kok bisa nggak
kamu hitung. Gimana nggak aku hina-hina.” Naura tertawa puas meledek Galen yang
menatapnya seolah hendak memakannya hidup-hidup.
“Coba kamu jadi anak akuntansi. Jangankan ngitung kredit. Selesai
ngerjain soalnya juga nggak. Emangnya ujian komunikasi yang pertanyaannya
‘kentongan dipukul 7 kali artinya apa’? Akuntansi kan susah.” Galen tertawa
lepas melihat Naura yang gantian memasang wajah kesal.
“Emang kamu pikir anak komunikasi segitu santainya ya? Coba kamu jadi
anak komunikasi, otakmu kram mikir kata-kata yang efektif buat komunikasi.”
“Becanda, Nau. Kok kamu ngambeknya beneran sih. Aku ke-DO deh kalau
kuliah komunikasi karena nggak bisa berkomunikasi dengan baik dan benar.” Galen
tersenyum menghibur. Naura menahan diri dari tersenyum melihat wajah polos Galen menunggunya
berbicara.
“Ya udah deh aku kuliah dulu ya.” Galen berjalan ke arah FISIP. Dia
kemudian berbalik arah sembari menatap Naura. “Eh, mana sanggup aku kuliah di
FISIP. Ke-DO langsung nanti aku.” Galen tertawa ke arah Naura mencoba
mencairkan kekesalan perempuan itu.
“Galen...” Suara Naura terdengar tidak yakin hendak benar-benar
memanggil.
“Hmmmm.” Galen yang sudah bersiap menyeberang menoleh ke arah Naura yang
berlari kecil kemudian berdiri di belakangnya.
“Kentongan dipukul 7 kali artinya Galen butuh bantuan. Sekarang aku udah
dateng.” Naura berlari kecil kemudian berdiri di belakang Galen. “Ada yang bisa
dibantu?”
Galen tersenyum kecil mendapati Naura masih mengingat ucapannya setengah
tahun yang lalu. Ada yang bisa dibantu?
Help me, the girl in front of me is smiling
so lovely.
“Kalau 8 kali?” Galen menguji.
“Ada kebakaran.” Jawab Naura mantap.
“Kalau 9 kali?” Galen masih ingin meyakinkan diri Naura mengingatnya.
“Ada maling.” Naura tersenyum menyadari dirinya bisa menjawab semua
pertanyaan Galen. “Kamu malingnya ya kok senyum-senyum sendiri?” Naura menuding
Galen.
Galen menggeleng sembari tersenyum. Naura,
jangan buat aku ingin membolos kelas siang ini dengan obrolan menyenangkan ini.
Dan juga kamu mengingat itu karena daya ingatmu memang sangat bagus atau karena
aku yang mengatakannya? I want to know the answer of this seemingly unimportant
question.
***
“Naura, kemarin vitamin di tasku kamu yang masukin ya?” Galen menyambut perempuan yang baru saja tiba di ruangan lomba cerdas cermat jurusan akuntansi
dengan curiga. Naura tersenyum menyadari di tengah kegaduhan itu, mereka bisa dengan mudahnya saling menemukan.
“Wah, ada orang yang ngasih kamu vitamin ya? Baik banget sih orangnya
tau aja kamu mau lomba.” Naura menjawab dengan datar.
“Bukan kamu, Nau?” Desak Galen.
“Kalau iya kenapa? Kalau bukan kenapa?”
“Mempengaruhi aku makan apa nggak,” Galen menunggu reaksi di wajah
Naura. Sudut bibir Galen terangkat melihat bola mata Naura yang bergerak cepat.
“Hahaha. Nggak usah khawatir nggak aku makan gitu dong.”
“Kok nuduh sih.” Naura masih menyangkal.
“Karena kamu bukan aktris pemenang Grammy yang bisa akting dengan
sempurna. Look at those eyes...” Galen membungkukkan badannya agar tatapan
mereka bertemu. “...kamu pikir kamu bisa bohong?” Galen tersenyum penuh
kemenangan. Diambilnya vitamin dari sakunya kemudian dikelupasnya kemasan
berwarna oranye itu. Dikulumnya tablet yang juga berwarna oranye itu seolah
permen favoritnya.
“Juara berapa Galen? Juara satu?” Naura buru-buru mengalihkan topik.
Galen menggeleng sembari tersenyum menyadari Naura mengalihkan topik
begitu saja. Kekikukan semacam ini, aku
menyukainya.
“Juara dua?”
Galen kembali menggeleng.
“Juara harapan.” Galen tertawa menyadari pencapaiannya yang tidak
membanggakan itu. “Dari 6 tim. Hahahahaha.” Tawanya terdengar sangat tulus
seolah berapa pun peringkat yang didapat tidak bisa menganggu pikirannya.
“Good job, Galen Wardhana.” Naura menjinjitkan kakinya kemudian
menepuk-nepuk kecil kedua bahu Galen.
Dengan Naura berdiri tepat di depannya dan di dekatnya, tak ada alasan
Galen untuk menatap ke arah lain. Senyum kanak-kanak yang sedari tadi terpajang
di wajahnya luntur begitu saja. Tersenyum
tanpa menatap—mengapa kamu senang sekali melakukan hal ini? Naura, tell me what
I am to you? Things get a bit blurry here.
Bahwa sesungguhnya tepukanmu di bahuku seolah mengabarkan kepadaku bahwa
informasi yang diumumkan oleh juri baru saja diralat: ternyata aku juara satu.
Galen melirik ke kaki Naura yang harus berjinjit cukup tinggi agar bisa
menepuk bahunya. Galen sedikit melipat lututnya agar Naura tidak perlu lagi
berjinjit. Menyadari Galen merendahkan
badannya untuknya, Naura melepas tangannya dari bahu Galen. Galen tersenyum
melihat Naura tertawa malu.
“Aku nggak sependek itu, Len.”
“Really?” Galen tersenyum hingga matanya melengkung.
“Apa aku harus pake high heels dulu?” Naura menatap ke arah kakinya yang
saat ini memakai sneakers berwarna putih.
“Nope. Just wear sneakers as usual and you’re okay.” Galen tersenyum
lembut seperti biasa. Tatapan matanya belum lepas dari Naura meski telah menatap
cukup lama.
“Tapi perempuan yang pake high
heels kelihatan lebih cantik. Ya kan?” Naura yang semenjak tadi menunduk
memandangi kaki tiba-tiba mendongak mencari persetujuan di wajah Galen. Sebelum
perempuan itu mendapati tatapan yang terpaku padanya, Galen tergesa-gesa
berpaling sembari menahan senyum di wajahnya. Naura mengernyitkan kening
mendapati Galen yang seperti tidak mendengarkannya.
“Tapi perempuan yang nyaman sama dirinya sendiri, yang mengerjakan
hal-hal yang disukainya itu lebih cantik.” Galen menimpali pertanyaan Naura tanpa
menatapnya.
Naura tersenyum dengan senyum yang membuat Galen gagal untuk tidak
menatapnya.
“Kamu dan kata-kata bijak itu benaran nggak cocok berdampingan ya.
Kedengeran lucu.” Naura tertawa. Galen menatap tak percaya. Di saat senyum
perempuan ini diasumsikannya sebab mendengar kata-kata filosofis ternyata Naura hanya sedang menganggap itu lucu saja. Galen turut tertawa
menyadari Naura tidak menangkap maksud yang tersembunyi dari kalimatnya. I failed a lotta times to express my feeling
yet still I'm smiling.
“Kalau aku bilang sebagian besar hal yang aku bilang di depan kamu itu
serius, kamu percaya, Nau?” Galen melangkah mendekat sehingga jarak mereka
menjadi demikian dekat. Naura stopped laughing realizing Galen is towering
over her now. “And also, if those
eyes don’t lie, I think you know to where this friendship should be brought.” Galen melangkah mundur memberikan spasi di antara dirinya dan Naura. Pria itu sekali lagi melempar senyum kemenangan.
0 Comments:
Post a Comment