LIMA KISAH
- February 18, 2019
- by Nur Imroatun Sholihat
PART 7: ABERRANT DECODING
source: trackblasters.com |
“Madhaaa.”
Kepala Naura muncul dari balik pintu. Sosok yang dicarinya tidak terlihat ada
di tempat duduknya biasa meski laptop hitamnya berada di meja. Naura melangkah
perlahan mendekat. Madha tertidur di 3 kursi yang dirapatkan. Badannya
meringkuk agar deretan kursi yang tidak terlalu panjang itu bisa memuat dirinya
yang tertidur lelap. Naura berhenti di dekat kursi kemudian melirik layar
laptop yang masih menyala. Dia baru saja
tertidur, gumamnya. Naura pun kembali ke studio radio dan menunggu sampai
waktu siarannya tiba. Di tanggal 22 Desember 2011 itu, surat-surat yang akan
dibacanya bertema ibu. Semula untuk mengurangi resahnya dia ingin mengganggu
Madha yang biasanya sedang coding tetapi
hari itu sahabatnya itu justru tertidur.
“Naura, udah
selesai siarannya?” Madha yang matanya masih sedikit merah seolah tidak mau
bekerja sama untuk menyembunyikan kenyataan bahwa dia baru saja terbangun menyapanya
di depan studio. Naura mengangguk.
“Yuk
pulang.” Naura berbicara lirih, tanpa semangat.
“Kamu barusan ngapain aja?”
“Coding lah. Biasa.” Madha mengusap
matanya seolah mengusir kantuk.
“Kalau
ngantuk kamu kan bisa pulang duluan, Dha.” Naura memancing reaksi Madha ketika
kata mengantuk disebutkannya.
“Iya nih
seharian tadi full kuliahnya. Kamu
hari ini ngapain aja?” Madha dengan lihainya mengalihkan pembicaraan. Naura
menatap kosong ke depan. Tak ada tanda-tanda dia ingin menjawab. “Kamu udah
telepon bapak belum? Telepon sana.” Madha berbicara agar suasana tidak terlalu
hening.
Naura
mengangguk. “Udah kok.” Jawabnya lirih.
Madha sekali
lagi melirik ke arah Naura yang sedang menatap ke depan dengan tatapan yang tak
bernyawa. Hening kemudian. Mereka terlarut dalam pikiran masing-masing bersama
rasa yang teraduk-aduk. Seolah tanpa alasan yang jelas, Madha meraih
pergelangan tangan Naura. Dia menarik gadis itu agar berlari bersamanya. Dia
tersenyum menatap Naura yang terkejut menyadari badannya terseret untuk
berlari.
“Madha, kita
bisa dikira maling malem-malem lari-lari.” Naura tersengal-sengal.
“Ayo kita
makan nasi goreng kesukaanmu.” Madha berbicara tanpa menoleh ke arah Naura yang
terseret di belakangnya.
“Tapi nggak
perlu lari juga.”
“Aku laper
banget, Nau.” Madha masih tidak menolehkan wajahnya. Entah mengapa Naura bisa
merasakan bahwa Madha saat ini sedang tersenyum. This simple action he does tonight, I don’t know what’s inside his mind
but it eases my heart a bit.
“Nau, kamu
tahu nggak kalau coding itu kaya
bikin rumah.” Madha melepaskan genggamannya ke tangan Naura menyadari gadis itu
seperti hendak kehabisan napas. Dia kemudian berjalan mundur sembari mengajak
Naura berbicara. “Oh ini aku nyusun bata buat pagernya, ini kaca buat
jendelanya. Semua ibarat serpihan-serpihan kecil. Terus ya kaya waktu bikin
rumah, pertama kali bikin ya miring lah rumahnya, jendelanya nggak pas lah, macem-macem
deh ya. Tapi lama-lama bisa bagus juga.” Madha berbicara lebih cepat dari
biasanya dengan intonasi yang sungguh asing di telinga Naura. Madha menjelaskan
dengan semangat seolah dia sedang menjelaskan kepada seorang anak TK—kontras dengan
intonasi bicaranya yang selalu terkesan datar itu.
“You always
explain the coding things to me like I’m a 5 years old kid. Hihihi.” Naura
tertawa.
“Sorry,
nggak bermaksud bikin kamu ngrasa aku nganggep kamu nggak bakal paham lho,
Nau.” That displayed how much I like to
explain things to you to make you understand. That displayed how much I want to
talk a lot tonight to make you forget the sorrow.
“Nooo. I
like it.” Naura cepat memotong kalimat Madha.
Madha
tersenyum. Kali ini bukan dengan
senyum setengah jalan khas dirinya. Sebuah senyum kelegaan yang entah apa
penyebabnya. Naura ikut tersenyum
melihat senyum lepas Madha. He who is
usually the quiet boy talks so much tonight. Bagi aku dan Madha, komunikasi
kami sering kali mengalami abberant decoding1. Dia selalu berbicara
terlalu sedikit sehingga aku tidak bisa benar-benar memahami pesan yang ingin
dia sampaikan. Tetapi malam itu, aku mengerti semua pesan yang ingin dia
sampaikan—bahkan pesan tersirat yang tersembunyi di balik tindakannya.
“Madha...”
“Hmmm” Madha
yang kini berjalan di samping Naura menoleh.
“Makasih.
Aku tahu kamu sengaja nglakuin ini.” Naura tersenyum tulus. “Pikiranku kan
tembus pandang buat kamu jadi biasanya kamu tahu apa yang harus kamu lakuin.”
“Hmmm.”
Madha mengangguk. Kali ini dia menoleh ke arah Naura dan tersenyum. “Masih
tetep mau makan nasi goreng kan?”
***
Pagi itu,
Galen yang memakai kemeja biru muda yang lengannya digulung sesiku berjalan
mondar-mandir menunggu kehadiran seseorang. Langkahnya berhenti kemudian dia
memilih bersandar ke tiang tanpa melepaskan tatapannya orang-orang yang mulai
berdatangan ke tempat tersebut.
“Kenapa kamu
tiba-tiba pengen ke museum Telekomunikasi lagi deh? Masih mau kembali ke masa
kentongan?” Seseorang yang ditunggunya akhirnya datang. “Atau kamu merasa
setiap bulan Februari kita harus ke sini?” Naura kembali tertawa mengingat kenangan
setahun yang lalu.
Galen berjalan
memasuki museum tanpa mempedulikan ucapan Naura. Naura yang tidak mendapat
jawaban itu mengikuti langkah Galen tanpa mengerti maksud pria itu. Galen berhenti
di depan display yang memamerkan handy talkie (HT). Dia berbalik arah
untuk berhadapan dengan Naura kemudian berbicara seolah-olah ada HT di
tangannya.
“Naura,
jadiin aku orang yang paling sering kamu ajak berkomunikasi. Setuju? Over.”
Galen menatap lurus Naura yang menatapnya dengan linglung.
“Kok nggak
jawab? Bukannya di istilah komunikasi HT, ‘over‘ artinya ‘ini akhir pesanku dan
jawaban dibutuhkan’?” Lingkaran mata Galen membesar seolah konfirmasi dari
Naura.
Naura
mengerutkan keningnya. Diajak bertemu tiba-tiba di museum ini saja sudah
mengejutkannya. Apalagi ditambah ucapan Galen yang entah apa maksudnya itu.
“Kita kan
berkomunikasi hampir tiap hari. Maksud kamu apa? Over.” Naura mengikuti
permainan HT ala Galen. Sudah bukan rahasia lagi mereka senang melakukan
permainan-permainan bodoh bersama.
“Orang yang
paling sering kamu ajak bicara sepanjang hidup. Will you? Over.”
“I will talk
to you all my life. Kita kan saha....” mata Naura membesar menyadari tidak mungkin
dia berbicara seumur hidup dengan Galen saat mereka masing-masing di masa depan
sudah menikah.
Galen menunggu
reaksi selanjutnya dari Naura. Dia mengusap-usap keningnya menyadari rencananya
bisa gagal begitu saja karena Naura tak kunjung memahami maksud ucapannya.
“Orang yang di
masa depan bisa berkomunikasi sama kamu dengan detak jantung. Over.” Menyadari
keheningan Naura, Galen berbicara lirih masih melalui HT imajinernya.
Naura yang
akhirnya menyadari maksud Galen tertawa tak percaya. This guy prepared his words very meticulously. His intention is so subtle to the point I don’t even realize how sweet it
is.
“Kalau mau
aku bisa denger detak jantung kamu kok.” Naura melangkah maju mendekati Galen.
Dia menahan tawa yang hendak meledak begitu saja.
“Bukan gitu
maksudnya, Nau. Dua tahun aku denger kamu siaran dan mau aku suara itu nemenin
aku setiap hari.” Galen menghindari Naura yang mendekat. Ketenangannya menyusun
kata-kata pecah berserakan begitu saja. “Setiap hari sampai aku tua nanti.”
Lanjut Galen yang masih melangkah mundur. Naura menghentikan langkahnya. Sampai aku tua nanti? Kata-kata yang
barusan didengarnya itu tengiang di kepalanya.
“WILCO.”
Naura berbicara melalui HT imajiner di tangannya.
“Apa itu?”
Kedua alis Galen bersatu sebab berpikir keras.
Naura
mengangkat bahunya.
“Bentar aku
googling. WILCO2 pake C apa K, Nau?”
Naura
kembali mengangkat bahunya kemudian berlalu.
“Aku ditolak
ya?” Teriak Galen.
“Abberant decoding1 banget sih
ini.” Naura tertawa sembari melanjutkan langkahnya. “W-I-L-C-O. Googling sana.”
Naura berteriak dari jarak 3 meter di antara mereka.
“Nauraaaaaaaaa,”
Galen berlari mendekat begitu membaca arti WILCO di internet. “Kamu tahu nggak
aku mikirin ini sebulan sendiri supaya kamu terkesan tapi jatuhnya failed. Hahaha.” Galen tertawa
sumringah. “Makasih ya, Naura.” Nada bicara Galen berubah menjadi serius. Dia
kemudian menepuk lirih lengan Naura 7 kali. “Help me. Jantungku rasanya mau
loncat. Aku suka kamu udah lama banget Nau. Sejak belum kenal kamu. Kamu
beneran suka sama aku?”
Naura tidak
bisa menahan tawa lepasnya melihat wajar Galen yang merah padam ketika berusaha
menjelaskan. Wajahnya yang selalu terlihat percaya diri itu terlihat kikuk
menunggu jawaban Naura.
“Sebenernya
aku ragu juga sih. Iya nggak ya?” Naura terlihat berpikir keras. Aktingnya
berhenti begitu saja melihat wajah terkejut Galen. “Welcome to my life, Galen
Wardhana. Bukan sebagai teman, tapi seseorang yang di masa depan detak
jantungnya bisa aku dengar setiap hari.”
Galen
tersenyum lembut. Mungkin dalam setahun Naura mengenal Galen, inilah senyum
terlembut yang pernah muncul di wajah pria itu. Beberapa waktu yang lalu aku pernah bertanya pada Bima siapa yang
sebenarnya aku sukai. Seseorang yang jika kita harus melepaskan semuanya, kita
mau orang ini tetap tinggal. Bagiku, orang itu adalah Galen.
***
Kabar yang
baru saja datang padanya membuat Madha bergegas ingin mencari seseorang. Dia
berlari begitu kencang menuju gedung FISIP setelah menelepon Naura dan
mengetahui keberadaan perempuan itu.
“Naura, dulu
kamu bilang kan aku harus cerita kalau cita-citaku terwujud? Aku dapet
kesempatan pertama lomba mewakili kampus.” Madha yang masih tersengal-sengal
bercerita dengan penuh semangat.
“Wah.
Selamat.” Naura tersenyum sembari bertepuk tangan.
Di trotoar
depan FISIP itu, Madha tersenyum begitu lepas. Untuk pertama kalinya Naura
melihatnya tersenyum demikian terang. Seolah seluruh dunia kini dimilikinya,
senyum setengah jalan yang selalu diperlihatkannya kini hilang begitu saja.
“Can I ask you something, Dha?”
Madha
mengangguk. Dia masih belum berhenti tersenyum.
“Inget cara
kamu tersenyum detik ini dan tersenyumlah dengan cara yang sama setiap hari.”
Madha
tertawa. Kali ini tawanya demikian lepas sehingga matanya melengkung.
“Juga
tertawalah seperti sekarang setiap hari.” Naura menambahkan.
Tawa lepas
itu menyurut berganti senyum lembut. Ditatapnya Naura yang kini tersenyum ke
arahnya. Senyumnya terhenti ketika sebuah suara memecah konsentrasinya.
Seseorang memanggil Naura dari arah belakangnya. Dia pun menoleh ke belakang
untuk mendapati Galen berdiri di depan trotoar Fakultas Ekonomi yang berada di
seberang tempatnya berdiri saat ini. Pria itu melambaikan tangan ke arah Naura
sembari tersenyum sangat lembut. Sepasang matanya beralih untuk melihat reaksi
Naura. Perempuan itu sedang melambaikan tangan ke arah seberang jalan sembari
tersenyum sangat lembut. Senyum Madha pun menyurut seolah tergulung ombak.
---------
1Aberrant Decoding: Interpretasi
pesan oleh komunikan berbeda dengan yang dimaksud oleh komunikator
2WILCO: (I understand)
and will comply.
0 Comments:
Post a Comment