-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

14 Apr 2019

PRAY

  • April 14, 2019
  • by Nur Imroatun Sholihat

source: wallpaperup.com
Aku tidak bisa mempercayai sesuatu yang terjadi pada diriku saat ini. Seseorang yang empat tahun lalu pertama kali membekukan hatiku menjadi salah seseorang yang berdiri di belakang pejabat yang sedang menggelar konferensi pers yang sedang kuikuti siang ini. Aku menggenggam kartu pers yang menggantung di leherku sembari menunduk khawatir tatapannya membuatku lebih beku lagi. Bertahun-tahun belakangan, perasaanku kepadanya seakan beku tetapi masih tetap tinggal. Seolah sebongkah es yang dilempar ke perapian, rasa yang lama terbekukan di sudut hati ini mencair begitu saja.

Aku yang tidak terlalu fokus mencatat ucapan sang pejabat tersentak mendengar derap kaki wartawan-wartawan yang berlarian mengerubungi pria bernama Rudi itu. Aku pun mengikuti pewarta lainnya menghalangi langkah sang pejabat menuju lift sembari merekam jawaban-jawaban yang diucapkan pria berrambut putih itu. Tak lama kemudian, pintu lift tertutup membawa sang pejabat jauh dari jangkauan kami. Aku kembali teringat seseorang yang aku lihat tadi. Pandanganku menelusur segala penjuru berharap masih sempat melihatnya meski sekilas. Sepasang mataku terhenti pada sosoknya yang kini sedang menunggu lift lainnya untuk membawanya kembali ke ruangannya.

“Mas Praya?” aku menyapanya ragu. Ada banyak kata yang berloncatan di pikiranku namun tak terbahasakan. Bahkan setelah sekian lama aku masih saja gagu di dekatnya. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengirimkan suhu yang begitu dingin kepada orang di sekelilingnya?

Pria itu menoleh ke arahku. Matanya berkedip sedikit lebih cepat dari saat sebelum melihatku. Dia terlihat bimbang untuk tersenyum atau tidak. Pria bermeja batik lengan panjang itu menatapku sekali lagi kemudian tersenyum kecil—senyum tenang khas dirinya.

“Kita saling kenal ya? Maaf saya agak lupa,” suaranya masih sesejuk yang terrekam di memoriku.

Mendengarnya berbicara masih memiliki efek yang sama padaku meski empat puluh delapan bulan telah berlalu. Rambutnya, tatapan matanya, caranya berbicara, caranya berdiri—semuanya masih relatif sama. Demikian pula ruang hatiku untuknya—masih sama besarnya, sedemikian luas hingga tidak menyisakan ruang untuk lelaki lain. Menyadari dia menunggu jawabanku, aku menghentikan lamunan kemudian menggeleng perlahan.

“Cuma pernah sekali bertemu di kampus,” jawabku meski tau jawaban ini tidak akan membuatnya ingin melanjutkan percakapan kami.

“Oh,” dia berujar tanpa suara. “Maaf saya lupa. Saya duluan,” dia menganggukkan kepalanya kemudian memasuki lift yang seolah tak mau bekerja sama denganku untuk menahannya di sini.

“Kamu kenal stafnya Pak Rudi?” Kak Pandu, fotografer yang ditugaskan untuk liputan denganku ternyata sedari tadi berdiri di belakangku.

“Senior di kampus. Tapi dia nggak kenal aku kok,” jawabku menyembunyikan kesedihan. Fotografer itu mengangguk kemudian mengalihkan tatapannya ke layar display kamera di tangannya. Seperti biasa, dia memastikan gambar yang diambilnya layak ditampilkan di majalah tempat kami bekerja. Aku masih sibuk menatap pintu lift bersama keingintahuan tentang kabarnya, kesibukannya, hal yang sedang menyita pikirannya, dan tentu saja bagaimana perasaannya hari ini—setiap hari maksudku.

Namanya Praya. Mungkin sejak lahir orang tuanya tahu bahwa anaknya kelak akan menjadi seseorang yang banyak didoakan oleh para perempuan. Me too—pray about him a lot. Saat di kampus dulu, dia adalah senior yang tidak populer—tidak demikian tampan hingga mampu mengalihkan perhatian, bukan yang paling pandai hingga semua perempuan ingin meminta diajari olehnya, tak pula seseorang yang paling aktif berorganisasi sehingga namanya bergaung di mana-mana. Dia pria pendiam yang suka menyendiri—begitu yang kudengar. Sebuah pertemuan seusai dia lulus dari kampus lah yang memperkenalkanku dengan pria tidak populer itu.

Meski tidak terkenal, pria itu adalah seseorang yang paling riuh dielu-elukan pikiranku. Dia adalah seseorang yang menghentikan perkelanaan jiwaku meski aku tahu dia enggan menjadi pemberhentianku. Bagaimana mungkin aku merasa pencarianku berakhir ketika melihatnya sementara dia bukanlah seseorang yang menolehkan hatinya ke arahku? Bagaimana mungkin rasanya segala teka-teki telah usai meski aku masih mencari jawaban?

Mataku tergenang. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang dia lakukan padaku—atau apa yang sedang aku lakukan pada diri sendiri. Bahkan saat pria itu berdiri di dekatku, aku tidak berani mengutarakan apapun. Sejak suatu waktu, aku tidak bisa melihat seseorang lain sebab perasaanku telah dibekukan. Suatu waktu, yang jika kukenang, mengantarkanku pada sebuah perasaan yang kekal sampai sekarang. Meski demikian raksasa perasaan yang terbekukan olehnya, aku masih saja tak berani berterus terang.
***

“Reporter baru ya? Yang bakal nemenin aku nge-interview Mas Praya.” Mbak Rinda, kepala tim redaksi majalah fakultas menghampiriku. “Aku juga nggak tahu banyak info soal Mas Praya tapi dia alumni fakultas ini, sekarang kerja di biro hukum Kemenlu. Tahun lalu dia masih ngampus jadi mungkin kamu pernah denger namanya pas kamu masih jadi maba. Nanti abis dia selesai ngisi seminar, kita wawancara ya,” perempuan berkaca mata itu menunjuk ke arah panggung di mana calon narasumber kami sedang mendengarkan pertanyaan yang diajukan sang moderator.

Aku mengangguk kemudian kembali mendengarkan pria bernama Praya itu berbicara. Hampir tak pernah aku mendengar namanya meski kami sefakultas selama hampir setahun. Sebelum mewawancarainya, aku juga sudah mencoba mencari informasi tentangnya di internet tetapi sepertinya dia memang sangat tertutup.

“Apa yang Mas Praya rindukan dari kampus?” Mbak Rinda melempar pertanyaan seusai bertanya mengenai kabar dan kesan pria di hadapan kami ini tentang mengisi acara kampus.

Dia terdiam. Setelah mendengarnya menjawab beberapa pertanyaan sebelumnya, aku tahu bahwa pria ini bukanlah seseorang yang serta merta menjawab ketika pertanyaan diajukan kepadanya. Dia menghela napas dalam kemudian menatap kami yang siap sedia mendengar jawabannya.

“Perasaan menelurusi rak buku di perpus univ,” jawabnya tenang. Perpus univ adalah sebutan untuk perpus terbesar di kampus kami, perpus universitas. “perpus yang gede kaya perpus itu kan jarang,” sambungnya.

“Oh iya ya. Dulu kan Mas Praya hampir nggak pernah keliatan di kampus. Gosipnya kalau nyari Mas harus ke perpus dulu,” Mbak Rinda melempar candaan yang mencairkan suasana.

Aku melihat pria yang sangat suka membaca itu menahan tawa. Pandanganku tak teralih dari wajah dingin yang tiba-tiba terlihat hangat itu. Bagaimana mungkin seseorang terlihat sangat menarik saat dia menahan tawa? Sekujur badanku mendadak beku. Aku jatuh hati saat semestinya aku hanya mengamati. Aku membayangkan dapat berbicara dengannya setiap hari meski hanya memiliki satu kali ini kesempatan untuk mewawancarai. Aku tenggelam jauh lebih dalam dari yang seharusnya. Aku, untuk pertama kalinya, merasa perlu bersegera menceritakan seorang lelaki pada sahabatku.
  
“Kamu pengen nikah sama dia? Ya ampun, pertama, dia nggak kenal kamu. Kedua, kamu mau tiap hari beku terus?” sahabatku itu meledekku.

Aku melempar senyum tanggung. Apakah aku bisa dianggap waras jika kukatakan aku ikhlas untuk beku setiap hari asal aku bersamanya?

“Kalau kamu suka, ya beraniin diri lah buat mendekat,” nada bicaranya berubah menjadi serius. Aku mengangguk meski tak benar-benar yakin.

***
Bunyi pintu lift terbuka menyadarkanku dari lorong waktu yang menyeretku ke pertemuan perdanaku dengannya. Dia yang baru saja memenuhi pikiranku keluar dari lift bak meloncat langsung dari imajinasiku.

“Belum pulang?” dia berujar sambil melangkah mundur menungguku menjawab.

Aku menggeleng. Dia kemudian berbalik arah memunggungiku melanjutkan langkahnya entah ke mana.

“Mas Praya...” aku berlari kecil mengejarnya. Dia menoleh ke arahku yang berdiri di belakangnya. Tubuhnya yang semampai itu berbalik arah bersama kening yang berkerut.

“Saya pernah ikut mewawancarai Mas Praya 4 tahun yang lalu waktu Mas jadi pembicara di acara kampus,” aku menghalau segenap kegugupan. Dia masih mengerutkan kening seolah tak memahami arah pembicaraanku. Kukeluarkan selembar kertas kecil dengan nama majalah tempatku bekerja di sudut kanannya. “Semoga berkenan menjadi teman, Mas,” ucapku hampir tak terdengar.

Dia merapikan gulungan lengan bajunya sehingga saat ini dia terlihat lebih santai ketimbang saat acara siang tadi.

“Teman nggak kenalan pakai kartu nama biasanya,” dia menahan tawa. Ekspresi canggung itu selalu saja menarik. “Saya Praya.” Dia melirik kartu pers yang menggantung di leherku. “Arimbi ya?” suaranya yang dingin itu dengan apiknya menyebut namaku. Tangannya bergerak menggapai kartu nama di tanganku. “Sampai bertemu lagi,” dia melambaikan kartu di tangannya yang bertuliskan identitasku itu.

Aku menatap punggungnya yang bergerak menjauh sembari menahan senyum yang sepertinya hendak meledak. Untuk pertama kalinya dalam empat tahun, aku melangkah sedikit lebih dekat. Mungkin masih sangat jauh dari jarak yang kuminta dalam doa namun aku tetap saja tak bisa berhenti berbahagia saat ini. I will continue to pray about him, as always. Mungkin doa-doa itu akan  terus menipiskan jarak di antara kami. Mungkin.

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE