-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

5 May 2019

MUSE

  • May 05, 2019
  • by Nur Imroatun Sholihat
Part 1: Pada Akhirnya Hati Kita Semua Retak dan Patah 
source: pixabay.com
Dari ruang tunggu yang disediakan panitia, aku bisa melihat orang-orang mulai berdatangan sembari menenteng buku ketigaku di tangan mereka. Aku masih saja segembira ini setiap kali melihat hasil karyaku berada di genggaman seseorang meski telah bertahun-tahun menjadi penulis. Seolah turut menyangga hatiku, mereka yang menggenggam bukuku adalah kekuatanku untuk menelusuri malam-malam panjang merajut huruf dan kata. Sembari menanti acara dimulai, aku melanjutkan tulisan untuk buku selanjutnya sebelum akhirnya ada sesuatu yang membuat mataku beralih dari layar. Langkah ragu seorang perempuan dengan kamera menggantung di lehernya memasuki ruangan menghentikan jari-jariku dari lari-lari kecilnya di atas keyboard. Aku menarik napas panjang di bawah senyum yang mengembang. Pikiranku memang selalu riuh tetapi tidak pernah segaduh ini. Saat ini, seseorang yang suaranya mengheningkan semua suara lain di telingaku muncul membawa kembali gulungan ombak perasaaan yang tidak aku kenali sebelumnya. Seseorang seharusnya mengabariku bahwa bahkan jika seluruh perasaan dalam puisi dan cerita yang kutuliskan digabungkan, tak akan mampu menjelaskan debar jantung yang dia tinggalkan seusai perjumpaan perdana kami. Begitu juga kini, ketika kali kedua melihatnya, seluruh kata-kata yang hendak kurangkai mendadak melarikan diri.

“Mas, boleh minta tolong?” ujarku kepada panitia acara bedah bukuku di Semarang ini.


“Iya, Mas Ikra,” panitia yang kuajak bicara itu mengangguk.


Aku pun memberi kode untuknya mendekat. Aku berbisik sesuatu sembari menunjuk ke arah kursi peserta acara hari ini. Dia pun mengangguk pertanda mengerti.


“Jangan sampai salah orang ya, Mas. Saya minta tolong banget,” aku melirik ke arah luar memastikan keberadaan perempuan itu nyata, bukan hanya karena aku telah dua tahun mencarinya. Diam-diam aku berdoa semoga tidak sesuatu pun menghalangi permintaan utamaku hari ini: bertemu.

***


(Februari 2017)


Saat buku pertamaku diterbitkan, aku menyadari betapa kecilnya kemungkinan bertemu dengan seseorang yang mengenaliku. Saat itu, aku kerap mengunjungi Gramedia di Matraman hanya sekadar untuk memandangi bukuku terpajang di sana. Bagi seorang penulis, hal sesederhana ini sangat membahagiakan.


“Mas.., boleh saya minta tanda tangannya?” Sebuah suara mengagetkanku diiringi penampakan tangan yang meraih buku di depanku.


“Kamu tahu saya?” aku menatapnya tidak percaya. Ini sudah kali ketiga aku berdiri di sini tetapi baru kali ini seseorang menyapaku.


Dia mengangguk sembari tersenyum. Bola mata cokelatnya berpijar memantulkan cahaya lampu kekuningan di toko buku ini. 


“Boleh kan? Tapi sebentar saya bayar ke kasir dulu. Tunggu ya.” Dia berbalik arah setelah menggerak-gerakkan bukuku di hadapanku seperti anak kecil yang memamerkan mainan barunya kepada teman sepermainannya. Aku memandangi dirinya yang bergerak menjauh dengan kemeja putih dan rok hitam selutut itu. Aku menunggunya kembali sembari memotret dengan ponsel buku bersampul biru yang kukerjakan selama 10 bulan belakangan itu. Ketika aku hendak mem-posting hasil jepretanku ke instagram, perempuan yang kutunggu sudah kembali di dekatku.


“Kamu sudah baca buku saya?” aku melihatnya mengelupas plastik yang memeluk erat buku di tangannya.


“Sudah. Tapi saya beli lagi mumpung ketemu penulisnya,” dia menyodorkan bukuku dan sebuah pena hitam yang diambilnya dari tasnya.


“Kamu paling suka tulisan saya yang mana?” aku mulai menggerakkan pena di atas halaman pertama buku itu.


“Pada Akhirnya Hati Kita Semua Retak dan Patah,” jawabnya lirih seolah sedang membaca sebuah puisi sendu.


Aku menghentikan gerakan pena di tanganku. Pandanganku beralih dari buku kepada wajah yang kini ibarat buku yang hendak kubaca.


“Bagian mana yang kamu suka?” bak sedang membalik halaman buku selanjutnya dari dirinya, aku ingin mengetahui kelanjutan cerita.


“Ketika hati kita retak oleh perkataan atau sikap seseorang, tak jarang dunia menuduh kita terlalu sensitif dan serius. Lalu kita pun ikut tergiring menyalahkan diri kita sendiri tentang betapa lemahnya kita. Tidak. Kamu tidak bersalah. Mereka hanya tidak tahu barangkali karena sebuah sikap atau perkataan, hatimu benar-benar lebur berserakan.” Perempuan itu melafalkan satu paragraf dalam cerpenku itu seolah baru saja menghapalnya untuk menghadapi ujian.


Aku terdiam membiarkan suara ibu jari kiriku menangkupkan halaman judul buku ke halaman-halaman lainnya menjadi satu-satunya suara di antara kami. Aku menarik napas dalam menyadari seseorang akhirnya menyukai paragraf yang sebenarnya tidak puitis-puitis amat itu dibanding tulisan lainnya di buku ini.


“Oh ya, apa sih alasan Mas Ikra nulis?” mata gadis itu membulat seolah benar-benar ingin tahu.


“Menulis adalah cara saya menyembuhkan diri,” ujarku setelah menunda jawaban selama 5 detik. Aku takut jika dia akan bertanya lebih lanjut setelah mendengar jawabanku. Karena jika dia bertanya aku ingin sembuh dari apa, aku bahkan tidak tahu jawabannya.


“Dari?” tepat seperti yang kuduga, dia akan bertanya aku ingin menyembuhkan diri dari apa. Dia kembali menebar rasa penasaran di seluruh wajahnya--sebuah ekspresi yang membuatku semakin sulit menjawab.


“Hmmmm... Emang kita harus sakit dulu ya untuk perlu sembuh?” aku menjawab asal.


Dia tertawa kecil seakan jawabanku terdengar tidak masuk akal baginya. Dia meminta buku di tanganku kemudian berjalan mundur seusai menerimanya.


“Mas, terus nulis ya. Saya janji bakal selalu beli bukumu.” Dia kemudian melambaikan tangannya.


Ada beribu kata “tunggu!” yang berseru di kepalaku tetapi tenggorokanku tercekat. Langkah kaki yang menyusulnya hanya terjadi di dalam pikiranku saja. Aku masih membeku di tempatku berdiri, di depan bukuku yang terpajang di toko buku ini.


Aku seharusnya tak berbicara terlalu panjang jika tidak tertarik pada jawabannya tentang bagian favorit di bukuku. Sebab seperti menerobos dalam otakku, perempuan itu menyebutkan judul dan paragraf yang paling aku sukai dari buku ini meski pembaca lain lebih menyukai judul dan paragraf lain. Kini aku menyesal berbincang dengannya 5 menit tadi sebab aku menjadi merasa perlu untuk mencari. Bagaimana menemukan kembali seseorang yang hanya kita ingat wajahnya saja?

***


“Wah... walau udah terkenal, penulis ini masih inget saya ternyata,” gadis itu berdiri dari kursinya melihatku memasuki ruang tunggu usai menandatangani buku-buku yang dibawa para peserta bedah buku.


Aku menatapnya sejenak kemudian menunduk. Bahkan saat dia sedang berdiri di depanku, aku tak yakin kami benar-benar bertemu kembali. Aku telah menerbitkan dua buku yang kukerjakan secepat mungkin setelah bersua dengannya secara tak sengaja karena ingin kembali bertemu dengannya di Gramedia Matraman atau di acara bedah buku. Seolah waktu mengkhianatiku, baru sekarang dapat kutatap lagi sepasang mata seseorang yang selalu kuceritakan lewat karyaku. Aku membendung bulir air yang menggenangi lingkaran mataku. Kini, menarik napas pun terasa sangat berat sebab di ruangan ini seluruh oksigen laksana miliknya. Aku dirundung pilu yang tidak berkesudahan selama puluhan bulan sebab menyesal tidak menahannya kala itu agar aku dapat menemuinya kembali. Segenap perasaan yang bercampur aduk kini meluap membanjiri setiap sisi jiwaku ketika mendengar lagi suaranya. Bagaimana dia bisa sepolos itu berpikir aku hanya masih mengingatnya saat sebenarnya aku selalu mengingat dan memikirkannya?


“Katanya Mas Ikra akhir tahun ini mau nikah ya? Selamat,” dia tersenyum sembari mengulurkan tangannya. “Pantes tulisannya di buku kedua dan ketiga manis banget. Ternyata dia toh inspirasinya. Saya bisa ikut ngrasain seberapa dalam Mas Ikra menyukainya,” ucapannya yang membuat air mataku mengalir hening. Aku tidak membalas uluran tangannya sehingga dia pun perlahan menarik tangannya kemudian mendekap bukuku. Dia juga menghentikan ucapan yang sepertinya hendak dituturkan menyadari dua anak sungai terbentuk di wajahku.


“Menulis adalah cara saya menyembuhkan diri,” aku mencoba merapikan pikiranku agar mampu menyampaikan kejujuran. “Boleh kamu ulangi pertanyaanmu waktu itu?” ujarku terisak. Aku khawatir penyesalanku berulang jika tidak berterus-terang.


Dia membeku menyaksikan sesuatu yang terjadi di depannya. Seorang penulis yang selalu terlihat bahagia di depan umum kini menangis dengan bahu yang naik turun seolah lara begitu keras memukulinya. Aku melihat jari-jarinya menggenggam bukuku di dekapannya lebih erat.


“Dari?” ucapnya masih membeku di tempatnya.


“Dari keinginan yang keras kepala untuk melulu bertemu,” jawabku hampir tak terdengar. “Karena aku bisa bertemu denganmu melalui tulisanku. Karena aku tahu, kau membacanya selalu,” air mataku kembali menetes. 
------
(to be continued) 
Kelanjutan cerita ini dapat dibaca dalam versi pdf yang dapat diunduh di s.id/ceritamuse




0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE