-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

24 Aug 2019

KAWI

  • August 24, 2019
  • by Nur Imroatun Sholihat
PART 1: JARAK KITA HARI INI
source: tumblr.com
(2015)
(Raya's POV)

Tak seperti biasanya, aku tidak merasa bersemangat mengikuti kelas Kajian Puisi yang akan dimulai sebentar lagi. Tidak ada yang aneh dari hari ini kecuali kenyataan bahwa aku melihat poster acara bedah buku terbaru Ardhana Kawi ketika berjalan ke kelas ini. Teman-teman kelasku bergegas mengetik pesan untuk mendaftarkan diri mengikuti acara tersebut tetapi aku tidak sedikit pun tergerak mengikuti mereka.

“Memangnya kamu nggak mau dateng, Ya?” Dita yang duduk di belakangku menepuk bahuku. Dia menunjukkan layar ponselnya yang sedang menampilkan poster acara yang sedang dibicarakannya.


Aku menggeleng. Bahkan tanpa kusadari aku membiarkan ponselku tergeletak di tas sedari tadi. Sebelumnya aku juga tidak berusaha mencatat nomor contact person acaranya untuk mendaftarkan diri. Meski demikian, sejatinya aku masih bisa melihat cara mendaftar acara itu sebab posternya ada di grup kelas kami. Tak menyentuh ponsel sama sekali berarti aku benar-benar tidak ingin hadir di acara itu.

“Ini mumpung Ardana Kawi ke sini lho. Kapan lagi,” Aini yang duduk di samping kananku menimpali. Perempuan itu tersenyum riang sebab penulis yang disukainya itu akan berada di kampus ini minggu depan.

“Bukannya kamu koleksi bukunya Ardhana tiga-tiganya ya? Terus kenapa nggak dateng bedah bukunya?” Dian yang biasanya pendiam pun ikut berkomentar. Aku mengalihkan pandanganku ke depan bersiap menjawab pertanyaannya ketika dosen mata kuliah favoritku ini memasuki kelas.

“Lagian ya, orang yang nggak ngebolehin orang lain pegang buku Ardhan yang dikoleksinya kaya kamu ini nggak punya alasan buat nggak dateng,” Aini berbisik kemudian tersenyum iseng. Aku memberi kode kepadanya untuk kembali memperhatikan dosen yang sedang mengajar di depan.

Aku mengikuti kelas ini dengan pikiran yang berkelana. Ada alasan aku tidak pernah mengizinkan orang lain menyentuh buku karya Ardhana Kawi yang ada di kamarku. Juga, ada alasan aku tidak datang ke bedah buku penulis yang sedang naik daun itu meski aku terlihat seperti seorang penggemar beratnya.
***

(Ardhan’s POV)

Ya, kamu nggak tahu aku lagi di kampusmu?

Pesan yang aku kirim ketika menyadari 5 menit lagi acara akan dimulai dan aku tidak melihat Raya di kursi penonton. Mataku menelusur seisi ruangan barangkali aku yang kurang teliti mencari perempuan itu. Sang pembawa acara memotong tatapan penasaranku yang menggeledah setiap sisi tempat ini kemudian meminta izin untuk memulai acaranya. Aku mengangguk dan berusaha memperbaiki ekspresi yang muncul di wajahku. Tenang, Dhan. Mungkin dia lagi sibuk. Mungkin tiba-tiba dia sakit. Mungkin dia sedang dalam perjalanan. Ada banyak alasan mengapa seseorang tidak muncul di acara penting sahabatnya, bukan?

“Sebenarnya saya nervous banget harus berdiri di depan anak-anak sastra untuk membahas sebuah karya sastra sementara saya nggak pernah belajar sastra secara khusus. Saya banyak banget nyebut kata ‘sastra’ ya,” aku tergelak. “Hai anak-anak fakultas sastra,” aku tersenyum menyapa para peserta bedah buku di kampus di mana Raya menimba ilmu ini.

Bedah buku ini berjalan sembari aku menyapu pikiranku dari kebingungan atas absennya Raya di kursi penonton. Semula aku berniat memberinya kejutan. Aku tidak menghubunginya terlebih dahulu karena yakin dia akan datang. Aku lupa mungkin Raya merasa tidak butuh untuk datang ke acara ini sebab dua alasan. Pertama, dia tidak perlu mendengarku membedah satu per satu puisiku—dia selalu tahu lebih dulu. Kedua, dia tidak perlu datang ke acara seperti ini untuk mendapatkan tanda tanganku—aku selalu mengiriminya bukuku yang bertuliskan pesan dan tanda tangan. Tetapi tak bisakah dia datang sekadar untuk menegaskan dukungannya untukku?

‘‘Aku selalu mendukungmu, Dan’’. Don’t you remember that?

Pesan yang kuketik menyadari Raya benar-benar tidak hadir sampai akhir acara. Kekecewaan pasti tergambar jelas di wajahku kini. Aku menatap kosong peserta bedah buku yang berhamburan mendekat ke arahku untuk meminta foto bersama.

“Mbak, perpustakaan di sebelah mana ya?” aku bertanya kepada orang entah keberapa yang meminta foto bersama.

“Mas Ardhana jalan aja ke belakang. Nanti keliatan kok gedungnya. Atau lihat denah yang ada di samping gedung ini,” jawabnya sembari membuka aplikasi kamera di ponselnya.

“Terima kasih ya,” aku melayani permintaan foto kemudian meminta izin kepada panitia untuk keluar sebentar.
***

(Raya’s POV)

Sebuah pesan whatsapp muncul di layarku. Foto denah fakultasku dilengkapi garis yang ditarik dari aula tempat acara bedah buku hari ini ke perpustakaan tempatku berada saat ini. Pesan yang mengiringi gambar tersebut: jarak kita hari ini. Entah mengapa terasa jauh sekali. Aku tahu Ardhan sedang berdiri di depan papan yang berada di dekat aula--yang berisi denah kampusku. Tempat yang terletak di samping gerbang masuk fakultasku itu hanya berjarak 300 meter dari tempatku kini.

“Ya..” suara yang terdengar dari belakangku itu cukup untuk menggempakan lantai hati. “Aku tahu kamu pasti di perpus ketimbang dateng ke acaraku,” nada bicara seseorang membekukanku.

Sebenarnya aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang mengajakku berbicara. Aku selalu hafal suara itu sampai pada titik di mana meski berada di tengah suara-suara lainnya, aku masih bisa membedakannya. Aku membalik badan ke arah datangnya suara tanpa beranjak dari kursi. Tatapan kami bertemu. Lingkaran matanya sayu tetapi menatapku tajam. Aku mendengar pengunjung perpusatakaan di sekitar tempatku duduk berbisik-bisik.

“Boleh ngobrol di luar sebentar?” ujarnya menyadari aku terdiam meski seharusnya membalas sapaannya.

Aku melihat orang-orang di sekeliling kami mencuri pandang ke arah kami melihat adegan tidak terduga ini. Aku bergegas bangkit dari kursi dan berjalan keluar diikuti oleh pria berkemeja biru muda itu.

“Aku tahu kamu nggak perlu dateng ke acara bedah buku buat dapet tanda tanganku.” Dia mulai berbicara ketika kami sampai di taman di depan perpustakaan. Suaranya menyayat sekujur badanku. Kekecewaan terpancar jelas dari sorot mata seseorang yang mengirimiku buku bertanda tangan setiap bukunya terbit. “Tapi bukan berarti kamu nggak perlu dateng, Ya. Kamu harusnya jadi orang yang duduk paling depan. Kamu yang paling tahu ini mimpiku. Kenapa kamu malah milih duduk di perpus sih?” Ardhan terlihat sekuat tenaga menahan amarah. 

Aku menghela napas panjang. Ada kecanggungan beberapa detik yang aku berharap seseorang mengajariku cara melarikan diri dari situasi semacam ini. Bagaimana dia berharap aku sanggup menjawab ketika dia menatap dengan kekesalan yang sedemikian menyala?

“Bukannya kamu sendiri yang ngasih aku kesempatan untuk menjauh sebentar, Dan?” suaraku gemetaran.

Dia yang semula menunduk mengangkat kepalanya dengan cepat untuk menangkap sorot mataku. Lingkaran mata kami masing-masing tidak bisa menyembunyikan retakan dan serpihan yang berjatuhan di dalam raga kami.

“Aku nggak nyangka kalau menjauh kamu seserius ini sampai nggak mau ketemu aku,” tatapan tajam yang semula terpancar jelas kini luntur berganti tatapan rapuh. “Aku juga ngira nggak bakal selama ini,”

“Aku bahkan nggak tahu kapan ini bakal selesai, Dan,” aku menahan genangan di sudut mata.

“Edan kamu,” ada perpaduan kekesalan dan kerapuhan dari makiannya kepadaku. “Aku tahu kamu mau menyelamatkan perasaanmu tapi gimana denganku yang harus dijauhin orang yang sejak aku kecil sudah jadi bagian besar hidupku? Kamu emang edan,” pria itu menggaruk keningnya—sebuah kebiasaan yang dilakukannya setiap kali pikirannya berserakan. Aku mengalihkan pandanganku ke samping. Aku yakin aku tidak akan mampu melihat sorot matanya kali ini. Aku juga yakin dia tidak ingin melihat sorot mataku detik ini.
***
(2012)

“Adan…” Raya berlari menghampiri Ardhan yang sedang berjalan menuju kelas.

Ardhan tersenyum menyadari temannya sejak kecil itu berlari sangat cepat dari gerbang SMA hingga tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Diambilnya tumpukan buku yang didekap Raya seperti biasanya karena tak tega membiarkan sahabatnya itu membawa beban yang berat. Raya, sama seperti dirinya, selalu meminjam buku perpustakaan dan seperti layaknya hari senin lainnya, hari ini mereka akan mengembalikan buku yang dipinjam kemudian meminjam buku lainnya.

“Serius ya, Ya, kamu manggil aku Adan ini karena lidahmu terlalu british sampai nggak bisa ngeja ‘r’…” Ardhan yang berbicara dengan logat Inggris yang dibuat-buat itu tertawa lepas yang disusul pukulan Raya mendarat di lengannya, “Atau karena namaku kaya panggilan yang mengajak mendekat?” tawa Ardhan semakin lepas. Cara Raya memanggilnya memang terdengar seperti menyebut suara yang berkumandang 5 kali sehari dari masjid dan musala itu.

“Bukan dua-duanya. Lagian jangan sok-sokan nyamain nama panggilanmu sama azan salat deh. Bedaaaaa banget.” Raya meledek, “Susah manggil nama kamu ‘Ardhan’. Udah deh pasrah aja aku panggil ‘Adan’.”

“Oke, tapi aku panggil kamu…. ‘Edan’. Nih Adan dan Edan berjalan ke kelas bersama,” Ardhan mempercepat langkahnya menyadari Raya pasti akan memukulnya kembali.

“Adaaaaan, kurang ajar banget sih,” Raya berlari menyusul. "Kamu juga nggak bisa baca "r" di namaku kan," ketus setengah berteriak.

“Aku dikejar perempuan edan,” Adan tertawa sembari mempercepat larinya. “Tolong. Tolong,” Ardhan dan Raya menghentikan lari mereka kemudian tertawa bersama dengan jarak 2 meter yang terbentang di antara mereka.

“Nanti kalau kamu jadi penulis benaran, nama pena kamu ‘Raya Edan’ aja, Ya,” Ardhan tersenyum hingga matanya melengkung bulan sabit.

“Kalau kamu?” Raya melanjutkan langkahnya setelah berhenti sejenak.

“Tetep dong. Ardhana Kawi. Namaku kan udah nyastra banget,” Ardhan terkekeh iseng. Dia menunggu Raya sampai di dekatnya sebelum melanjutkan langkahnya. Ditatapnya Raya yang masih tersengal-sengal sehabis berlarian dengannya.

“Ya, akhir-akhir ini aku suka nulis puisi tentang seseorang lho,” Nada bicara Ardhan berubah menjadi serius.

“Siapa?” Raya memperlambat langkahnya. Irama napasnya masih terdengar tidak beraturan.

Ardhan bergeser mendekat kemudian membisikkan sebuah nama di telinga Raya. Perempuan itu menoleh dan mendapati sahabatnya itu sedang tersenyum sangat lembut. Detak jantung Raya seperti dibekukan oleh kejadian di dekat pintu kelas mereka itu.
----
(to be continued)

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE