PART 1: JARAK KITA HARI INI
![]() |
source: tumblr.com |
(2015)
(Raya's POV)
(Raya's POV)
Tak seperti biasanya, aku tidak merasa bersemangat mengikuti kelas Kajian Puisi yang akan dimulai sebentar lagi. Tidak ada yang aneh dari hari ini kecuali kenyataan bahwa aku melihat poster acara bedah buku terbaru Ardhana Kawi ketika berjalan ke kelas ini. Teman-teman kelasku bergegas mengetik pesan untuk mendaftarkan diri mengikuti acara tersebut tetapi aku tidak sedikit pun tergerak mengikuti mereka.
“Memangnya
kamu nggak mau dateng, Ya?” Dita yang duduk di belakangku menepuk bahuku. Dia
menunjukkan layar ponselnya yang sedang menampilkan poster acara yang sedang
dibicarakannya.
“Ini
mumpung Ardana Kawi ke sini lho. Kapan lagi,” Aini yang duduk di samping
kananku menimpali. Perempuan itu tersenyum riang sebab penulis yang disukainya
itu akan berada di kampus ini minggu depan.
“Bukannya
kamu koleksi bukunya Ardhana tiga-tiganya ya? Terus kenapa nggak dateng bedah
bukunya?” Dian yang biasanya pendiam pun ikut berkomentar. Aku mengalihkan
pandanganku ke depan bersiap menjawab pertanyaannya ketika dosen mata kuliah
favoritku ini memasuki kelas.
“Lagian
ya, orang yang nggak ngebolehin orang lain pegang buku Ardhan yang dikoleksinya
kaya kamu ini nggak punya alasan buat nggak dateng,” Aini berbisik kemudian
tersenyum iseng. Aku memberi kode kepadanya untuk kembali memperhatikan dosen
yang sedang mengajar di depan.
Aku
mengikuti kelas ini dengan pikiran yang berkelana. Ada alasan aku tidak
pernah mengizinkan orang lain menyentuh buku karya Ardhana Kawi yang ada di
kamarku. Juga, ada alasan aku tidak datang ke bedah buku penulis yang sedang
naik daun itu meski aku terlihat seperti seorang penggemar beratnya.
***
(Ardhan’s
POV)
Ya,
kamu nggak tahu aku lagi di kampusmu?
Pesan
yang aku kirim ketika menyadari 5 menit lagi acara akan dimulai dan aku tidak
melihat Raya di kursi penonton. Mataku menelusur seisi ruangan barangkali aku
yang kurang teliti mencari perempuan itu. Sang pembawa acara memotong tatapan
penasaranku yang menggeledah setiap sisi tempat ini kemudian meminta izin untuk
memulai acaranya. Aku mengangguk dan berusaha memperbaiki ekspresi yang muncul
di wajahku. Tenang,
Dhan. Mungkin
dia lagi sibuk. Mungkin tiba-tiba dia sakit. Mungkin dia sedang dalam
perjalanan. Ada banyak alasan mengapa seseorang tidak muncul di acara penting sahabatnya,
bukan?
“Sebenarnya
saya nervous banget
harus berdiri di depan anak-anak sastra untuk membahas sebuah karya sastra
sementara saya nggak pernah belajar sastra secara khusus. Saya banyak banget
nyebut kata ‘sastra’ ya,” aku tergelak. “Hai anak-anak fakultas sastra,” aku
tersenyum menyapa para peserta bedah buku di kampus di mana Raya menimba ilmu
ini.
Bedah
buku ini berjalan sembari aku menyapu pikiranku dari kebingungan atas absennya
Raya di kursi penonton. Semula aku berniat memberinya kejutan. Aku tidak
menghubunginya terlebih dahulu karena yakin dia akan datang. Aku lupa mungkin Raya
merasa tidak butuh untuk datang ke acara ini sebab dua alasan. Pertama, dia
tidak perlu mendengarku membedah satu per satu puisiku—dia selalu tahu lebih
dulu. Kedua, dia tidak perlu datang ke acara seperti ini untuk mendapatkan
tanda tanganku—aku selalu mengiriminya bukuku yang bertuliskan pesan dan tanda
tangan. Tetapi tak bisakah dia datang sekadar untuk menegaskan dukungannya
untukku?
‘‘Aku
selalu mendukungmu, Dan’’. Don’t you remember that?
Pesan
yang kuketik menyadari Raya benar-benar tidak hadir sampai akhir acara.
Kekecewaan pasti tergambar jelas di wajahku kini. Aku menatap kosong peserta
bedah buku yang berhamburan mendekat ke arahku untuk meminta foto bersama.
“Mbak,
perpustakaan di sebelah mana ya?” aku bertanya kepada orang entah keberapa yang
meminta foto bersama.
“Mas
Ardhana jalan aja ke belakang. Nanti keliatan kok gedungnya. Atau lihat denah
yang ada di samping gedung ini,” jawabnya sembari membuka aplikasi kamera di
ponselnya.
“Terima
kasih ya,” aku melayani permintaan foto kemudian meminta izin kepada panitia
untuk keluar sebentar.
***
(Raya’s
POV)
Sebuah
pesan whatsapp muncul di layarku. Foto denah fakultasku dilengkapi garis yang
ditarik dari aula tempat acara bedah buku hari ini ke perpustakaan tempatku
berada saat ini. Pesan yang mengiringi gambar tersebut: jarak kita hari ini.
Entah mengapa terasa jauh sekali. Aku tahu Ardhan sedang berdiri di
depan papan yang berada di dekat aula--yang berisi denah kampusku. Tempat yang
terletak di samping gerbang masuk fakultasku itu hanya berjarak 300 meter dari
tempatku kini.
“Ya..”
suara yang terdengar dari belakangku itu cukup untuk menggempakan lantai hati.
“Aku tahu kamu pasti di perpus ketimbang dateng ke acaraku,” nada bicara
seseorang membekukanku.
Sebenarnya
aku tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang mengajakku berbicara. Aku selalu
hafal suara itu sampai pada titik di mana meski berada di tengah suara-suara
lainnya, aku masih bisa membedakannya. Aku membalik badan ke arah datangnya
suara tanpa beranjak dari kursi. Tatapan kami bertemu. Lingkaran matanya sayu
tetapi menatapku tajam. Aku mendengar pengunjung perpusatakaan di sekitar
tempatku duduk berbisik-bisik.
“Boleh
ngobrol di luar sebentar?” ujarnya menyadari aku terdiam meski seharusnya
membalas sapaannya.
Aku
melihat orang-orang di sekeliling kami mencuri pandang ke arah kami melihat adegan
tidak terduga ini. Aku bergegas bangkit dari kursi dan berjalan keluar diikuti
oleh pria berkemeja biru muda itu.
“Aku
tahu kamu nggak perlu dateng ke acara bedah buku buat dapet tanda tanganku.”
Dia mulai berbicara ketika kami sampai di taman di depan perpustakaan. Suaranya
menyayat sekujur badanku. Kekecewaan terpancar jelas dari sorot mata seseorang
yang mengirimiku buku bertanda tangan setiap bukunya terbit. “Tapi bukan
berarti kamu nggak perlu dateng, Ya. Kamu harusnya jadi orang yang duduk paling
depan. Kamu yang paling tahu ini mimpiku. Kenapa kamu malah milih duduk di
perpus sih?” Ardhan terlihat sekuat tenaga menahan amarah.
Aku
menghela napas panjang. Ada kecanggungan beberapa detik yang aku berharap
seseorang mengajariku cara melarikan diri dari situasi semacam ini. Bagaimana dia berharap aku sanggup menjawab
ketika dia menatap dengan kekesalan yang sedemikian menyala?
“Bukannya
kamu sendiri yang ngasih aku kesempatan untuk menjauh sebentar, Dan?” suaraku
gemetaran.
Dia
yang semula menunduk mengangkat kepalanya dengan cepat untuk menangkap sorot
mataku. Lingkaran mata kami masing-masing tidak bisa menyembunyikan retakan dan
serpihan yang berjatuhan di dalam raga kami.
“Aku
nggak nyangka kalau menjauh kamu seserius ini sampai nggak mau ketemu aku,”
tatapan tajam yang semula terpancar jelas kini luntur berganti tatapan rapuh.
“Aku juga ngira nggak bakal selama ini,”
“Aku
bahkan nggak tahu kapan ini bakal selesai, Dan,” aku menahan genangan di sudut
mata.
“Edan
kamu,” ada perpaduan kekesalan dan kerapuhan dari makiannya kepadaku. “Aku tahu
kamu mau menyelamatkan perasaanmu tapi gimana denganku yang harus dijauhin
orang yang sejak aku kecil sudah jadi bagian besar hidupku? Kamu emang edan,” pria itu
menggaruk keningnya—sebuah kebiasaan yang dilakukannya setiap kali pikirannya
berserakan. Aku mengalihkan pandanganku ke samping. Aku yakin aku tidak akan
mampu melihat sorot matanya kali ini. Aku juga yakin dia tidak ingin melihat
sorot mataku detik ini.
***
(2012)
“Adan…”
Raya berlari menghampiri Ardhan yang sedang berjalan menuju kelas.
Ardhan
tersenyum menyadari temannya sejak kecil itu berlari sangat cepat dari gerbang
SMA hingga tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Diambilnya tumpukan buku yang
didekap Raya seperti biasanya karena tak tega membiarkan sahabatnya itu membawa
beban yang berat. Raya,
sama seperti dirinya, selalu meminjam buku perpustakaan dan seperti layaknya
hari senin lainnya, hari ini mereka akan mengembalikan buku yang dipinjam kemudian
meminjam buku lainnya.
“Serius
ya, Ya, kamu manggil aku Adan ini karena lidahmu terlalu british sampai
nggak bisa ngeja ‘r’…” Ardhan yang berbicara dengan logat Inggris yang
dibuat-buat itu tertawa lepas yang disusul pukulan Raya mendarat di lengannya,
“Atau karena namaku kaya panggilan yang mengajak mendekat?” tawa Ardhan semakin
lepas. Cara Raya memanggilnya memang terdengar seperti menyebut suara yang
berkumandang 5 kali sehari dari masjid dan musala itu.
“Bukan
dua-duanya. Lagian jangan sok-sokan nyamain nama panggilanmu sama azan salat
deh. Bedaaaaa banget.” Raya meledek, “Susah manggil nama kamu ‘Ardhan’. Udah
deh pasrah aja aku panggil ‘Adan’.”
“Oke,
tapi aku panggil kamu…. ‘Edan’. Nih Adan dan Edan berjalan ke kelas bersama,”
Ardhan mempercepat langkahnya menyadari Raya pasti akan memukulnya kembali.
“Adaaaaan,
kurang ajar banget sih,” Raya berlari menyusul. "Kamu juga nggak bisa baca "r" di namaku kan," ketus setengah berteriak.
“Aku
dikejar perempuan edan,” Adan tertawa sembari mempercepat larinya. “Tolong.
Tolong,” Ardhan dan Raya menghentikan lari mereka kemudian tertawa bersama
dengan jarak 2 meter yang terbentang di antara mereka.
“Nanti
kalau kamu jadi penulis benaran, nama pena kamu ‘Raya Edan’ aja, Ya,”
Ardhan tersenyum hingga matanya melengkung bulan sabit.
“Kalau
kamu?” Raya melanjutkan langkahnya setelah berhenti sejenak.
“Tetep
dong. Ardhana Kawi. Namaku kan udah nyastra banget,” Ardhan terkekeh iseng. Dia
menunggu Raya sampai di dekatnya sebelum melanjutkan langkahnya.
Ditatapnya Raya yang masih tersengal-sengal sehabis berlarian dengannya.
“Ya,
akhir-akhir ini aku suka nulis puisi tentang seseorang lho,” Nada bicara Ardhan
berubah menjadi serius.
“Siapa?”
Raya memperlambat langkahnya.
Irama napasnya masih terdengar tidak beraturan.
Ardhan
bergeser mendekat kemudian membisikkan sebuah nama di telinga Raya. Perempuan
itu menoleh dan mendapati sahabatnya itu sedang tersenyum sangat lembut. Detak
jantung Raya seperti dibekukan oleh kejadian di dekat pintu kelas mereka itu.
----
(to
be continued)
0 comments