-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

30 Nov 2019

KAWI

  • November 30, 2019
  • by Nur Imroatun Sholihat
PART 6: LAWAN YANG SEPADAN
source: tumblr.com
(Raya’s POV)

Qué horas son, mi corazón? Ini jam 1 dini hari dan mengapa aku belum bisa tertidur? Ada apa dengan pertemuan dengannya hari ini? Mengapa perjumpaan yang seharusnya meringankan beban justru membuat hatiku makin remuk? Aku meraih ponsel dan menulis kalimat itu di instagram story-ku. Aku hendak memadamkan ponsel ketika mendapati notifikasi instagram story seseorang yang kutemui hari ini. Kami mengunggah kalimat yang sama.

Qué horas son, mi corazón?

Dia mengunggah foto langit berhias secuil bulan dengan kalimat tersebut dalam waktu yang hampir bersamaan denganku. Mustahil rasanya Ardhan mencontekku. Aku meletakkan ponselku kemudian mencoba memejamkan mata. Aku tidak tahu apakah keputusanku hari ini untuk mem-follow instagram Ardhan adalah sesuatu yang tepat. Tetapi kenyataan bahwa dia masih mengingat kalimat yang aku perkenalkan 4 tahun lalu mengusik pikiranku kini. Tidurlah, Raya. Tidur.

***
“Aaaaaah. Ardhana melambaikan tangan ke aku,” perempuan yang duduk di sebelahku berbisik histeris kepada teman sebelahnya. Aku menoleh ke arah Ardhan yang sedang berjalan menuju panggung. Kami bertemu pandang. Dia masih melambaikan tangan diiringi mata yang berbinar. Senyum tipis Ardhana menyapu seisi ruangan tetapi saat sepasang mata bulat itu mendarat di tatapanku, dia seolah menegaskan lambaian tangan itu untukku. Aku kembali memperhatikan reaksi perempuan-perempuan di sekelilingku. Sebuah kesadaran menyentilku: mungkin dulu aku hanya terlalu serakah menginginkan sesuatu yang lebih sementara perempuan lain kegirangan hanya sebab lambaian tangannya. Barangkali aku memang hanya tidak mengerti bagaimana cara mensyukuri keberadaannya tanpa meminta lebih lagi. Aku tak seharusnya tamak seperti digambarkan dalam peribahasa jawa: dikei ati, ngrogoh rempela (dikasih hati, meminta ampela).

“Terima kasih sudah datang,” suara rendah Ardhana menyapa bersama tatapan yang beredar menatap setiap sudut ruangan. “Terima kasih buat yang sudah berkali-kali datang ke bedah buku saya,” Pandangannya berhenti saat sampai di sepasang mataku. “juga untuk yang baru pertama kali datang,” gelak tawanya memenuhi ruangan.

Bahkan saat tatapan kami bertemu, aku tak tahu mana yang sebenarnya Ardhana ingin sampaikan: sapaan untuk pembaca lama maupun pembaca barunya atau sapaan untuk seluruh pembacanya maupun untukku yang baru pertama kali datang ke bedah bukunya. Meski mengenalnya demikian lama, mengartikan ucapannya masih terasa sulit. Ardhana sang sastrawan selalu bersembunyi atau tak sengaja tersembunyikan dalam ambiguitas. Ada dua makna dari sebagian ucapannya dan sialnya aku tak memiliki kunci jawaban tentang pilihan makna yang tepat.

“Mas Ardhana keliatan sumringah banget hari ini. Kayanya bahagia banget ya bukunya akhirnya terbit dan bisa kembali menyapa penggemar,” sang moderator menyapa Ardhan.

“Iya dong, Mas. Saya senang bisa kembali menyapa pembaca lewat buku keempat saya,” sang penulis buku tersenyum simpul.  

Ardhana kemudian menjelaskan isi bukunya, mendeklamasikan salah satu puisi di dalamnya, hingga memberi pertanyaan kepada penonton untuk meneruskan penggalan puisi yang dibacakannya. Aku memperhatikan serius meski sesekali menoleh sebab perempuan-perempuan yang duduk di dekatku cukup gaduh memperbincangkan Ardhana, bukan bukunya. Acara bedah buku berlangsung demikian seru tetapi topik obrolan sebagian penonton adalah Ardhana, bukan karyanya.
***

“Kenapa kamu sama sekali nggak ngangkat tangan, Ya? Masa sih kamu sama sekali nggak tahu lanjutan penggalan puisi yang aku bacain?” Ardhana yang baru menyelesaikan sesi tanda tangan menghampiriku di back stage. Ardhan memang menyuruhku menunggunya di belakang panggung sampai dia menyelesaikan acaranya itu.

“Kalau aku maju, mengurangi jatah penggemarmu bisa bersebelahan sama kamu dong,” ledekku.

“Apa sih, Ya,” dia menyikut lenganku. “Makasih ya. It was a big support to see you there,” Ardhan berkata sesuatu yang manis seolah itu hanyalah satu dari kalimat tidak pentingnya sehari-hari. Dia bergegas mengemasi barang-barangnya tanpa menunggu aku menjawab. Sedari mula, mungkin Ardhana tidak pernah membutuhkan jawaban atau mungkin dengan alasan kebaikan bersama, tidak ingin mendengar jawaban.

“Jadi kapan kamu rilis buku?” kami berjalan bersisihan menuju parkiran. “Jarak kita udah empat buku lho,” dia meledekku.

Aku tersenyum. Baru dua hari yang lalu kami mengakhiri “gencatan senjata”. Aku belum sepenuhnya siap mengembalikan hubungan kami seperti sedia kala. Namun, aku tak punya pilihan sebab Ardhana telah membuang segala kecanggungan jauh-jauh seolah kami tidak pernah sedikit pun berjarak. Tak berjarak versi kami juga memuat bersikap apa adanya termasuk melakukan hobi kami saling meledek dan berkata jujur.

“Jujur ya, Dan. Jawab jujur,” pernyataanku kali ini membuat matanya membulat penuh tanda tanya, “Sedari mula, kamu nggak pernah nganggep aku lawan yang sepadan kan? Kamu nggak pernah melihat aku sebagai pesaing terbesar kan?” aku mengambil jeda. “Jadi nggak masalah aku nggak pernah berhasil nulis buku pun. Kamu nggak butuh aku sebagai motivasi menulis. Jangan tunggu aku. Kamu nulis aja,” aku berujar mantap tetapi lirih.

Seperti tidak segera menemukan jawaban jujur atas pernyataanku, meski jawaban itu pasti sudah ada kepalanya, Ardhan menghening. Saat tak ingin marah, Ardhana diam. Saat tidak ingin menimbulkan perselisihan, dia juga diam. Saat khawatir dia sebenarnya bisa mengutarakan kata-katanya dengan lebih baik, dia pasti diam. Barangkali sebab prinsipnya soal diam itulah, kini kami berdua melanjutkan waktu dalam ketiadaan kata. Sepanjang perjalanan, aku melihat kebalikan dari Ardhana yang kulihat di panggung: Ardhana yang kehilangan semua kalimat. Perjalanan 30 menit yang seharusnya diisi banyak cerita berakhir sebagai ruang sunyi. Aku membuka pintu mobilnya ketika dia akhirnya bersuara,

“Siapa bilang aku nggak pernah melihat kamu sebagai lawan yang sepadan? Aku nggak pernah tahu barangkali kamu lagi menabung ratusan karya dan cuma sedang menunggu takdirmu sebagai penulis buku datang,” ucapannya yang membuatku menelantarkan pintu yang sudah kubuka. “Gimana pun, kamu berhasil masuk jurusan sastra. Kamu kuliah sastra 3,5 tahun. Cerpen kamu yang dimuat di koran-koran juga bagus. Gimana aku bisa tenang melihat pesaingku cuma belum bertemu takdir menerbitkan buku? Karena itu aku terus nulis, Ya.” Dia kembali mengarahkan pandangannya ke depan. “Maksudku… kamu jangan mengecilkan diri sendiri sementara aku selalu melihat kamu sebagai pesaing. Aku bilang aku udah nulis 4 buku bukan buat mengerdilkan kamu tapi supaya kamu juga termotivasi,” dia menghela napas tenang. “Salam buat budhe ya,” seolah tak mengizinkanku menjawab, Ardhan mengusirku keluar secara halus.

Mungkin orang yang baru mengenalnya akan salah paham soal hal ini. Ada banyak masa di mana Ardhana Kawi menghentikan usaha seseorang menjawab. Namun, itu bukan sebab dia terlalu egois atau keras kepala. Alasannya dia tahu kita belum atau tidak memiliki jawaban. Aku pernah menjelaskan hal ini kepada Putri tetapi dia sudah terlalu enggan membahas soal Ardhana. Bukankah gila bahwa aku adalah perempuan yang kerap kali terlegakan sebab sikapnya itu sementara Putri, perempuan kesayangan Ardhana, menamainya “ketidakmauan Ardhana mendengar” dan menjadikannya salah satu alasan mereka harus berakhir.

“Ati-ati di jalan, Dan,” aku melambaikan tangan ke arahnya meski dia tidak sedang menatapku. “Makasih..” aku benar-benar keluar dari kendaraan yang menangkupi kami sepanjang perjalanan menuju tempatku tinggal sementara di Jakarta itu.

Terima kasih sudah berpura-pura tidak membutuhkan jawaban meski aku tahu kamu penasaran mengenai apa yang akan aku ucapkan. Ardhana, beri tahu aku di mana lagi kita bisa menemukan seseorang yang tidak menuntutku menjelaskan atau menjawab ketika aku tidak ingin melakukannya saat itu juga? Lebih tepatnya, di mana lagi aku bisa menemukan seseorang yang memahami diriku sepenuhnya tanpa perlu sedikit pun aku menjelaskan?

Ardhana, seseorang yang berkata “oke” tanpa banyak bertanya lagi ketika aku meminta jarak. Ardhana, sesesorang yang tidak menagih banyak penjelasan untuk kembali bersikap sebagai sahabat baik ketika aku kembali menghampirinya. Ardhana adalah seseorang yang kepadanya aku tidak memerlukan banyak kata-kata. Kita semua memerlukan seorang lelaki yang baginya pikiran kita seolah tembus pandang—yang tahu persis apakah kita ingin berkata atau tidak.
***

(Ardhana’s POV)

Dua minggu yang lalu, Raya datang membawa kabar bahwa dia ingin mengenalkanku pada seseorang. Ingatanku melayang kepada sebuah masa di mana Raya berkata bahwa dia sedang dekat dengan seseorang. Seseorang itu tidak hanya akan mengabarinya saat tali sepatunya terlepas tetapi diam-diam berlutut untuk menyimpul tali sepatunya. Ada banyak cerita tentang lelaki ini empat belas hari belakangan. Dia adalah kakak tingkat Raya. Seorang penggemar Pablo Neruda seperti Raya. Menyukai Sapardi Djoko Damono dan Dewi Lestari layaknya Raya juga. Bisa dibayangkan bukan betapa serasinya mereka ketika penulis yang mereka sukai saja sama persis?

Satu lagi, tidak hanya pintar menulis puisi. Lelaki ini bahkan pintar menulis lagu. Dia seorang vokalis band yang cukup terkenal di fakultasnya. Kata Raya, menatap seseorang yang kita cintai dari kursi penonton adalah kebahagiaan kecil yang tidak semua orang miliki. Lelaki yang bekerja di Bandung itu hari ini tiba di Jakarta untuk menjenguk Raya.

“Adan,” suaranya dari arah belakang menyadarkanku dari pergulatan panjang pikiranku. Aku didera kebimbangan haruskah aku menoleh dan menatap langsung seseorang yang membuatku terhapus. Aku beranjak dari kursi ketika keduanya telah sampai. Aku hendak menarik mundur kursi untuk Raya ketika lelaki di sebelahnya mendahuluiku. Dia menatapku sekilas dengan tangan yang masih memegangi kursi yang hendak diduduki Raya.

“Ardhana,” aku mengulurkan tanganku kepadanya.

Pria yang seharusnya menyambut uluran tanganku itu menoleh ke arah Raya seolah mempertanyakan sesuatu.

“Sorry, Raya nggak pernah cerita kalau dia sahabatan sama Ardhana Kawi makanya saya kaget,” masih dengan wajah terkejutnya, dia akhirnya menjabat tanganku.

“Kan biar jadi kejutan. Soalnya salah satu penulis yang kamu suka itu sahabatku,” Raya tersenyum kepadanya. Dia menatapku dan Raya secara bergantian dengan ekpresi canggung.

“Seneng kan aku bisa bikin kamu ketemu Ardhana Kawi? Katanya pengen bisa nulis kaya Ardhana. Ini hadiah dari aku. Kamu seneng kan?” Raya tersenyum hangat kepada seseorang yang sedang berwajah dingin itu. Karenanya aku turut berekspresi canggung.

“Kita pesen sekarang ya,” Raya melambaikan tangannya kepada salah seorang pelayan kafe tempat kami bertemu. “Mbak, saya mau ice chocolate ya,” dia menunjuk salah satu gambar di daftar menu.

“Bukannya kamu gampang batuk ya kalau minum es?” aku menegurnya “Mbak, ganti hot chocolate aja ya,” aku mengkode sang pelayan untuk mengganti pesanan Raya.

“Berapa tahun udah berlalu, Dan. Aku udah bisa minum es sekarang,” Raya tertawa “Tapi nggak apa-apa deh Mbak ganti hot choco aja.” Raya mengiyakan pergantian menu. “Kamu mau apa, Kang?” Raya menoleh ke sebelahnya. Aku mengikuti arah bola matanya untuk bertemu pandang dengan seseorang yang kini tidak sedang tersenyum.

“Ice chocolate aja, Mbak,” pria itu memesan menu yang batal dipesan Raya.

“Aku angkat telpon bentar ya,” Raya beranjak dari kursinya ketika ponselnya berdering. Aku refleks bangkit hendak memegangi kursinya ketika tangan seseorang di sebelahnya bergerak lebih cepat.

“Kalian sedeket itu ya sampai kamu harus refleks mau megangin kursi Raya?” ujarnya ketika Raya sudah berjalan cukup jauh.

Aku yang masih memperhatikan langkah Raya terkejut oleh ucapan seseorang yang duduk tepat di depanku.

“Dulu Raya pernah jatuh waktu mundurin kursi pake kaki kaya dia biasanya. Dia kadang seceroboh itu,” aku refleks menjawab.”Oh ya, kalau dia lagi turun tangga, minta tolong perhatiin ya. Dia pernah kepeleset di tangga soalnya,” jelasku lagi.

Pria di depanku hanya meraih cangkir yang baru saja tersaji di depannya. Dia masih terdiam meski aku barusan berbicara serius kepadanya.

“Intinya titip Raya ya, Kang,” aku akhirnya memutuskan berujar untuk memecah keheningan.

“Ardhana, kamu nggak bisa nitipin sesuatu yang bukan punyamu atau sedang dikuasakan ke kamu. Juga kamu seharusnya nggak boleh seenaknya mengganti pesanan Raya tanpa meminta pendapatnya terlebih dahulu. Sekali lagi, dia bukan punyamu.” Jawabannya mungkin sedingin ice chocolate yang baru saja disesapnya.

Aku mencoba berekspresi tenang meski ucapannya bak menghantamku hingga babak belur. There’s no way he thought I fell for Raya. Aku sedang berusaha menyusun jawaban ketika suara langkah kaki Raya terdengar—jangan khawatir aku salah. Aku sudah menghapal suara langkah kakinya demikian lama.

“Kok diem-dieman sih,” Raya kembali ke kursinya dengan wajah sumringah. “Kang Raka bukannya penasaran sama inspirasi di balik puisi-puisi Ardhana. Ardhan pasti nggak keberatan menjawab kok kalau ditanya. Ya kan, Dan?”

Pria yang dimaksud Raya tidak sedikit pun menoleh ke arah Raya.

“Nggak perlu. Aku udah tahu inspirasinya,” dia menatapku tajam seolah sebilah pisau dihunuskannya ke arahku.
***

Aku berkali-kali menatap jam tanganku khawatir sebenarnya aku datang terlambat. Setiap 10 detik, mataku refleks menyapu seisi ruang tunggu di depan loket keberangkatan Stasiun Gambir. Aku perlu menemui seseorang hari ini. Seseorang yang kutunggu akhirnya muncul sendiri seperti yang kuduga.

“Kang…” aku tergesa-gesa menghampirinya.

“Eh Ardhana,” dia menyambutku sumringah. Kontras sekali dengan sikapnya kemarin siang saat pertama kali bertemu denganku. “Maaf ya, Dhan, kemarin aku dingin banget ke kamu. Tapi bener kok kata Raya, aku penggemar karya-karyamu. Setelah kita ketemu, kamu orangnya baik. Nggak pantes aku kesal ke kamu cuma karena Raya,” tak disangka, dia justru berujar panjang lebar.

“Aku nggak punya perasaan apa-apa sama Raya, Kang,” aku tidak menunda lagi untuk mengatakan maksudku mendatangi stasiun malam ini.

“Soal itu, bukan perasaanmu masalahnya, Dhan. Kalau cuma soal seseorang lain menyukai Raya, itu bukan masalah,” dia akhirnya berujar setelah sempat hening sejenak.

“Terus masalahnya apa?” aku setengah mendesak, setengah berusaha terdengar tidak terlalu ingin tahu.

“Perasaan Raya ke kamu,” jawabnya singkat tetapi pilu.

“Soal itu, aku yakin Raya nggak punya perasaan apa-apa. Aku berani jamin. Dia melihat aku cuma sebagai teman. Kang Raka nggak usah khawatir,” aku menepuk bahunya.

“Aku nggak khawatir karena kamu Ardhana Kawi meski sejujurnya siapa sih yang nggak takut bersaing sama kamu?” dia akhirnya menoleh ke arahku, “Tapi aku khawatir karena kamu seseorang yang sangat istimewa buat Raya. Siapapun yang kepadanya perempuan yang kita sukai memiliki perasaaan khusus, adalah bukan lawan sepadan untuk kita hadapi,” dia menghela napas panjang. Ada jeda panjang yang seharusnya kumanfaatkan untuk menjelaskan. Akan tetapi, waktu seolah membekukan diri agar aku tak bisa berkata-kata. “Kamu tahu apa yang lebih menakutkan lagi? Bahwa kamu rela ke stasiun jam 9 malam buat menjelaskan ini. Sikap kamu kaya puisi-puisimu. Kamu nglakuin ini demi Raya kan? Kamu takut Raya sedih kan?” dia menepuk bahuku kemudian melangkah mendekati loket keberangkatan.

“Tolong jangan tinggalin Raya, Kang. Aku mohon,” aku berteriak sembari membungkukkan badanku. Aku mengangkat kepalaku untuk menyaksikannya membeku dalam seribu ragu. Dia kemudian tersenyum sembari mengangguk.
----
(to be continued)

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE