-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

17 Dec 2019

WHAT I LEARNED FROM BEING A WRITING COMPETITION JUDGE

  • December 17, 2019
  • by Nur Imroatun Sholihat

source: weheartit.com
Hello semuanya! Saya baru saja menjadi salah satu juri Lomba Menulis Auditoria 2019. Anyway, Auditoria adalah majalah di mana saya bertahun-tahun belakangan menjadi kuli tintanya. Majalah yang berlatar ilmu audit internal itu menjadi saksi langkah kecil saya dari waktu ke waktu—insyaAllah sampai saya tua nanti. If you haven’t ever read this magazine before, please kindly check it out here :)

Selama sekolah dan kuliah, saya terhitung beberapa kali mengikuti lomba menulis. Bahkan langkah pertama yang kemudian mematri semangat baja di hati untuk terus menulis adalah sebuah kompetisi menulis yang saya ikuti saat SMP. Saya selalu merasa tidak cukup baik dalam bidang ini sampai suatu waktu guru bahasa Indonesia saya menyemangati saya untuk mengirim tulisan ke sebuah lomba tingkat kabupaten. Tidak disangka saya berhasil menjadi salah satu finalisnya. Alhamdulillah. Seorang gadis kampung yang menimba ilmu di sekolah pinggiran itu untuk pertama kalinya mempresentasikan karya ilmiahnya di depan juri. Pengalaman itu tergurat dalam pikiran saya dan sampai sekarang menjadi pengingat untuk tidak mengerdilkan kemampuan diri sendiri :)

Long story short, saya diberi amanah untuk menjadi juri kali ini. Seseorang yang selama ini selalu menjadi peserta itu akhirnya bisa melihat kompetisi menulis dari sudut pandang yang berbeda. Penjurian dilakukan dengan sistem blind review (penilaian tanpa mengetahui identitas penulisnya) demi menjaga subjektivitas. Dua juri lainnya adalah Pak M. Hisyam Haikal (Pemimpin Redaksi Auditoria) dan Mbak Delima Frida P. (Chief Editor Auditoria). Kami bertiga secara terpisah menilai tiap-tiap karya kemudian hasilnya diakumulasikan untuk menentukan pemenang.

Saya tahu, saya tidak boleh menyakiti hati siapapun dan karenanya saya harus mengerahkan usaha terbaik untuk menilai. Bagaimana saya menilai tulisan-tulisan tersebut? Saya membaca semua karya yang masuk lalu mengambil jeda sejenak untuk mengetahui tulisan mana yang menetap dalam pikiran seiring waktu berlalu.  I wanted to know which of the story that stays with me—the one which lingers on my mind. Teknik ini juga berguna untuk mendapatkan gambaran kualitas seluruh tulisan untuk nantinya memudahkan pemeringkatan. Setelah itu, saya kembali membaca satu persatu tulisan untuk memberinya nilai. Membaca tulisan sebanyak 2 kali membantu saya memahami setiap tulisan dengan lebih komprehensif. Karena saya sadar, saya harus memberikan nilai seadil mungkin dan hal itu bisa terjadi salah satunya dengan benar-benar meresapi setiap tulisan. Setelah membubuhkan nilai masing-masing karya, saya membaca sekali lagi untuk memastikan kesesuaian peringkat dengan kualitas tulisan dan mengecek apakah saya telah benar-benar “menyingkirkan” selera pribadi demi objektivitas.

Apa yang saya pelajari dari menjadi juri kompetisi menulis? Pertama, saya sadar sekali bahwa jauh di lubuk hati, juri mengenali setiap usaha. Saya bisa melihat usaha penulis untuk menarik perhatian, membangun plot, menghadirkan “kejutan”, dan menutup tulisan dengan harapan akan membekas di hati pembaca. Surprisingly, I realized every single effort they made. Dulu saya sering merasa kalau juri “gagal” melihat usaha saya sehingga muncul kritikan-kritikan yang tidak seharusnya tetapi kini saya paham juri tidak luput melihat setiap butir usaha seorang penulis. Kritikan yang muncul dari juri juga tidak didasari niat menjatuhkan. Segala masukan yang diberikan semata-mata sebab juri mengenali persis seberapa luas ruang yang bisa dipenuhi tetapi kita tinggalkan kosong begitu saja. Segala saran dan pesan yang dilontarkan juri dilandasi keinginan untuk membuat penulis memaksimalkan potensinya atau berusaha lebih keras lagi.

Kedua, ternyata membobot karya itu sulit. Setiap karya itu unik dan terdapat banyak aspek di dalamnya yang menjadikan pemeringkatan tulisan tidak seringan yang dibayangkan. Ada kualitas-kualitas yang sukar dikomparasi dan dikuantifikasi—yang akhirnya menguras banyak pertimbangan untuk sampai pada keputusan.

Ketiga, dear every writer, please take your time to learn PEUBI (Pedoman Ejaan Umum Bahasa Indonesia). Ketika kita serius ingin menjadi penulis, tata bahasa menjadi sesuatu yang krusial untuk dikuasai. Meski dalam melakukan penilaian, saya mengedepankan substansi dibanding tata bahasa, using the correct grammar won’t hurt you. Sebaliknya, itu justru meningkatkan nilai kita sebagai penulis. Jadi mari sama-sama belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar agar tulisan kita semakin apik. Trust me, it worths the effort.

Keempat, make sure your idea stands out. Semua bermula dari ide—harta terbaik dari sebuah tulisan. Eksekusi yang baik tentu penting tetapi apalah artinya tulisan yang liris, manis, dan puitis tanpa kedalaman subtansi. Jadi pastikan untuk hanya menyuguhkan ide yang benar-benar telah masak dan ranum kepada pembaca kita. Our readers deserve only  the best of us, right? :)

Kelima, melengkapi pelajaran yang saya dapat sebelumnya: sebaik apapun idenya, penyajian tetap penting. Jangan sampai gagasan yang istimewa mudarat saja karena pembaca enggan menyelaminya akibat "penghidangan" yang tidak menawan. Mari belajar untuk menulis gagasan yang penting dengan menarik :)

Keenam, ini personal banget sih, but I never underestimate how much work is involved in a “simple story” which is actually much deeper that it seems. Simplicity is truly the ultimate sophistication. Tahu kan seberapa susahnya menyajikan keindahan berbungkus kesederhanaan? Sampai sekarang, saya masih menaruh respek yang besar kepada setiap penulis yang mampu menyuguhkan gagasan besar dengan sederhana.  

Demikian 6 hal yang saya pelajari dari menjadi juri Lomba Menulis Auditoria 2019. Sebenarnya ada sesuatu yang belum bisa saya wujudkan kali ini karena keterbatasan waktu penjurian: memberikan feedback kepada para peserta. Sedari dulu, membaca feedback juri adalah hal yang painfully pleasing bagi saya. Sakit hati sih tetapi dari sanalah kita banyak belajar. Saya rasa manfaat sebagai juri dapat lebih terasa jika saya bisa memberikan masukan yang konstruktif untuk para peserta. After all, terima kasih Auditoria atas kepercayaan yang diberikan. Doa saya: semoga saya diberi kesempatan-kesempatan lain untuk menjuri tulisan di masa depan. Aamiin.
----
Maafkan kebiasaan saya menyisipkan kata/kalimat dalam bahasa Inggris. Kebiasaan banget emang :(

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE