TIPS UJIAN CERTIFIED INTERNAL AUDITOR (CIA) (INDONESIAN VERSION)
![]() |
source: pabu.com.ua |
Setelah rentetan 5 ujian, saya akhirnya memiliki gelar CIA di belakang nama saya. WAIT! Lima ujian? Hanya ada 3 bagian dalam ujian CIA bukan? Ya. Tetapi saya di sini dengan kisah kesuksesan dan kegagalan dramatis yang dapat menjadi bahan pembelajaran bagi siapapun sebelum mengambil ujian CIA :)
![]() |
source: pinterest.com |
Hello, there! I hope you all are healthy and sane :)
Sudah lama rasanya ingin bercerita soal dunia membaca puisi tetapi saya baru sempat menuliskannya sekarang. Jadi ceritanya beberapa waktu yang lalu saya mengikuti Lomba Baca Puisi dalam rangka Peringatan Hari Oeang Republik Indonesia ke-74. Saat itu, sebenarnya saya sedang tenggelam mengurusi kegiatan Kompetisi Data Analytics Kemenkeu (di mana saya ditunjuk untuk menjadi project manager acaranya). Kompetisi itu menguras hampir seluruh waktu dan tenaga saya sehingga saya awalnya tidak berpikir untuk mengikuti lomba bidang yang telah saya pelajari sejak SMP itu. Tetapi di suatu malam, tiba-tiba saya berpikir: kira-kira saya bakal nyesel nggak ya ini berlalu begitu saja?
(For Bahasa version, please scroll down. | Versi bahasa Indonesia tersedia di bawah.)
![]() |
source: weheartit.com |
Manifesting “amor fati” (love of fate): an attitude in which one sees everything that happens in one’s life, including suffering and loss, as good or, at the very least, necessary1.
“O, Ibrahim! Where are you going leaving us (Hajar and Ismail) on this valley where none and nothing seen?” Hajar repeated her question as Ibrahim didn’t look back at her. “Has Allah ordered you to do so?” Hajar finally changed her question.
Ibrahim, without turning his body, nodded.
“Then He (Allah) will not
neglect us.” She said.
Many days ago, I suddenly
remember a piece of story where Ibrahim AS left Hajar and his son, Ismail,
behind in a deserted valley. It was grievous for both Ibrahim and his wife but
the two earnestly believed in Allah’s decree. Ibrahim steadily continued his steps
away and Hajar serenely stayed. Whenever I feel down, I tend to think that
Allah neglects me (seriously I know He doesn’t but there are days where my mind
gets blurry because of the adversity I go through. Pardon me, Allah). And
what made me feel that somebody slapped my face is that story above-mentioned:
Allah will not neglect me. Allah will never abandon his servants. (A similar story is around the Hudaibiyyah Treaty where Prophet Muhammad PBUH said: "I’m the messenger of Allah and He will never neglect me forever").
This particular family has
taught me to have full confidence in Allah’s will. And by full confidence I
mean, even when the order to slaughter Ismail came, both the dad and son instantly nodded. Even though they couldn’t decipher the meaning behind the command, they weren't in doubt about obediently doing it. It feels so unnatural to see humans wholeheartedly give
in to whatever fate befalls but this family is exemplary. They served as an
example of the peace of mind to every predestination. Not because it didn’t
torture their hearts but they had faith in His wisdom to put them in such a
situation. They were at ease because they knew for whatever happened in this
universe, The Wisest One decided it for them.
In the philosophy world, we know the term “amor fati” and Islam has “ridho (be pleased) to Allah’s will”. Those two phrases exude the same vibe: feeling entirely content with fate. That even if you can choose your own fate, you still want the exact same one as what had been decided. Talking about amor fati, Friedrich Nietzs stated: that someone wants nothing to be different, not forward, not backward, not in all eternity. Someone still wants their settled fate even if they have the right to pick it by themselves. That one does not just accept Allah’s decision, he/she respects it. It’s not that they passively surrender to life (as Daily Stoic said: acceptance isn't passive), they actively love it. It’s not succumbing--it’s embracing life even if it’s not what they've dreamed.
It's common knowledge that everyone wants (only) a good fate. I sincerely want it too. But life works in such an unfathomable way: there are many times life does not go our way. Sometimes good things do not happen even when we thought we deserve them. Favorable results aren’t guaranteed even after we put a lot of effort. Hard work doesn’t always be followed with success as no one can ascertain what you will get. It could be that we are so determined to move forward and still in the same place after a while. We could be kind yet life keeps bringing us down. Life inherently isn’t completely rational and fair. We can’t live peacefully if we keep wanting everything to work our way. So, after putting in our best effort and pray, let Allah handle the rest.
And also, rest assured that
even though some things won’t work our way, some won’t be disloyal to us.
Cherish both :)
We all know that the practice of loving fate isn’t a walk in the park. I know it sounds so unrealistic to smile at everything in life. But the pains, the failures, the sadness, the tears, the bruises—we can appreciate instead of hate them. I’m not saying that we can easily love those “seemingly” (as we don’t know, maybe what we thought is bad is actually good and vice versa) negative things but we can try. Please give it a try. You know why? Because that way, we can focus on the good things that exist in our days. Because that way, our hearts would feel tranquil as we know that everything happens, maybe it's meant to happen for our good, so we should embrace them warmly. And ultimately, because we know this too is a decision of The One Who Loves You. This too is Allah’s decision. He will never neglect us.
-----
INI JUGA ADALAH KETETAPAN ALLAH
Mewujudkan "amor fati" (cinta terhadap takdir): sikap di mana seseorang melihat segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya, termasuk penderitaan dan kehilangan, sebagai hal yang baik atau setidaknya diperlukan1.
"Oh, Ibrahim! Ke mana
kamu akan pergi meninggalkan kami (Hajar dan Ismail) di lembah yang tidak
ada seseorang dan sesuatu pun terlihat?” Hajar mengulangi pertanyaannya
karena Ibrahim tidak kunjung melihat ke arahnya. “Apakah Allah telah memerintahkanmu
untuk melakukan ini?” Hajar akhirnya mengubah pertanyaannya
Ibrahim, tanpa menoleh, mengangguk.
"Maka Dia (Allah)
tidak akan menelantarkan kami." Hajar berkata.
Beberapa hari yang lalu,
saya tiba-tiba teringat potongan kisah di mana Ibrahim AS meninggalkan Hajar
dan putranya, Ismail, di lembah terpencil. Hal tersebut menelangsakan Ibrahim dan istrinya tetapi keduanya sepenuhnya percaya pada ketetapan Allah.
Ibrahim dengan mantap melanjutkan langkahnya dan Hajar dengan tenang bertahan.
Setiap kali merasa sedih, saya cenderung berpikir bahwa Allah
menelantarkan saya (saya tahu Dia tidak akan melakukannya tetapi ada hari di mana pikiran menjadi kabur sebab kesulitan yang saya alami.
Maafkan saya, Allah). Dan yang membuat saya merasa seseorang menampar wajah
saya adalah cerita di atas: Allah tidak akan menelantarkanku. Allah tidak akan
pernah meninggalkan hamba-Nya. (cerita serupa ada di saat Perjanjian
Hudaibiyyah di mana Nabi Muhammad SAW berkata: "Saya utusan Allah dan Dia tidak
akan pernah menyia-nyiakan saya selamanya").
Keluarga ini mengajari saya untuk memiliki keyakinan utuh pada kehendak Allah. Dan yang
dimaksud kepercayaan penuh tersebut adalah bahkan ketika perintah untuk menyembelih
Ismail datang, ayah dan anak itu langsung mengangguk. Meskipun mereka
tidak memahami arti di balik perintah itu, tidak ada keraguan untuk
melakukannya dengan patuh. Rasanya tidak wajar bukan melihat manusia dengan
sepenuh hati menyerah pada nasib apa pun yang menimpa tetapi keluarga ini
adalah teladan. Mereka menjadi contoh pikiran yang damai menerima setiap suratan. Bukan karena takdir tidak menyiksa hati tetapi mereka mengimani kebijaksanaan-Nya untuk menempatkan mereka dalam setiap situasi. Mereka
merasa nyaman mengetahui apa pun yang terjadi di alam semesta, Dzat yang
Mahabijak yang memutuskannya untuk mereka.
Dalam dunia filsafat, kita mengenal istilah "amor fati" dan Islam memiliki "ridho (senang) atas kehendak Allah". Kedua frasa itu memancarkan aura yang sama: merasa sepenuhnya puas dengan takdir. Bahwa meskipun kita dapat memilih nasib sendiri, kita tetap menginginkan yang sama persis seperti yang telah diputuskan. Berbicara tentang amor fati, Friedrich Nietzs menyatakan: bahwa seseorang tidak ingin ada yang berbeda, tidak ke depan, tidak ke belakang, tidak selamanya. Seseorang masih menginginkan suratan yang telah ditentukan seandainya pun memiliki hak untuk menentukannya sendiri. Seseorang tidak hanya menerima keputusan Allah, dia juga menghormatinya. Bukan pasif menyerah pada kehidupan (seperti yang dikatakan Daily Stoic: penerimaan tidaklah pasif) tetapi mereka secara aktif menyukainya. Bukan pasrah tetapi merangkul kehidupan bahkan sekalipun bukan yang mereka inginkan.
Sudah menjadi rahasia umum
bahwa setiap orang menginginkan (hanya) nasib baik. Saya juga sungguh-sungguh
menginginkannya. Tetapi hidup bekerja dengan cara yang tak terduga: ada
banyak masa kehidupan tidak berjalan sesuai keinginan kita. Terkadang hal-hal
baik tidak terjadi bahkan ketika kita pikir kita pantas mendapatkannya. Hasil
yang menyenangkan tidak terjamin bahkan setelah kita berusaha keras. Bekerja
keras tidak selalu diikuti dengan kesuksesan karena tidak ada yang bisa
memastikan apa yang akan kita dapatkan. Bisa jadi kita begitu bertekad untuk
maju dan tetap di tempat yang sama setelah beberapa saat. Bisa jadi kita sudah berusaha menjadi baik tetapi hidup terus-menerus melempar kesulitan-kesulitan pada kita. Hidup pada dasarnya
tidak sepenuhnya rasional dan adil. Kita tidak bisa hidup dengan tenang jika kita terus menginginkan
semuanya berjalan sesuai keinginan kita. Jadi, setelah berusaha dan berdoa
semaksimal mungkin, biarkan Allah yang menanganinya.
Dan juga, yakinlah bahwa
meskipun beberapa hal tidak berjalan sesuai keinginan, beberapa tidak mengkhianati kita. Hargai keduanya :)
Kita semua tahu bahwa
praktik mencintai takdir bukanlah ibarat berjalan-jalan di taman. Saya tahu
sangat tidak realistis rasanya tersenyum pada segala hal dalam hidup. Namun,
rasa sakit, kegagalan, kesedihan, air mata, luka— kita bisa menghargai
alih-alih membencinya. Saya tidak mengatakan bahwa kita dapat dengan mudah
mencintai hal-hal yang "tampaknya" (kita tidak tahu,
mungkin apa yang kita anggap buruk sebenarnya baik dan sebaliknya) negatif
tetapi kita bisa mencoba. Mari mencoba. Mengapa? Karena dengan begitu,
kita bisa berfokus pada hal-hal baik yang ada di hari-hari kita. Sebab dengan
demikian, hati kita akan merasa damai mengetahui bahwa atas segala
sesuatu, mungkin itu terjadi untuk kebaikan kita, sehingga kita bisa memeluknya erat. Dan tentunya, karena kita tahu ini juga adalah keputusan dari Dzat Yang Mencintaimu. Ini juga adalah keputusan Allah. Dia tidak akan pernah
menelantarkan kita.
-------
![]() |
source: giphy.com |
Aku membenci
laut
Barangkali
sebab berkeinginan kau sudah di tepinya menyambut
Dengan
kembang api yang diam-diam kausulut
Debur ombak
yang kalah ribut ketimbang denyut
Jantungmu
yang kibang-kibut beserta bersimpuhnya lutut
![]() |
source: pinterest.com |
Beberapa waktu yang lalu, Abdi Muda Negara (ANM) meminta saya berbagi 7 tips menulis esai. Komunitas itu sedang menyelenggarakan lomba menulis esai dan kebetulan saya menjadi salah satu jurinya. Berhubung sekalian menuliskannya, saya kepikiran untuk membuatnya menjadi tulisan di blog. Siapa tau di antara teman-teman sekalian ada yang penasaran apa sih tips menulis esai ala iim (I bet none except ANM asked for this but let me just do it. Haha).
![]() |
source: tenor.com |
Tersita, terlunta-lunta
di Jakarta
Mengudeta
derita agar tak terlampau nyata
Di pusaran
gegap gempita ibukota
Yang berpesta, dengan setumpuk harta
![]() |
source: Romolo Tavani - stockadobe.com |
(Rasanya cukup lama saya tidak mempublikasikan tulisan dengan kategori IT dan akhirnya saya kembali menuliskannya. Anyway, saya sepertinya perlu memberi disclaimer bahwa tulisan-tulisan tentang TI di blog ini tidak akan bercerita tentang TI secara teknis tetapi serba-serbi semacam perjuangan saya yang bukan lulusan TI tapi bernapas di dunia TI, apa yang saya pelajari dari TI, dsb. Hehe.). So here we go, saya akan bercerita tentang sebuah disiplin ilmu yang sedang popular sekali akhir-akhir ini: business continuity management (BCM). Di era pandemi ini, banyak sekali organisasi yang akhirnya menyadari peran penting menyiapkan rencana kelangsungan bisnis (selanjutnya disebut BCP—business continuity planning) dari yang semula berpikir “ah ngapain sih ngeluarin uang buat bikin perencanaan menghadapi bencana di organisasi kita. Kalaupun terjadi petaka, we’re gonna naturally find a way to survive kok.”
![]() |
source: kera.org |
Sat in a restaurant with low voices of people conversing in the back, I scrolled through her Instagram only to find that she was still the same—so was my heart. The way she never holds back her smile, naturally poses whenever a photo is taken—nothing changed from the old days. It bothered me that she didn’t text me even when it was almost the appointment time so I put my phone down. I needed to do something, which ended up being, washing my hand, to calm my frantic heart down. I was afraid that nervousness is all over my face. Would she come? She wasn’t the type of person who comes late so here I was half regretting myself not only for asking her to meet me, for the lame reason “hey I will be in your town how about a meetup?”, but also for being confident that she would certainly show herself up. It started because I jumped at the opportunity when I stumbled upon her Instagram 2 weeks ago. Now realizing that she had all the choices and canceling the meeting last minute was also an option for her knocked down my optimism.
source: scalegrid.io |
Kegaduhan yang Mengaduh
Berita yang tersuguh di layar kaca akhir-akhir ini berkisar antara perjuangan untuk sembuh, rumah sakit yang penuh, sebagian masyarakat yang tidak patuh, sebagian lainnya mengeluh, perusahaan yang silih berganti rubuh, dan upaya menjaga ekonomi agar tidak lusuh. Di tahun 2020 ini, dunia ibarat dikepung oleh sebuah musuh. Terhadapnya, kita tidak sempat membela diri apalagi misuh-misuh. Semua terjadi dalam sekelebat seperti pasukan yang datang dengan derap gemuruh entah dari arah mana di waktu subuh. Kehidupan yang semula berjalan biasa saja tiba-tiba menjelma begitu riuh. Ekonomi tidak bertumbuh, para penghuni rumah yang mulai merasa jenuh, teriakan para buruh, pasien yang keadaannya rapuh, tenaga kesehatan yang menjerit bahwa perlindungan pun mereka butuh: semuanya bersatu padu menjadi kegaduhan yang mengaduh.
![]() |
image source: theodisseyonline.com |
Saya baru saja mengikuti kompetisi menulis opini yang dibuka untuk
seluruh APIP di Indonesia. Artikel berjudul “APIP dan Tata Kelola Data” saya
kirimkan untuk mengikuti kompetisi yang diadakan dalam rangka HUT ke-54 Itjen
Kemenkeu itu. Saya mengerjakan artikel itu dengan cukup ngebut—sekitar
setengah hari saja, itupun di hari terakhir (dasar deadliner!).
Lalu saya memaksakan diri mengirimkannya agar bisa memindahkan perhatian saya
kepada pekerjaan. (You know the constant dissatisfaction of what you write
and think that you might be able to make it better when actually even after
countless times of re-reading, only insignificant minor revisions happened?
Hihi. That’s why for many cases I chose to send them before the greedy self of
mine overtake me).
Mendengar kabar bahwa Mas Febri Diansyah memutuskan mundur dari KPK adalah bukan hal yang baik untuk membuka pagi. Sebuah pesan whatsapp dari mantan Pemred Auditoria menyapa saya, “Febri Diansyah mundur, im” yang sontak membuat saya membeku beberapa detik. Saya tidak akan membicarakan pandangan saya akan mundurnya sosok jubir komisi antirasuah itu sebab sudah banyak yang membahasnya dan secara prinsip, saya setuju dengan opini yang beredar. It’s so heartbreaking that I don’t want to hear or talk about it actually.
APA YANG SAYA PELAJARI DARI JUNGHWAN: KEINGINAN UNTUK MEMBERIKAN LEBIH BANYAK USAHA UNTUK SESUATU
![]() |
via muthia-maharani.blogspot.com |
(Tulisan ini adalah versi bahasa Indonesia dari tulisan saya sebelumnya: What I Learned from Junghwan: The Wish to Put More Effort into Something)
Jika kalian sudah menonton Reply 1988, siapa yang kamu dukung? Adakah #teamJunghwan di sini?
WHAT I LEARNED FROM JUNGHWAN: THE WISH TO PUT MORE EFFORT INTO SOMETHING
![]() |
via muthia-maharani.blogspot.com |
![]() |
source: tumblr.com |
![]() |
source: tumblr.com |
![]() |
image source: pixabay.com |
source: instagram.com/thewidodo |
Ramadhan kali ini jelas berbeda. Tidak ada lagi sudut pikiran yang berjingkatan merencanakan kepulangan ke kampung halaman di penghujungnya. Tidak lagi sama persuaan penuh kasih dengan sanak saudara dan handai taulan di tanggal 1 bulan selanjutnya. Bahwa tidak mengunjungi rumah, berdiam di perantauan, dan menahan sesak yang membanjiri dada adalah bentuk cinta setulus-tulusnya saat ini. Itjen Kemenkeu ingin menepuk-nepuk bahu semua orang yang sedang mengarungi masa sulit itu dengan persembahan puisi berjudul “Surat dari Ibu” ini. Kami tahu air mata yang menggantung di sudut mata. Kami memahami kerinduan yang belum dapat terjawab dengan perjumpaan. Kami ikut merasakan masa di mana beban menjadi begitu sarat ditanggung batin.
![]() |
source: tumblr.com |
![]() |
source: tumblr.com |
![]() |
source: tumblr.com |
![]() |
source: tumblr.com |
source: bookbarista.nl |