-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

15 Mar 2020

KAWI

  • March 15, 2020
  • by Nur Imroatun Sholihat
PART 9: SALAH SATU PEKERJAAN TERSULIT DI DUNIA ADALAH MEMAHAMI PEREMPUAN
source: tumblr.com

(Ardhana’s POV)
Suara langkah seseorang mendekat ruang tunggu menghentikan gerakan tanganku yang tengah mengetik. Aku tidak bisa tidak mengenali cara seseorang berjalan terlebih karena di masa lalu aku sering bersamanya termasuk menunggu langkah kaki itu mendekat yang mau tak mau membuatku menghafalnya. Berkecimpung di dunia yang sama membuat pertemuan menjadi tidak terelakkan. Perempuan itu kini mengambil kursi di seberangku. Jika di pertemuan lalu, aku yang meminta panitia untuk meninggalkan kami sejenak, kali ini dia yang memintanya. Pasti ada sesuatu yang penting untuk disampaikan sampai perempuan ini merasa perlu memulai percakapan denganku terlebih dahulu.

“Ardhan, kamu nggak perlu promosiin bukuku. Aku nggak mau kamu terbebani merasa harus nglakuin itu semata-mata karena aku temanmu.” aku melirik ponselnya yang menunjukkan screen capture instastory-ku tentang bukunya beberapa hari yang lalu.

Aku mengabaikan kenyataan bahwa Raya menunggu jawabanku. Perempuan di depanku ini pun sepenuhnya tahu ketika aku tidak ingin berbicara, aku akan kukuh tidak berbicara. Maka aku mengembalikan pandanganku pada layar laptopku.

“Maksudku, aku nggak mau kamu nglakuin sesuatu cuma karena terpaksa, atau merasa kasihan karena aku penulis baru. Lagipula, aku nggak mau berutang budi lagi sama kamu, Dhan. Aku nggak tahu gimana membayarnya,” Aku dapat merasakan bahwa sepasang matanya terus menatapku setengah kesal menagih jawaban. “Juga aku khawatir orang akan berpikir macem-macem soal kita.” Entah sejak kapan Raya menjadi secerewet ini. Aku menghela napas panjang yang pasti disadarinya menyiratkan bahwa ucapannya menggangguku.

“Sejak kapan sih Ya kamu jadi complicated gini? Mana Raya yang aku kenal yang selalu simple dan nggak suka ngributin hal-hal kecil—yang bisa bikin orang-orang di sekitarnya rileks dan tenang?” aku akhirnya berbicara sebab kesal menyadari Raya kehilangan jati dirinya hanya karena kebenciannya kepadaku. “You can hate me but stop ruining your personality. You used to be such a sunshine. Kenapa berubah gini sih?” it’s true that you used to be such a sunshine, Ya. You still are in front of anyone but me.

“Dan kamu jangan GR deh, Ya. Aku ngasih bunga karena janji masa lalu ke diri sendiri, aku bilang aku pengen jadi first member fansclub-mu juga karena itu ucapan yang udah aku siapin sejak bertahun-tahun lalu. Aku promosiin buku kamu karena sadar betapa pentingnya punya support system yang kuat dan aku bisa menjadi bagian dari itu. Aku pernah ngalamin berjuang promosiin dua buku pertamaku dan kamu tahu tahu kan baru di buku ketiga, di mana aku banyak direkomendasiin penulis terkenal, namaku naik? Aku cuma pengen nyediain dukungan yang bisa aku kasih. Kamu nggak seharusnya ngeberhentiin orang yang mau dukung kamu,” aku menutup laptopku dengan agak keras yang disambut gesture terkejut Raya. “when people help you out, you can just say ‘thank you’ instead of refuse it.” aku berusaha meredam situasi yang lebih canggung dari kecanggungan yang sudah ada.

“Thank you, Dhan.” Dia berujar lirih. “Sorry aku ngributin hal yang nggak penting buat kamu. Tapi ini penting buat aku. Aku nggak mau ngrepotin kamu terus,”

Aku tertawa sinis. Bagaimana mungkin Raya melupakan sebuah kejadian di masa lalu yang membuatnya seharusnya tahu kata merepotkan tidak pernah ada di antara kami.

“Jadi sejak kapan ada kata merepotkan di antara kita, Raya Gauri?” ujarku satire. Mata bulatnya terbelalak. “Sejak kapan juga kamu selalu berusaha memberi kesan bahwa aku nggak memahami apapun soal kamu, Ya?”
***

(2011)
(Raya’s POV)

Aku baru saja sampai rumah ketika ibuku mempertanyakan kemana aku sesorean ini. Ibu juga terburu-buru memintaku menelpon Ardhan segera sebab dia tengah mencariku ke sekolah.

“Adan...” aku bergegas mengisi daya ponselku dan menghubungi Ardhana.

“Yaya...” suaranya terdengar tersengal-sengal di seberang sana. “Kamu kemana?”

“Aku tadi mampir cari kado bentar buat Nida. Hp-ku mati makanya aku nggak bisa ngabarin. Kamu di mana? Kata Ibu kamu nyariin ke sekolah,”

“Iya ini di sekolahan. Kalau gitu aku pulang ya,” dia terdengar enteng saja.

“Kamu kenapa nyariin sih, Dan? Tenang aku pasti pulang,” aku mencoba bersikap enteng juga.

“Abis hari ini kamu bilang nggak usah pulang bareng terus kamunya sampe sore nggak pulang. Aku ngrasa bersalah sama Budhe,” ujarnya lirih. Aku dan Ardhana memang hampir selalu berangkat dan pulang bersama meski kami membawa motor masing-masing. Ardhan akan sesekali melihatku dari kaca spionnya atau tolehan kepalanya ke belakang untuk memastikan aku masih mengikutinya.

“Maaf deh udah ngrepotin. Lain kali aku pastiin bateraiku nggak habis,” kini perasaan bersalah melumuri sekujur badanku.

“Nggak perlu minta maaf buat ngrepotin. Sejak kapan di antara kita ada kata ngrepotin?” napasnya masih tidak beraturan. “Tapi kamu utang maaf yang lain ke aku. Yang ini kamu harus minta maaf dan janji nggak ngulangin,” Ardhan terdengar serius.

“Minta maaf soal apa?” aku mencoba mengingat-ingat apakah aku membuat kesalahan kepada Ardhana akhir-akhir ini. Aku tidak bisa mengingat satu pun. Kalau ada yang harus meminta maaf, justru Ardhana yang seharusnya melakukannya karena pagi ini mengambil bakpauku begitu saja sembari tersenyum polos mengatakan dirinya lapar.

“Bikin aku khawatir. Aku nggak suka perasaan khawatir,” suaranya demikian dramatis lengkap dengan napas yang berusaha diaturnya agar stabil.

Aku terdiam beberapa detik. Suara napas Ardhana menjadi satu-satunya bukti bahwa saluran telepon kami masih tersambung. Aku tersadar ada sesuatu yang lebih melelahkan ketimbang mencari seseorang: mengkhawatirkannya.
***

(Ardhana’s POV)

Untungnya kami sedang saling menghening bersama pikiran kami masing-masing ketika reporter majalah DASA, majalah kampus yang menyelenggarakan seminar sastra yang mengundang kami, mengetuk pintu ruang tunggu. Majalah yang sempat menaungi Mas Arga itu memang meminta waktu untuk dapat mewawancarai kami.

“Saya Ardhana” aku menyambut reporter dan kameraman yang menunggu untuk dipersilakan masuk. “Dulu kakak saya juga ikut DASA Post lho. Namanya Arga Kijaora Kawi,” aku tersenyum sumringah.

“Baru mau bilang kalau kakaknya Mas Ardhana itu senior kami. Saya nggak sempet ketemu karena angkatannya jauh tapi sering denger ceritanya. Mas Arga udah balik ke Indonesia?” reporter bernama Ayu itu seolah benar-benar mengenal kakakku.

“Udah kok.” Aku tersenyum. “Oh ya, ini Raya,” aku memperkenalkan Raya yang sedari tadi ikut berdiri menyambut kru DASA Post. Mereka kemudian saling berjabat tangan dan bertukar percakapan kecil.

“Monggo mau nanya apa sebelum setengah jam lagi acara dimulai,” Raya akhirnya mengalihkan percakapan menuju intinya. 

“Beberapa waktu yang lalu saya baru sadar kalau Mbak Raya dan Mas Ardhana sejak TK sampai SMA selalu satu sekolah bahkan pernah sama-sama bergabung di majalah sekolah. Apa betul? Karena sebenarnya kisah persahabatan kalian bisa “dijual” untuk meningkatkan popularitas kalian,” Setelah pertanyaan individual mengenai buku kami masing-masing, sang reporter mengajukan pertanyaan yang sama sekali tidak terduga. Aku tidak menyangka akan adanya waktu seseorang menyadari bahwa kami berbagi masa lalu. It turned out we should never underestimate a journalist’s ability to find a news. 

Aku melihat kedua tangan Raya saling menggenggam. Saat gelisah, dia akan melakukan itu untuk menjaga wajahnya terlihat tenang. Aku menunggunya menjawab meski tahu dalam keadaan seperti ini, dia akan mengandalkanku untuk menjawab. Sementara itu, jari-jariku menepuk lututku sembari berusaha keras mencari jawaban yang mungkin akan disetujui Raya.

“Iya betul. Kami saling mengenal dan bersahabat. Alasan kami tidak pernah mempublikasikan fakta ini adalah karena kami ingin pembaca berkonsentrasi pada karya kami. Mbak Raya ingin dikenal karena karyanya, bukan karena sahabat saya. Dan saya yakin, Mbak Raya punya kemampuan untuk dikenal sebagai seorang penulis yang baik ketimbang sebagai temannya seorang penulis.” aku tertawa lepas menyembunyikan kegugupan karena kebohongan yang kureka-reka. “Mbak Raya mau menambahkan?”

“Saya rasa cukup, Mbak.” Raya akhirnya angkat bicara. “Intinya kami ingin orang fokus sama karya kami saja, bukan kehidupan pribadi kami. Jadi tolong nanti liputannya lebih fokus ke buku kami aja ya Mbak,” perempuan itu tersenyum kepada sang reporter. Aku melihat tangannya saling menggenggam lebih erat. Dulu saat Raya gugup seperti itu, aku akan menarik lengan bajunya dan genggamannya akan tercerai begitu saja. Kini aku hanya bisa mengatupkan tangan agar tidak refleks menarik lengan baju Raya. Aku mengangkat pandanganku dari tangannya untuk mendapati tatapannya yang retak. Raya boleh membohongi seisi dunia dengan sorot mata yang kuat seolah tak satu pun hal dapat mengganggu batinnya tapi aku selalu bisa menyadari saat dinding hatinya berguguran.

“Ardhan,” Reporter yang mewawancarai kami baru saja meninggalkan ruangan ketika suara lemah Raya memanggilku yang tengah bersiap-siap menuju panggung.

“Hmmm” aku menjawab tanpa menoleh.

“Maaf ya,” dia menunduk. “Kamu bener, I don’t deserve your heart” meski sangat lirih, aku bisa mendengarnya karena aku menyimak dengan seksama. “I don’t deserve your kindness too. Setiap kali kamu berusaha nglindungin aku termasuk barusan, aku selalu bertanya-tanya apakah aku pantes ngedapetin ini semua dari kamu. Itu kenapa aku pengen kamu berhenti. Aku nggak bisa menawarkan apapun sebagai ganti kebaikanmu.”

“Yaya…” aku akhirnya berujar setelah dia sepertinya benar-benar telah menuntaskan ucapannya. “Selain jadi complicated, kamu jadi kalkulatif ya. Di masa lalu kita nggak pernah menghitung. Kita selalu ikhlas melindungi mimpi satu sama lain tanpa berpikir siapa yang berbuat lebih banyak. Sampai sekarang aku pun nggak pernah ngitung.” Terkadang aku ingin menjawabnya dengan dingin tetapi bagaimana pun, dia adalah Raya, seseorang yang kutahu tidak pernah sedikit pun berniat menyakitiku. Maka seperti biasa ketika aku tidak ingin benar-benar membahas sesuatu, aku melempar candaan. “Jadi kamu juga jangan berhitung. Kasian para akuntan kamu ambil kerjaannya kalau kamu juga suka ngitung.”
***

(Raya’s POV)

“Saya yakin nih banyak di antara penonton yang bawain permen buat penulis kita selanjutnya. Ngaku aja,” sang moderator melempar lawakan ketika mempersilakan Ardhana naik ke panggung.

“Mas Ardhana beneran nggak pernah membagi permen brand itu ke siapapun ya?” moderator acara ini menjabat tanganku sembari mempertanyakan pertanyaan aneh ini.

“Hmmmm. Mungkin kalau seseorang itu penting banget buat saya, saya mau ngasihin. Berarti semua yang ada di ruangan ini harus dapet ya. Kalian kan penting banget, pembaca buku saya.”

Tiba-tiba gedung auditorium menjadi riuh sebab tersihir ucapan Ardhana. Ardhana pun tertawa lepas seperti menyadari ucapannya sangat cheesy. Aku yang duduk di kursi barisan depan menunggu moderator memanggilku dapat mendengar elu-eluan berharap Ardhana benar-benar akan tertarik pada mereka. Girls, come on. Don’t be a fool. Ardhana loves to meaninglessly joke around.

“Penulis selanjutnya, saya nggak tau kesukaannya apa. Ada yang tahu apa yang disukai Raya Gauri?”

Aku mendengar beberapa orang berdiskusi. Ayolah, aku bukan penulis terkenal seperti Ardhana. Tidak akan ada yang tahu jawabannya.

“Boleh saya tebak?” suara yang tiba-tiba kudengar yang juga memecahkan diskusi kecil di kursi penonton. Aku mendongak sebab tahu suara ini tidak seharusnya berbicara apapun sekarang.

“Nebak aja ya, Mbak Raya suka kue klepon? Tolong penggemar Mbak Raya bawain klepon ya kapan-kapan.” Ardhana berbicara ringan. Sang moderator mempertanyakan kebenaran hal tersebut kepadaku. Aku sedang berpikir keras untuk mengangguk atau menggeleng saat Ardhana tiba-tiba berujar.

“Saya becanda. Kaya nggak tau aja saya suka becanda. Maaf ya Mbak Raya saya sok tahu,” sambung Ardhana dengan entengnya.

Gelak tawa memenuhi seisi ruangan. Ardhana kembali bercanda—sisi humorisnya selalu membuat fansnya makin menyukainya. Hanya aku yang tahu bahwa dia tidak sedang bercanda.
***

(Ardhan’s POV)

“Memahami perempuan adalah salah pekerjaan tersulit. Di tengah kenyataan itu, kamu adalah perempuan yang paling aku pahami.” Moderator membacakan penggalan puisiku di buku “Perempuan”. “Mas Ardhana, buku ini bikin saya yang laki-laki aja baper lho,” ucapan yang disambut tawa riuh para peserta seminar. “Pasti Mas Ardhana bosen ditanya soal inspirasi tapi buku ini bener-bener bikin kita pengen tahu, siapa sih inspirasinya?”

Aku berpikir sejenak kemudian menahan senyum. Aku selalu memikirkan candaan yang harus kulempar saat aku tidak ingin menjawab. Benar kata Raya, saat aku tidak ingin menjawab, aku sungguh-sungguh tidak ingin menjawab. Tetapi menjadi seorang penulis yang kerap berhadapan dengan publik, aku tidak bisa memaksa semua orang memahami ketidakinginanku menjawab seperti yang dilakukan Raya. Karenanya, membuat joke menjadi salah satu skill yang sangat berguna dalam hidupku kini.

“Berhubung orangnya ada di ruangan ini, saya harus jujur kali ya,” ucapanku yang disambut sorak-sorai yang bergemuruh. Meski tidak sedang menatapnya, aku bisa merasakan Raya tajam menatapku. Dia seolah tengah memohonku menghentikan diri dari mengucapkan sesuatu yang akan menyulitkan posisinya. Aku hanya tersenyum dalam hati melihat para hadirin menatapku serius, menahan napas menunggu kelanjutan ucapanku. “Inspirasi saya adalah para pembaca buku saya, orang-orang yang memberikan kebahagiaan dalam hidup saya. Terima kasih semuanya sudah menjadi inspirasi saya,” ruangan kembali bergemuruh.

“Tapi pernah nggak sih cowok-cowok di sini merasa sangat sulit memahami perempuan? Merasa bahkan ketika kita sangat mengenalnya, kita masih tidak mengenalnya. Merasa demikian memahaminya tetapi kemudian tersadar barangkali kita ternyata tidak memahaminya?” aku berujar serius ketika tawa penonton sudah mereda. “Ketika kalian bertemu perempuan seperti itu, kalian akan tahu, di dunia ini ada seorang perempuan yang sangat ingin kalian pahami meski itu sulit….” Aku menunda melanjutkan kalimatku. “…sebab dia teramat penting. Itulah yang mendasari saya menulis buku ini.” Pungkasku yang disambut tepuk tangan penonton. Aku tak ingin menoleh meski Raya sedang menoleh ke arahku. Kamu tahu bukan jika aku tidak ingin menjawab, aku tidak akan menjawab. Jadi tak usah kamu ikut bertanya mengenai inspirasi buku ini. Kini aku tidak tidak memiliki perasaan lebih kepada tokoh inspirasi buku ini jadi tak usah kamu bertanya.
----
(to be continued)

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE