-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

2 Sept 2020

KAWI

  • September 02, 2020
  • by Nur Imroatun Sholihat
PART 12: MY HEART NEVER CHANGE
source: tumblr.com
(Raya’s POV)

Aku baru saja selesai meeting konsep buku salah satu penulis baru yang akan diorbitkan oleh penerbitan tempatku bekerja ketika sebuah pesan muncul di layarku. Panitia acara lustrum mengirimkan tautan untuk mengunduh foto-foto bedah buku yang diselenggarakan di lustrum ke-12 sekolah kami. Aku membuka tautan tersebut untuk kemudian terseret begitu saja dalam ingatan tentang hari itu, hari di mana aku kembali berbicara dengan Ardhana.


Seperti yang Ardhana katakan: "Kembali ke tempat lama, hatiku tidak berubah". Hatiku pun ternyata tidak berubah. Bahkan hanya dengan melihat gambar-gambar ini saja, hatiku memanggil rasa yang sama dengan perasaanku hari itu.
***

(Sepuluh hari yang lalu)

Ardhana duduk di kursi panjang di tepi lapangan bola. Orang yang melintas jarang memperhatikan kursi itu karena terhalangi pohon besar. Tetapi mataku otomatis menoleh ke arah itu seperti waktu kami masih SMA. Aku tidak berubah. Dalam banyak hal, aku tidak berubah. Sahabatku itu, jika aku masih berhak mengakuinya sebagai sahabat, terlihat lebih kurus dari terakhir kali aku melihatnya.  Dia memakai topi berwarna merah marun yang menyembunyikan setengah wajahnya. Dia pernah bercerita bahwa kini jarang sekali dia berada di tempat ramai tanpa keinginan untuk bersembunyi. Aku berdiri mematung mempertimbangkan haruskah aku menyapa seseorang yang sedang duduk memandang lapangan yang diisi oleh para alumni yang mulai berdatangan.

Seperti merasa jika seseorang memperhatikannya, seseorang itu menoleh. Seolah memiliki radar keberadaanku, dia melihat ke belakang untuk menemui sepasang mataku. Dia menganggukkan kepalanya kemudian kembali melihat ke depan.

Di antara aku dan Ardhana, jika ingin memperbaiki hubungan, jelas aku yang seharusnya mendekat. Ditambah kepalang dia sudah melihatku, aku memutuskan untuk melangkah ke arah kursi itu.

“Adan, kamu nggak pernah berubah ya. Masih gampang nyariin kamu di sekolah ini,” aku berusaha mencairkan suasana. Kami sudah sama-sama sampai rumah kemarin pagi. Namun, seolah tak saling mengenal, kami baru bertemu di sini, 3 jam sebelum acara yang akan mempertemukan kami.

“Duduk, Ya,” dia menggeser badannya agar aku bisa duduk di sampingnya. Dia masih terpaku menatap ke depan. Sesekali dia tersenyum melihat anak-anak kecil yang dibawa para alumni berlarian di lapangan bola itu. Melihatnya melihat ke arah lain meski aku berada tepat di sampingnya membuat batinku bergemuruh. Betapa jauh jarak kami saat ini ketika Ardhana bahkan tidak ingin melihatku lagi meski dulu aku adalah seseorang yang secara otomatis sepasang matanya cari. Aku mengeratkan kedua tanganku berpikir keras apa yang harus aku lakukan sejam ke depan. Haruskah aku menuju ruang tempat bedah buku saja saat ini?

“Apa kabar, Dan?”

Suara yang akhirnya terucap setelah aku berpikir keras bermenit-menit. Seperti tidak menyangka bahwa aku akan berbicara, pria di sampingku menoleh dengan mata bulatnya yang membulat penuh keterkejutan. Lapisan tipis air menyelubungi lingkaran itu saat bertemu tatapanku. Dia terdiam. Matanya mengabarkan betapa banyak hal yang ingin kami sampaikan tetapi tidak terucapkan.

“Maaf ya, Dan.” Aku menunduk.

“Kamu nggak bikin aku khawatir kenapa harus minta maaf?” akhirnya dia menjawab.

Aku ingat satu-satunya masa Ardhana menyuruhku meminta maaf adalah saat membuatnya khawatir. Lagipula sudah tidak ada lagi alasan dia mengkhawatirkanku bukan?

“Ardhana, saat ini kamu orang yang paling berhak dapet ucapan terima kasih dan maaf dariku. Aku…” suaraku tercekat.

“Ya udah lah, Ya. Udah lewat juga. Aku juga udah nggak merasa gimana-gimana kok.” Kali ini aku tahu, Ardhana sengaja tidak terlihat ingin mengetahui kelanjutan ucapanku sebab aku sudah terlalu sulit berkata-kata. “Lagian bukan cuma kamu kali. Aku juga banyak salah kok ke kamu.” Untuk yang ini, aku juga tahu bahwa Ardhana sedang menghiburku. Dia tertawa dengan mata yang memerah—sebuah kontras yang membuat siapapun bisa menyadari betapa perihnya perasaannya harus berupaya tertawa dengan hati yang berserakan.

“Setelah semua yang terjadi bertahun-tahun belakangan ini, kalau kita bisa mengulang sedari awal, apa kamu masih pengen kita ditakdirkan berteman, Dan?”

Mendengar pertanyaan tak terduga itu, Ardhana setengah tersenyum, setengah berpikir keras beserta mata yang bergerak mencari jawaban. Senyum gugupnya yang dulu kupikir menggemaskan kini tak lagi memiliki efek yang sama. Lengkungan bibirnya itu sekarang menjadi setengah menyebalkan, setengah mengintimidasi.

Aku mengantisipasi jawaban panjangnya sebab dia mengambil waktu sejenak untuk menanggapi pertanyaan yang jawabannya sebenarnya tak memerlukan pemikiran mendalam itu. Kemudian dia mengangguk. Dia mengangguk dengan tenang. Setelah bermenit-menit berlalu, aku menyadari bahwa itulah satu-satunya jawaban yang diberikan.
Ah, Ardhana akan terdiam ketika dia enggan menjelaskan. Ardhana akan sepenuhnya terdiam ketika hatinya lara. Aku tidak lupa akan hal-hal tersebut.


“Kamu nggak perlu terus-terusan menghibur aku kali, Dan,” aku memprotes reaksinya yang terlalu rapi untuk semua kekacauan yang telah terjadi.

Dia menggeleng sembari bangkit dari kursi. “Mau ke toilet nggak? Makeup kamu perlu dibenerin.” Dia melepas topinya kemudian mengulurkannya kepadaku. Aku menjadi teringat bahwa di masa lalu dia melepaskan apa yang melindunginya untuk melindungiku. Dia akan memberikan yang dikenakannya untuk menjagaku. Air mataku mengalir karena dua alasan: aku merasa begitu aman berlindung di balik topi ini seolah tak seorang pun melihat air mataku serta kenyataan bahwa aku begitu ingin diperlakukan tepat seperti bagaimana Ardhana memperlakukanku.

Menyusuri jalanan SMA kami, kembali ke tempat di mana dulu kami menghabiskan masa muda, aku tahu bahwa dalam diriku, sebongkah hatiku tetaplah sama terhadap Ardhana.

Pikiranku melayang mengingat kepingan-kepingan masa lalu yang bertema sama dengan hari ini. Seperti saat kami masih SMP dan aku lupa membawa jaket sementara perjalanan pulang ke rumah cukup membakar kulit kami, dia akan membiarkanku memakai jaketnya. Katanya dia laki-laki. Kulitnya menghitam pun tak apa. Juga saat dia memberikan jaketnya untukku agar aku tidak malu. Aku mengingat betul kejadian itu.
***

“Yaya…” Tanganku Ardhana bergerak cepat mengikatnya jaketnya ke pinggangku. Aku terkejut tetapi sebelum aku sempat menghindar, Ardhana sudah selesai melakukannya.

“Kenapa, Dan?” aku masih terkejut.

“Nggak apa-apa. Yuk pulang,” dia bergegas keluar kelas dan berjalan menuju parkiran sepeda. Dia menoleh ke arahku menyuruhku mempercepat langkah dengan mukanya yang memerah.

“Kamu nggak apa-apa kepanasan sepedaan pulang? Jaketnya kenapa dikasih ke aku?” Aku bergerak melepaskan simpul lengan jaketnya yang melingkari pinggangku ketika Ardhana bergerak cepat menghentikannya.

“Nggak apa-apa. Cuma kepanasan doang,” Dia memastikan bahwa dia tidak menginginkan jaketnya.

 Sesampai di rumah aku melepaskan jaket tersebut dan menyadari bahwa hari itu untuk pertama kalinya aku mengalami menstruasi. Aku pun panik menyadari barangkali di sekolah beberapa siswa melihatnya. Dan tentu saja Ardhana sudah melihatnya.

“Adaaaaan,” aku buru-buru menelponnya.

“Hmmm?” suaranya tenang menjawab.

“Aku malu.” Suaraku mengisyaratkan kepanikan.

“Kenapa malu?” aku seakan bisa melihat kedua alisnya menyatu seperti biasa saat dia kebingungan.

“Rokku hari ini. Ada yang liat nggak selain kamu?” kepanikan tergambar dari suaraku.

“Kayanya nggak sih. Kamu bangun dari kursi, aku langsung lari,“ jawabnya ringan.

“Syukurlah,” aku menghela napas lega. “Tapi Adan, aku malu kamu liat,” ucapku yang membuat seseorang di seberang terdiam beberapa detik seolah berpikir keras hendak berkomentar apa.

“Ya udah aku lupain,” suara yang akhirnya terucap. Terdengar bunyi dia melempar badannya ke tempat tidur.

“Adaaaan aku malu,” aku memukuli diri sendiri saking malunya.

“Aku udah lupa, Yaya, udah lupa. Hari ini ada apa sih? Oh ada pelajaran fisika yang sama-sama kita nggak suka ya,” dia berujar tenang.

Ardhana dan kebiasaannya mengalihkan topik secara ajaib selalu berhasil menenangkanku. Aku pun tersenyum.

Atau saat kami kelas 1 SMA dan kami mengikuti perkemahan di sekolah. Ardhana keluar dari tendanya lalu melihat ke arah tendaku. Dia memberiku isyarat untuk tetap di depan tenda lalu dia bergegas masuk ke tendanya.

“Yaya bawa bantal 2 nggak?”tiba-tiba dia sudah di dekat tenda kelompokku.

“Buat apa?”

“Nih siapa tau punggungmu pegel dan perlu dibantalin.” Dia menyodorkan bantal kecil yang sedari tadi disimpan di belakang punggungnya.

Aku berpikir keras antara menerimanya atau tidak.

“Kamu?”

“Bantalan tas juga bisa,” dia tertawa sembari kembali menyodorkan bantal berwarna merah marun itu lebih dekat.

Ardhana tahu aku sering tidak bisa tidur saat punggungku pegal akibat skoliosis minorku kambuh. Saat begitu, aku akan membantali punggungku agar pegalnya berkurang. Dia di seberang telepon akan bercerita macam-macam sampai aku tertidur.

Pria yang sedang berjalan di sampingku ini telah melepaskan banyak hal untukku. Itulah sebabnya di masa lalu aku berpikir bahwa akulah pusat dunianya. Sampai kemudian aku ditampar oleh kenyataan bahwa Ardhana memang bersikap baik terhadap semua orang dan seseorang yang berada hatinya bukanlah aku.
***

“Mbak Raya, Mas Ardhana, kami yang waktu itu email waktu wawancara untuk konten youtube,” seusai acara bedah buku, dua orang menghampiri kami. Majalah PENA memang menghubungi kami untuk wawancara.

“Wah PENA sekarang keren ngelola youtube channel sekolah juga.” Ardhana mengangguk kemudian tersenyum sembari mengacungkan jempol. Aku menirukannya memberikan acungan jempol.

“Sebentar ya Mas, Mbak. Kita coba test dulu kameranya,” sang reporter menghampiri kameraman untuk memastikan kesiapan mereka memulai sesi tanya jawab.

“Ya, nyender, Ya,” Ardhana mempraktikkan duduk bersandar ke sandaran kursi. Aku yang sedang duduk dengan badan yang condong ke depan sedari tadi kemudian menirukan cara duduknya.

“Aku mau nanya dari entah kapan tapi nggak pernah punya kesempatan buat nanyain. Punggung kamu masih sering pegel, Ya?” aku yang masih memperhatikan sang kameraman memasang kamera mau tidak mau berpaling. Tidak seorang pun mengetahui lebih banyak mengenai perkara punggungku ini selain Ardhana. Aku mengangguk pelan.

Ardhana meraih bantal sofa yang terletak di sofa di sudut sekretariat PENA setelah meminta izin kepada sang pewawancara. Dia menaruhnya di sandaran kursiku.

“Hari ini kamu udah duduk lama banget.” Dia tahu jika aku duduk terlalu lama, punggungku sering merasa pegal. Dia memegangi bantal sofa memberi kode untukku tidak bersandar sejenak kemudian dia membenarkan posisi bantalan yang membatasiku dengan sandaran kursi itu.
***

(Ardhana’s POV)

Posisi duduknya kini terlihat lebih nyaman dengan bantal sofa yang menyangga punggungnya. Raya tersenyum dalam. Bersamanya sejak kecil, aku menyadari bahwa senyum perempuan ini memiliki kedalaman yang berbeda-beda tergantung bagaimana perasaannya saat itu. Senyumnya kali ini sangat dalam seolah sudut terdalam hatinya pun merasakan kegembiraan. Ada kehangatan yang begitu menenangkan melihatnya tersenyum demikian.

Aku mengingat sebuah momen yang seharusnya dulu membuatku jatuh cinta tetapi aku gagal menyadarinya.

“Jadi kamu punya skoliosis minor?” Aku menatapnya mencari konfirmasi atas bunyi pesannya yang membuatku langsung berlari ke rumahnya ini. Dia sedang berbaring di lantai—sesuatu yang menurutnya meringankan rasa pegalnya.

Dia mengangguk. Sudah lama Raya mengeluhkan punggungnya yang mudah merasa pegal tetapi baru setelah masuk SMA ini dia memutuskan untuk memeriksakannya ke dokter. Dia bangkit dari posisi berbaringnya lalu duduk di sebelahku yang bersandar pada tembok ruang tamu rumahnya.

“Tulang punggungku ternyata nggak lurus tau, Dan,” Raya tersenyum. Dia menyelonjorkan kakinya kemudian menatap ujung kuku kakinya seolah tidak tertarik untuk melihatku. Aku menyadari senyumnya bertahan sebentar saja. Bagaimana pun hatinya pasti tidak baik-baik saja.

“Padahal aku kalau duduk posisinya bener kok. Aku juga selalu pakai tas punggung, isinya juga nggak berat,” Raya berbicara lirih hampir tak terdengar. “kan kalau aku bawa buku berat selalu kamu minta,” Raya tertawa sedih. Kedua tangannya memeluk lututnya. Wajahnya yang bersandar di lututnya itu kini menghadap ke arahku.

Pada saat itu aku menyadari, aku sangat menyayangi perempuan ini. Melihatnya berada di titik rendah berkali-kali menyadarkanku bahwa aku mau menemaninya menghadapi hari-hari yang sulit. Tanganku bergerak perlahan mengusap-usap punggungnya. Aku ingin dia tidak merasa sedih memikirkan hasil pemeriksaan dokter yang tidak siap diterimanya itu.

“Kalau kamu pegel bilang. Nanti aku pijetin.” Aku memukuli punggungnya dengan pukulan-pukulan kecil. Dia tersenyum sembari mencoba menghindari pukulanku. Kini tangannya justru ganti memukuli punggungku.

“Aku tau kamu yang lebih pegel, Dan. Sering begadang untuk ngirim tulisan meski sering nggak menang,” dia tersenyum meledek. Air mata menggantung di sudut matanya. Pasti berat  mengetahui kenyataan semacam itu di usia semuda ini. “Sering harus dengerin aku cerita sampe aku ketiduran. Sering harus bawain buku yang dipinjem di perpustakaan termasuk bukuku. Kamu cuma nggak pernah bilang,” Kepalan tangannya masih memukuli pungggungku.

Aku bersyukur Raya sedang menatap punggungku. Aku tidak ingin dia melihat ekspresiku saat ini. Aku menyadari bahwa ada seseorang yang bahkan bisa mengerti apapun tanpa pernah kuberi tahu. Dia akan diam-diam melakukan sesuatu untuk mengatasi beban yang tidak pernah kuceritakan. Raya mengerti tanpa perlu aku mengucapkan apapun—seolah pikiranku tembus pandang untuknya.

Aku membalik badanku mendengar suara isakan lirih. Raya menunduk dengan kedua punggung tangannya menutupi matanya seolah menggalangi aliran yang akan terbentuk. Aku tidak bisa melakukan apapun untuk menyembuhkan skoliosisnya tetapi aku berjanji akan memperhatikan punggungnya lebih serius mulai saat itu.
***

"Di friendship challenge ini kami akan menguji seberapa Mas Ardhana dan Mbak Raya saling mengenal selama SMA. Seberapa yakin nih Mas Ardhan dan Mbak Raya akan bisa menyelesaikan tantangan ini?”

“Sangat yakin,” Ardhana spontan saja berujar.

Pertanyaan yang diajukan begitu saja menyeret kami ke masa SMA kami. Mengingat pelajaran favorit dan tidak favorit, jajan kantin favorit, guru favorit, dan kenangan lainnya. Kami tertawa begitu sering selama wawancara. Kenangan ini ternyata terasa begitu hangat hingga jawaban apapun yang kami lontarkan akan membuat kami tersenyum atau tertawa, seolah jarak yang terbentang selama bertahun-tahun itu tidak pernah ada.

“Terakhir, apa nih yang ingin disampaikan satu sama lain?”

“Hmmmm. Terima kasih Ardhana sudah menjadi sahabat yang baik,” jawabku yang sebenarnya masih belum berhenti tersenyum sebab pertanyaan sebelumnya.

Aku melihat pria di sampingku mengangguk.

“Kalau Mas Ardhana?” sang reporter berganti melihat ke arah Ardhana.

Dia terlihat berpikir, menimbang-nimbang kalimat—kebiasaan yang entah sejak kapan dimilikinya. Tidak lagi ada Ardhana yang spontan menjawab seperti sebelumnya.

“Raya, bahkan jika aku bisa mengulang sedari awal, aku masih ingin terlahir sebagai sahabatmu,”

Aku menoleh tanpa sempat menahan diri. Mataku refleks berkedip cepat berhadapan dengan matanya yang berkedip lambat. Dia menoleh kemudian tersenyum. Itu saja. 
---
(to be continued)

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE