-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

25 Sept 2020

MY LIFE AS A REPORTER: MEETING FEBRI DIANSYAH

  • September 25, 2020
  • by Nur Imroatun Sholihat

Mendengar kabar bahwa Mas Febri Diansyah memutuskan mundur dari KPK adalah bukan hal yang baik untuk membuka pagi. Sebuah pesan whatsapp dari mantan Pemred Auditoria menyapa saya, “Febri Diansyah mundur, im” yang sontak membuat saya membeku beberapa detik. Saya tidak akan membicarakan pandangan saya akan mundurnya sosok jubir komisi antirasuah itu sebab sudah banyak yang membahasnya dan secara prinsip, saya setuju dengan opini yang beredar. It’s so heartbreaking that I don’t want to hear or talk about it actually.


Saya akan menceritakan bagaimana kesan saya terhadap Mas Febri dalam sebuah perjumpaan sore nan tidak berlangsung lama tetapi membekas begitu dalam di pikiran saya. Kala itu, demikian pekat kesan yang mengendap di hati sampai saya memutuskan menulis sebuah cerita fiksi yang terinsipirasi dari tokoh sepertinya dengan judul Pray. (Saya hampir tidak pernah menceritakan inspirasi cerpen yang saya buat tetapi kali ini saya akan berterus terang). Berikut sedikit cuplikan dari cerpen tersebut:

Mewawancarai Mas Febri Diansyah


“Mas Praya...” aku berlari kecil mengejarnya. Dia menoleh ke arahku yang berdiri di belakangnya. Tubuhnya yang semampai itu berbalik bersama kening yang berkerut.

 

“Saya pernah ikut mewawancarai Mas Praya 4 tahun yang lalu waktu Mas jadi pembicara di acara kampus,” aku menghalau segenap kegugupan. Dia masih mengerutkan kening seolah tak memahami arah pembicaraanku. Kukeluarkan selembar kertas kecil dengan nama majalah tempatku bekerja di sudut kanannya. “Semoga berkenan menjadi teman, Mas,” ucapku hampir tak terdengar.

 

Dia merapikan gulungan lengan bajunya sehingga saat ini dia terlihat lebih santai ketimbang saat acara siang tadi.

 

“Teman nggak kenalan pakai kartu nama biasanya,” dia menahan tawa. Ekspresi canggung itu selalu saja menarik.

 

(Now you know how impressed I was, right? I know I know you’re gonna say that I’m cheesy but pardon me. I just can’t help it. Hihi).

Little did I know, bahkan dengan persiapan yang serius,
saya masih kesulitan berbicara

Yang ingin saya katakan adalah: Beliau bisa membekukan orang yang berada di dekatnya. Bukan hanya karena ketenangan yang jelas terlukis dari setiap lekuk dirinya—sorot mata, pijar semangat, gerak tangan, cara bicara, tetapi juga dengan idealismenya yang turut menjalar ke dalam pikiran kita yang ada di hadapannya. (Kebencian terhadap korupsi terpampang jelas bahkan tatkala Beliau tidak sedang mengucapkan kalimat yang isinya demikian). Bagaimana mungkin seseorang bisa terlihat sangat tenang tetapi tetap tegas, lembut tetapi membara, dan elegan tetapi berkobar-kobar? Sampai saat ini, saya masih mengingat hari bertemu dengan Mas Febri sebagai salah satu hari tersulit saya sebagai seorang reporter. Pikiran membeku begitu saja seolah saya yang sedang bertugas mewawancarai dilarang mengajukan pertanyaan. Pria kelahiran Padang itu begitu kalem dan berkebalikan dari yang semestinya, saya kesulitan memikirkan kalimat yang harus saya utarakan. Saya sudah bertemu dengan berbagai macam narasumber tetapi mewawancarai Mas Febri jelas adalah salah satu yang tersukar bahkan saat Beliau begitu baik dalam menjawab. I know again, I might sound sappy but yeah, you have to meet him in person to know the reasons I said those things. The vibe he exudes is just unexplainable that no word, not even a fiction story, could contain the effect that lingered on me after meeting him. (Don’t get me wrong. This story has no romance reference whatsoever. Be sure that this is purely a mere fan reaction over someone she thought is inspiring and rare. Hehe.)

 

Saya ingat sekali pesan Beliau untuk APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintah) saat kami mewawancarainya: "Jangan sampai APIP menjadi tiang pambuek rabah (tiang pembuat rebah)". APIP sudah semestinya menjadi tiang untuk organisasinya. Tiang harus membuat sesuatu tegak berdiri, bukan justru membuatnya tergelepar di tanah. Kala itu, entah mengapa saya bisa membaca nestapa terselubung di sepasang mata Beliau ketika membicarakan pemberantasan korupsi di negeri ini. Sejak saat itu, saya seolah mendapat firasat Mas Febri hanya sedang menunggu waktu untuk mundur dari posisinya. (Now when I think about the hidden storm behind his calm expression, it hurts me so much T.T)

 

Selamat menempuh perjalanan baru, Mas Febri Diansyah. I sincerely wish your contribution to this country remain the same if not more than what it already is, regardless of the medium.

---

Semua foto di atas diambil oleh Yohana Putri, fotografer Auditoria

 

Read also: 

My Auditorial Debut

Bertemu Joko Pinurbo 

Bertemu Crystal Widjaja

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE