MAAFKAN SAYA, MENULIS
- October 01, 2020
- by Nur Imroatun Sholihat
image source: theodisseyonline.com |
Saya baru saja mengikuti kompetisi menulis opini yang dibuka untuk
seluruh APIP di Indonesia. Artikel berjudul “APIP dan Tata Kelola Data” saya
kirimkan untuk mengikuti kompetisi yang diadakan dalam rangka HUT ke-54 Itjen
Kemenkeu itu. Saya mengerjakan artikel itu dengan cukup ngebut—sekitar
setengah hari saja, itupun di hari terakhir (dasar deadliner!).
Lalu saya memaksakan diri mengirimkannya agar bisa memindahkan perhatian saya
kepada pekerjaan. (You know the constant dissatisfaction of what you write
and think that you might be able to make it better when actually even after
countless times of re-reading, only insignificant minor revisions happened?
Hihi. That’s why for many cases I chose to send them before the greedy self of
mine overtake me).
Sesuatu yang asing terjadi kepada saya setelah hari itu: saya terbebani
oleh ekspektasi kemenangan. Saya yang selama ini memiliki cinta tanpa syarat
kepada menulis tiba-tiba menjadi khawatir pada hasil kompetisi tersebut.
Jantung saya berdebar-debar di hari-hari penjurian seakan memikirkannya
terus-menerus akan mengubah hasil. Saya mengantisipasi kabar baik seolah
kekalahan adalah hal yang tidak lumrah bagi saya (yang tentu saja tidak. Saya
berteman dengan kekalahan dan kegagalan dari waktu ke waktu).
Lalu saya merenungi perubahan sikap saya ini. Di mana iim yang berkata
menulis adalah sesuatu yang disayanginya tanpa alasan? Bukan uang, bukan
kemenangan yang membuatmu menulis—begitu bukan janji iim di masa kecil? Ke mana
perginya iim yang tidak peduli akan hasil asal sudah berusaha menulis dengan
sebaik-baiknya?
Bagian diri saya yang lain membela: But it’s hard to put down
the expectation when you pour your heart and soul into something. It’s
difficult to let go the idea of expecting something when you put a lot of
effort into that.
Iim, mari mengunjungi masa lalu agar kamu teringat kembali: seharusnya
bukan begini sikapmu terhadap menulis. Kamu ingat hari di mana SMP tempatmu
menuntut ilmu pertama kali memberimu kesempatan mewakili sekolah di sebuah
lomba menulis? Di hari itu, kebahagiaanmu membuncah. Iim, di masa itu, begitu
mengapresiasi kesempatan menulis yang menghampiri. Apa kamu peduli kesuksesan
atau kegagalan kala itu? Tidak. Kamu hanya menuangkan seluruh perasaan yang
begitu besar dalam lembar-lembar kertas.
Kamu ingat kamu menyisihkan uang jajan untuk biaya cetak tulisan,
amplop, perangko, dll saat SMA agar bisa mengirim tulisan ke panitia lomba atau
redaksi majalah/koran? Kamu ingat kamu yang masih berseragam sekolah berlarian
di bawah hujan saat hendak mengirim tulisan ke kantor pos dan kemudian terpaksa
berteduh karena hujan melebat sembari memeluk erat tulisanmu? Kamu ingat kamu
bangun pukul 3 pagi hampir setiap hari agar punya waktu menulis? Sebab kamu
harus tetap bertanggung jawab pada orang tuamu yang bersusah payah
menyekolahkanmu di sekolah terbaik di Purworejo. Kamu rela memberikan waktu dan
tenaga untuk menulis yang saat itu tak jelas nasibnya. Gadis kecil itu
mencintai menulis sepenuh jiwa raga tidak peduli berapa banyak pun kekalahan dan
kegagalan memeluknya. Perempuan itu tidak pernah khawatir apabila tulisannya
tidak dimuat atau tidak menang asalkan dia tetap bisa menulis.
(Bahkan menuliskan kisah ini membuat saya menangis meski saat itu saya
menjalaninya dengan suka cita. Betapa berharganya memiliki sesuatu yang
membuatmu mau bersusah payah sebanyak itu tanpa syarat apapun.)
Jadi maafkan saya, menulis. Saya bukan lagi gadis kecil yang tidak
kalkulatif. Maafkan saya yang cemas saat menunggu pengumuman pemenang. Maafkan
saya yang kini mudah terremukkan padahal kesulitan-kesulitan yang saya hadapi
kini tidaklah sebanding dengan apa-apa yang iim kecil hadapi.
Dalam sebagian besar hal, perasaan saya terhadap menulis tetap sama. Saya tetaplah perempuan yang ingin terus bergandengan tangan dengan menulis seumur hidup. Saya masih perempuan yang berharap tidak menjadikan menulis pekerjaan utama karena berhasrat menjalani kegiatan itu dengan hati yang ringan. Saya ajeg menjadi iim yang akan terus berusaha menjadi penulis yang pantas untuk digemari setidaknya oleh dirinya sendiri. Saya masih iim yang akan bekerja keras untuk menghasilkan tulisan-tulisan yang baik meski hanya memiliki 1 pembaca pun.
Saya ingin menjaga hal-hal itu meski perjalanan saya di dunia menulis
tidak berjalan sesuai harapan. Saya bermimpi mengembalikan diri saya yang lalu
bersama ketulusannya terhadap menulis. Saya berangan selalu memandang menulis
dengan mata berbinar-binar terlepas apapun hasilnya. Saya ingin menjadi iim
yang kesempatan menulis saja sudah membuatnya bersorak. Momen kompetisi menulis
ini menjadi titik saya mengingatkan diri saya akan hal-hal tersebut.
(Update 21 September 2020: pemenang kompetisi tersebut
akhirnya diumumkan. Alhamdulillah. Saya mendapat peringkat ketiga. Jantung saya
berdegup begitu cepat saat ini.)
(Update 1 Oktober 2020: sertifikat pemenang kompetisi
akhirnya diberikan. Saya akan mengunggah tulisan ini ke blog untuk mengingatkan
diri saya akan motivasi awal saya menulis. Di masa depan, kemenangan dan
kekalahan seharusnya tidak menjadi penentu perasaanmu terhadap menulis ya, im.)
----
Sorry that this post sounds unnecessarily long and sad. I’m helplessly
sentimental to writing.
Frasa ‘sekolah terbaik di Purworejo’ akan lebih lekat di bayangan pembaca bila ditambah deskripsi tentang jarak dari rumah. Misal dengan ‘yang jauhnya tuh, duh mengenangnya pun aku keringatan karena jauhnya’. Tabik.
ReplyDeleteWaktu itu saya sudah ngekos di dekat sekolah, Pak. (duh makin ketahuan kalau rumahnya jauh dr pusat keramaian. hehe). Terima kasih sudah berkunjung :)
Delete