-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

28 Mar 2021

CAN I STILL BE HAPPY?

  • March 28, 2021
  • by Nur Imroatun Sholihat
source: favim.com

(For Bahasa version, please scroll down. | Versi bahasa Indonesia tersedia di bawah.)


(I must say that the title sounds overly dramatic but bear with me for a while.)


Some days ago, a close friend asked me a question which left me taken aback. There was buried desperation in her voice and eyes as if life has played a wrongful unfair game with her. All the scars on her which were invisible all the time became vividly apparent and now I can’t unsee them. 

 

“Can I still be happy?” her voice was soft but the resonance it had in me was deafening. While this query might appear unnecessarily hyperbolic, as someone who often emotionlessly stared at life, I can tell that she genuinely meant it. There were moments when our emotions are scattered all over places and we couldn’t even collect them. Not that we undervalued our blessings (as for sure we're grateful over so many things) but our hearts ached abundantly so sometimes we thought there is no bliss left for us. That feeling per se is difficult to be explained to anyone especially those who don’t understand that grief can reach that extent. However, trust me, that feeling does exist and is completely valid.

 

Exhaled a deep breath, I provided silence as my only response. As a similar question repeatedly haunted me from time to time, it was troublesome for me to come up with an answer. I didn’t even know what to say as I myself was struggling on the same battlefield. While we both seemed like strong women, the unapparent wounds were all over our bodies. Most of the time, our composure often tricks people to think that we are happy and cheerful each and every time. However, on contrary, we lost both the game and our touch to reality countlessly. We are the kind of people who seem confident and optimistic but silently weep when there is none around. 

 

“Do I deserve love after such a failure?” her second question was something that I am even too fatigued to come up with. In the past, my mind constantly wondered, “Do love stories belong to anyone but me?” until I got tired and now I simply do not question it anymore. Been harshly beaten up by reality, I can relate to her stormy inner state on so many levels. Sometimes I even wanted to totally give up thinking about it because I don’t have the energy to be bothered over and over again by something I am powerless about. 

 

(We called our life “Run a marathon with a sprinting speed”. Of course, it is tiring but what can we do when the train of trials wouldn’t even spare a thought for us. Thus, the unknown future is especially scary. We don’t know whether what the world has in store for us would be heart-warming or instead, heart-wrenching.) 

 

It is easy for women to feel that way especially when they do not conform with what society dictates about how a woman’s life should be. Indeed our culture places sacred value on being paired up particularly for women. Truth is, I kept everybody in the dark that it is so disheartening to be stuck in the same place with no sign of answer after years of waiting. I kept a secret that instead of uninterested in it, every year, it always be the utmost wish that has never been crossed out of the list.

 

So more than anyone, I can relate with her while at the same time, could only offer her a broken smile. I am too used to just smile away so it doesn’t feel forced anymore. In the end, I am just good at putting up a tough front. I will just cry in private and smile in public until it doesn’t feel painful any longer. I will just let everything goes their way until my heart is indifferent towards them. I will pray as if I am the poorest beggar until it doesn’t feel devastating to be in such a state. I will let anything hurt me while quietly-absolutely-blindly believe that I can still be happy.

 

So you too, I believe, still can be happy. You have to know that when I answered “Yes. You can still be happy.” while smiling, I utterly meant it. I believe in it :)


-------------------------------------------


MASIH BISAKAH AKU BAHAGIA?


(Saya harus mengatakan bahwa judul di atas terdengar terlampau dramatis tetapi bertahanlah sejenak.)

 

Beberapa hari yang lalu, seorang sahabat karib mengajukan pertanyaan yang membuat saya tersentak. Ada keputusasaan yang terpendam dalam suara dan matanya seolah hidup telah menyodorkan permainan yang sungguh tidak adil dengannya. Semua goresan luka di dirinya yang tidak tampak selama ini menjadi sangat jelas dan kini saya tidak bisa tidak melihatnya. 

 

“Masih bisakah aku merasa bahagia?” suaranya lirih tapi resonansinya memekakkan telinga saya. Meskipun pertanyaan ini mungkin tampak sebagai hiperbola yang tidak perlu, sebagai seseorang yang sering menatap kehidupan dengan nanar, saya bisa mengatakan bahwa pertanyaannya sungguh-sungguh. Ada masa-masa ketika perasaan berserakan dan kami kesulitan menatanya kembali. Bukan bermaksud meremehkan anugerah dalam hidup (sebab tentu kami bersyukur atas banyak hal) tetapi batin kerapkali sangat nelangsa hingga terkadang mengira tidak ada kebahagiaan yang tersisa. Perasaan itu sendiri sulit dijelaskan kepada siapa pun terutama yang tidak memahami bahwa duka bisa sedalam itu. Namun, percayalah, perasaan itu memang ada dan sepenuhnya nyata.

 

Menghela napas dalam-dalam, saya membiarkan keheningan menjadi satu-satunya tanggapan. Karena pertanyaan serupa kerap menghantui saya dari waktu ke waktu, memberikan jawaban menjadi luar biasa sulitnya. Saya bahkan tidak tahu harus berkata apa karena saya juga berjuang di medan perang yang sama. Meskipun kami berdua tampak seperti perempuan yang kuat, luka yang tak kasatmata memenuhi sekujur tubuh. Seringkali, ketenangan kami menipu mata yang memandang untuk berpikir bahwa kami bahagia dan ceria setiap saat. Namun, sebaliknya, tak terhitung jumlahnya kami terkapar lemah menghadapi kehidupan. Kami adalah orang-orang yang terlihat percaya diri dan optimistis tetapi diam-diam menangis ketika tiada orang di sekitar.

 

"Apakah aku pantas mendapatkan cinta setelah kegagalan semacam ini?" pertanyaan keduanya adalah sesuatu yang saya bahkan terlalu lelah untuk memikirkannya. Di masa lalu, batin terus-menerus penasaran, "Apakah kisah cinta adalah milik siapa pun kecuali aku?" sampai saya lelah dan tidak mempertanyakannya lagi. Dipukuli dengan kejam oleh kenyataan, saya dapat memahami batinnya yang berbadai. Kadangkala saya bahkan ingin menyerah tak lagi memikirkannya karena tidak memiliki energi untuk terus terusik oleh sesuatu yang saya tidak berdaya terhadapnya. 

 

(Kami menyebut hidup kami "Berlari maraton dengan kecepatan sprint". Tentu saja, itu melelahkan tetapi apa yang dapat kami lakukan ketika rentetan cobaan bahkan tidak berbelas kasihan pada kami. Bagi kami, masa depan yang tidak jelas itu menakutkan. Kita tidak tahu apakah yang dunia sediakan untuk kami akan melegakan atau justru menyayat hati.) 

 

Perempuan mudah merasa demikian apalagi jika gagal memenuhi ekspektasi sosial mengenai kehidupan kaum hawa yang semestinya. Budaya kita menempatkan nilai sakral dalam berpasangan terutama bagi perempuan. Sejatinya, saya menyembunyikan dari semua orang bahwa berdiam di tempat yang sama tanpa jawaban setelah bertahun-tahun menunggu itu teramat mengecewakan. Saya menyimpan rahasia bahwa alih-alih tidak tertarik tentang perihal tersebut, setiap tahun, itu selalu menjadi keinginan tertinggi yang tidak kunjung terwujud.

 

Jadi lebih dari siapa pun, saya bisa memahami perasaannya sementara pada saat yang sama, hanya bisa menawarkan senyuman retak. Saya terlalu terbiasa tersenyum sampai bisa melakukannya tanpa terpaksa lagi. Pada akhirnya, saya hanyalah seseorang yang begitu lihai berpura-pura menjadi kuat. Saya akan menangis ketika sendiri dan tersenyum di depan umum sampai tidak merasa getir lagi. Saya membiarkan semuanya berjalan apa adanya sampai hati saya tak acuh apapun yang terjadi. Saya akan berdoa seakan seorang pengemis paling miskin sampai tidak lagi merasa pilu berada dalam keadaan demikian. Saya akan membiarkan apapun melukai sementara dalam diam sungguh-sungguh percaya bahwa saya masih bisa bahagia.

 

Jadi kamu juga, saya yakin, masih bisa merasakan bahagia. Ketika saya menjawab “Ya. Kamu masih bisa bahagia.” sambil tersenyum, saya sedang bersungguh-sungguh. Saya sungguh meyakini hal itu :)


 

 


0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE