source: pixabay.com |
Part 1: Pada Akhirnya Hati Kita Semua Retak dan Patah
Dari ruang tunggu yang disediakan panitia, aku bisa melihat orang-orang mulai berdatangan sembari menenteng buku ketigaku di tangan mereka. Aku masih saja segembira ini setiap kali melihat hasil karyaku berada di genggaman seseorang meski telah bertahun-tahun menjadi penulis. Seolah turut menyangga hatiku, mereka yang menggenggam bukuku adalah kekuatanku untuk menelusuri malam-malam panjang merajut huruf dan kata. Sembari menanti acara dimulai, aku melanjutkan tulisan untuk buku selanjutnya sebelum akhirnya ada sesuatu yang membuat mataku beralih dari layar. Langkah ragu seorang perempuan dengan kamera menggantung di lehernya memasuki ruangan menghentikan jari-jariku dari lari-lari kecilnya di atas keyboard. Aku menarik napas panjang di bawah senyum yang mengembang. Pikiranku memang selalu riuh tetapi tidak pernah segaduh ini. Saat ini, seseorang yang suaranya mengheningkan semua suara lain di telingaku muncul membawa kembali gulungan ombak perasaaan yang tidak aku kenali sebelumnya. Seseorang seharusnya mengabariku bahwa bahkan jika seluruh perasaan dalam puisi dan cerita yang kutuliskan digabungkan, tak akan mampu menjelaskan debar jantung yang dia tinggalkan seusai perjumpaan perdana kami. Begitu juga kini, ketika kali kedua melihatnya, seluruh kata-kata yang hendak kurangkai mendadak melarikan diri.
source: wallpaperup.com |
Aku tidak bisa mempercayai sesuatu yang terjadi pada diriku saat
ini. Seseorang yang empat tahun lalu pertama kali membekukan hatiku menjadi
salah seseorang yang berdiri di belakang pejabat yang sedang menggelar
konferensi pers yang sedang kuikuti siang ini. Aku menggenggam kartu pers yang
menggantung di leherku sembari menunduk khawatir tatapannya membuatku lebih
beku lagi. Bertahun-tahun belakangan, perasaanku kepadanya seakan beku tetapi
masih tetap tinggal. Seolah sebongkah es yang dilempar ke perapian, rasa yang
lama terbekukan di sudut hati ini mencair begitu saja.
PRAY
Nur Imroatun Sholihat
April 14, 2019
source: thoughtcatalog.com |
Dan hari-hari pun berjalan dengan lumrah bersama ketakjuban
bagaimana bisa aku menerima apapun yang kau lakukan dengan biasa saja. Aku yakin
kau menanggapi perjumpaan-perjumpaan tak sengaja kita sebagai hal yang biasa. Aku
tahu engkau menanggapi cerita-cerita kecil di antara kita dengan biasa saja. Aku,
lebih dari siapapun, mengetahui betapa biasanya segala sesuatu di tengah-tengah kita.
BIASA SAJA (2)
Nur Imroatun Sholihat
March 16, 2019
PART 7: ABERRANT DECODING
source: trackblasters.com |
“Madhaaa.”
Kepala Naura muncul dari balik pintu. Sosok yang dicarinya tidak terlihat ada
di tempat duduknya biasa meski laptop hitamnya berada di meja. Naura melangkah
perlahan mendekat. Madha tertidur di 3 kursi yang dirapatkan. Badannya
meringkuk agar deretan kursi yang tidak terlalu panjang itu bisa memuat dirinya
yang tertidur lelap. Naura berhenti di dekat kursi kemudian melirik layar
laptop yang masih menyala. Dia baru saja
tertidur, gumamnya. Naura pun kembali ke studio radio dan menunggu sampai
waktu siarannya tiba. Di tanggal 22 Desember 2011 itu, surat-surat yang akan
dibacanya bertema ibu. Semula untuk mengurangi resahnya dia ingin mengganggu
Madha yang biasanya sedang coding tetapi
hari itu sahabatnya itu justru tertidur.
LIMA KISAH
Nur Imroatun Sholihat
February 18, 2019