-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

About me

Hello

I'mNur Imroatun Sholihat

IT Auditor and Storyteller

So I heard you are curious about IT and/or auditing. I'm your go-to buddy in this exciting journey. My typical professional life consists of performing (and studying!) IT audit and managing the award-winning magazine, Auditoria. Armed with a Master's in Digital Transformation from UNSW Sydney, I'm currently wearing multiple hats—ambassador at IIA Indonesia's Young Leader Community, mentor at ISACA Global, Head of Public Relations at MoF-Cybersecurity Community, and trainer at IIA Indonesia. You'll also find me sharing insights on my YouTube channel, speaking at seminars, and crafting content on LinkedIn. Let's connect and dive into the world of IT and auditing together!

Blog

PELAJARAN YANG SAYA DAPATKAN DARI MENGAJAR CIA REVIEW COURSE PART 3

 


Sebuah catatan perjalanan seseorang yang bermimpi menjadi CIA (Certified Internal Auditor) yang kemudian menjadi pengajar training persiapan ujian CIA. What a humbling experience. Alhamdulillah.

 

Bulan Februari 2021 lalu, saya menerima sebuah pesan yang mengubah hari yang berpelangi: IIA Indonesia menawari saya mengajar CIA Review Course Part 3 (P.S.: ujian sertifikasi CIA terdiri atas 3 bagian dan di bagian ketiga terdapat materi information security dan information technology). Saya membaca ulang deretan huruf di layar untuk meyakinkan pesan ini sungguh nyata dan memang ditujukan kepada saya. Sepanjang pengetahuan saya, IIA Indonesia tidak memiliki track record memilih pengajar CIA yang belum cukup matang secara umur maupun pengalaman. Apakah saya sedang bermimpi saja?

 

Untuk kesekian kali juga saya disadarkan ucapan Junghwan di Reply 1988, “Another term for fate is timing”, benar adanya. Melalui sambungan telepon, perwakilan IIA Indonesia menuturkan bahwa mereka saat ini sedang ingin mendobrak stereotype yang ada dengan memilih pengajar yang mewakili para minoritas (prop to IIA Indonesia for their effort for inclusion). Pemilik CIA didominasi laki-laki? Mari memilih pengajar seorang perempuan. Pemegang sertifikasi CIA identik dengan kematangan umur? Bagaimana kalau memasukkan seseorang yang masih muda di jajaran pengajar agar peserta tersemangati bahwa umur bukanlah alasan seseorang tidak bisa meraih sesuatu?

 

“Selain itu, karena Bu Nur memiliki CISA (Certified Information System Auditor).” Lanjut suara di seberang sana. “Muda, perempuan, dan ada di bidang IT audit. Kami berpikir bahwa Bu Nur cocok mengajar materi information security dan information technology.”. Truth is, I got CIA and CISA designations with a perfect timing. There is a sweet reason why I need to wait for years to get them and now I know. Alhamdulillah.

Sore itu saya belajar, menjadi minoritas telah membukakan saya pintu kesempatan. Tentu ada banyak orang yang jauh lebih pantas di luar sana tetapi betapa beruntungnya saya karena merepresentasikan apa yang IIA Indonesia inginkan. Saya juga akhirnya menyadari bahwa segala perjuangan sulit yang saya alami sebagai seorang minoritas di dunia TI telah menjadi atribut yang merupakan gerbang rezeki. Sebuah pengingat untuk tidak takut menempuh jalan yang berbeda meski sulit.  


Perasaan saya seolah dibanjiri emosi yang begitu hangat. Memori jatuh bangun perjuangan memperoleh CIA yang telah menumpahkan air mata sebab tumpukan kegentaran, kekhawatiran, dan kegagalan berkelebat dalam pikiran. Khususnya di ujian part 3, teringat masa saya menangis menjelang ujian sebab merasa tidak berdaya bahkan setelah membaca buku-buku tebal dan berlatih mengerjakan lebih dari 2000 soal. Bagaimana hati saya tidak gemetaran mendapati doa untuk mendapatkan CIA yang telah saya panjatkan bertahun-tahun dijawab dengan begitu indah. Seolah sedang menegur saya yang kerap meragukan apakah doa saya akan terwujud (padahal jika Allah ingin memberikan semesta seisinya kepadamu pun, itu mudah saja), Allah memberi saya lebih dari apa yang saya minta. Kalau Allah berkehendak, apapun ternyata bisa jadi semudah itu. Segalanya seolah berpihak begitu saja pada kita. Allahu Akbar. 

 

Long story short, karena jadwal CIA Review Course sebelumnya berbenturan dengan jadwal pre-departure training yang harus saya ikuti, saya baru bisa mengajar di periode Juni 2021. Saya mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin karena saya tahu, IIA Indonesia sedang bertaruh untuk mempercayakan kelasnya pada saya. Despite the state of my age and experience (which can be translated as wisdom too), they wanted to give me the opportunity. That moment was such a reminder to not take everything for granted. That’s why, there is no reason for me to not giving my best effort. Saya membaca buku CIA Review dua kali, menyiapkan soal latihan, menambahkan bahan papar dengan materi-materi yang relevan (tips and tricks, pendalaman materi, dll), sampai berlatih mempresentasikannya.

 

23 Juni 2021: hari yang dinanti tiba. Saya memulai debut saya sebagai pengajar CIA Review Course di hadapan 30 peserta. Berkebalikan dengan yang saya cemaskan, saya ternyata tidak merasa nervous selama di dalam kelas. Saya bisa menjalaninya dengan nyaman sebab telah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Sekali lagi, persiapan memang segitu pentingnya sih. Sebuah pengingat bagi diri yang terkadang malas mempersiapkan ini bahwa persiapan adalah salah satu faktor penting untuk mendapatkan hasil yang baik.

after 5 hours of teaching :)

Tetapi jika saya ditanya apa pelajaran yang paling penting dari kejadian ini, jawaban saya adalah: untuk tidak pernah mengecilkan sebuah usaha, seminor apapun itu. Ketika saya bertanya bagaimana IIA Indonesia menemukan saya, jawaban yang dilontarkan membuat batin saya semakin teraduk-aduk.

 

“Kami membaca tulisan Bu Nur soal CIA dan CISA.” Kalimat yang membuat hati saya bergemuruh.

 

Someone please hand me some tissues. Huhu. Jujur saja, saya sering meng-underestimate blog saya sendiri. Ah siapa yang mau baca tulisan kamu, im? Siapa juga yang sudi mengenali pemikiranmu yang random itu? Siapa coba yang hidupnya terpengaruhi oleh tulisanmu seperti yang kamu cita-citakan? Coba lihat statistik pengunjung blogmu, biasa saja kan?

 

Padahal blog ini telah memberikan saya begitu banyak kebahagiaan. Saya telah terhubung dengan orang-orang yang tidak saya kenal melalui blog ini. Saya sudah menerima kalimat-kalimat penyemangat dari orang-orang baik yang mampir membaca. Tulisan saya juga telah membantu beberapa orang yang tengah berjuang dengan impian mereka. Kemudian saya diberikan kesempatan mengajar dengan ditemukan melalui tulisan? A whole new level of reminder to never underestimate the power of your writings and also to keep writing even when you think no one read them. To basically do anything good even when you think it will not bring you anywhere. InsyaAllah it will.

 

Ketika pertama kali membuat blog 11 tahun lalu, saya berjanji untuk tetap menulis bahkan jika tulisan saya hanya mempengaruhi 1 orang saja. Bahkan jika hanya ada 1 orang yang merasakan manfaat dari tulisan saya, saya akan tetap menulis di sini. Little did I know, my writings will later provide me a lot of joy which in times, helped me to be stronger and happier. Jadi melalui tulisan ini saya ingin berterima kasih kepada Allah yang telah melimpahi saya dengan kasih sayang meski saya hanyalah hamba yang begitu berkekurangan. Selain itu, saya tidak bisa mengungkapkan betapa banyak rasa terima kasih saya kepada IIA Indonesia untuk bersedia memberikan kepercayaan yang begitu besar. Terakhir, saya ingin berterima kasih pada blog ini karena telah menjadi sarana saya untuk sembuh, bangkit, dan tentunya bertemu dengan orang-orang baik dan kesempatan-kesempatan baik. 

 

I am humbled and thankful.

----------

P.S.: Di hari mengajar tersebut, saya cuti dari kantor 😊

PRIVILEGE VS USAHA

source: learningforjustice.org

(Fyuhhh privilege is such a sensitive topic so I tried to write it carefully. I hope it doesn’t come out in the wrong tone.)


Beberapa waktu yang lalu, Aini Kolbiana yang merupakan salah satu kontributor INJO.ID menghubungi saya  terkait rencana memuat cerita mendapatkan CIA, CISA, dan AAS selama masa pandemi. Singkat cerita, wawancara via telepon itu terjadi di sebuah sore dan saya mengatakan bahwa pandemi bukanlah sesuatu yang mudah bagi siapapun (and I felt sorry to anyone because we have to go through such a difficult period) tetapi saya mencoba sebisa mungkin menyikapinya dengan positif. Saya memanfaatkan masa kerja dari rumah (KDR) di mana saya tidak perlu melakukan perjalanan pulang pergi ke kantor itu untuk mengejar mimpi-mimpi yang sekian lama tertunda dengan alasan “tidak punya waktu” (a.k.a. sok sibuk padahal hanya malas. Hihihi.).


PENGARUSUTAMAAN GENDER DAN PERMASALAHAN DATA

source: searchenginejournal.com

Mungkin jarang sekali terucap tetapi saya punya ketertarikan yang besar terhadap isu pemberdayaan perempuan. (Tentu saya bukan ahli untuk berbicara hal ini melainkan hanya seseorang biasa yang memiliki perhatian khusus terhadapnya). Tumbuh di tengah konstruksi sosial yang mengharuskan kaum hawa berusaha lebih banyak ketimbang kaum adam untuk meraih sesuatu, saya sadar perlunya untuk peduli pada isu tersebut. Selain itu, bekerja di dunia yang didominasi laki-laki membuat saya memahami pentingnya menjadi jangkar dalam meningkatkan kepedulian orang-orang terhadap topik ini. Ditambah lagi, organisasi tempat saya bekerja juga secara serius mencurahkan perhatian terhadap pengarusutamaan gender (PUG) sehingga isu ini menjadi semakin dekat dengan saya.

4 A.M.

Major alert: Just a random personal story of mine. Feel free to skip it.

source: unsplash.com

(I am aware of the need to prevent myself from posting a story about good deeds for the doubt of whether I could keep the pure intention of doing something just because of Allah. Bear with me. This post isn't about me showing off a deed, but instead, a contemplation of my recent years' journey).

 

I finished an i'tikaf (with strict safety protocols, of course) today and was ready to go back when I saw the mosque's keeper bringing mop equipment. Seeing the scene in front of me, I froze. It has been 4 years since the last time I mopped a mosque. Suddenly, there is a strong urge to ask him whether I could do the chore instead. At first, he was in doubt probably because he didn't want to trouble me but I said that I would be happy to do that.

 

While cleaning up the floor, I reminisced that in the past, I did not agonize over worldly life that much.

 

Back then, I cared about my worldly life but didn’t let it bother me tremendously. Instead, from time to time, my biggest concern was whether Allah sees me in a good light. Before doing anything, I'd consider whether Allah would be happy knowing the choices I've made. I wanted Allah to love me so I always tried to put Him before anyone/anything. My days partially consisted of sitting in mosques talking to Allah like He's the best friend I trust the most. Then and now, indeed I cried a lot but in lieu of worrying about worldly things, I did because of the realization of the sins I committed yet Allah was still utterly kind to me. The fact that He showered me with a lot of blessings nevertheless my flawed self was heartwarming to the point I promise to pay His favors back by trying to please Him the best I can.

 

Feeling-wise, I felt content with each day. I appreciated every little thing, good or bad, since I trusted Him with my life.

 

During these current years, I started to care about worldly life more than ever. I am easily upset whenever Allah gives me a huge trial (regardless of the fact that it's just a worldly tribulation, something previously I wasn't too melancholic about). I started to complain that Allah put a heavy burden on my shoulders because my not-so-wise self didn't think I deserve this. I took the marriage issue to a new whole level of grief. I wept countlessly because I can't ignore the pain even though I always tried to convince myself that I am okay. The biggest source of stress is that my parents don't even give me a break. They tried to bring up the particular topic at every opportunity possible. No matter how much effort I put to be a better person, they always think of me as a failed daughter simply because I haven't married yet1. A story about me achieving something but marriage isn't good news anymore. They couldn’t be more careless towards my progress of outgrowing myself as long as I am not telling them a nuptial plan. From my side, it is frustrating to be seen as a failure when I've continuously put so much effort to grow. 

 

As if a woman's worth is fully dependent on whether she's paired up or not.

 

But today, while mopping the floor, I remember again that after I die, what's asked isn't my marital status but solely my deeds. Am I pious enough? Do I perform good deeds more than the bad ones? Am I patient and content with Allah's decisions? I doubt the full-of-complaints self of mine today would be able to face Allah in a poised manner. I believe the current me don't dare to answer these questions confidently. 

 

Seeing the reflection on the floor, I asked where is the old iim who smiled a lot and was thankful for her life. Also, rather than worrying about worldly life, I should be more concerned about the hereafter one, right? I should, as before, think that instead of something to complain about, this is my trial--my battle--my struggle to prove my belief and trust in Him. I simply want to be so confident in His decision that I don't anguish over it anymore.

 

It's 4 A.M., teary, I am standing with newfound strength in me. Alhamdulillah.

----

1I am deeply sorry to my parents that I am an imperfect daughter, with such a tragic fate. For being so pitiful, I am truly sorry.

 

(I am sorry that my posts these days sound dark. Life isn't all about the rainbows, right?  I just wanted to write my honest feelings that before wasn't my approach to writing. Don't worry. I'll back to my cheerful self soon insyaAllah.)

 

 

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE