-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

29 Oct 2013

(STILL) TO YOU

  • October 29, 2013
  • by Nur Imroatun Sholihat

I know, letters are so last year but it's my only way to say everything unsaid. Jauh dari jangkauan matamu aku tetap melanjutkan kebiasaan lamaku. Serupa yang aku ceritakan dalam surat sebelumnya, aku khawatir kau telah menuliskan sesuatu secara terus-menerus di hatiku hingga cerita tentangmu tak pernah habis. Maafkan ketakutan yang selalu menghadangku mengirimkan surat padamu. Alasannya tentu masih sama. Aku tak ingin wanita yang menjadi istrimu kelak membacanya.



Hari ini hujan begitu lebat. Kau yang membenci mendung dan hujan bak melintas di hadapanku dalam bauran air dari langit. Gemericik benturan air dan lantai yang selalu kita dengar bersama laksana nada yang memutar memori. Aku teringat masa kita menunggu hujan reda di balik dinding kaca kampus. Rumput yang bergoyang terguyur hujan melambaikan kebahagiaan akan datangnya hujan dan kau yang selalu terheran-heran pada diri sendiri. Kau selalu bertanya padaku mengapa tak bisa menyuka hujan seperti rumput itu saja. 

Hujan hari ini mengingatkanku pada suatu detik yang kusebut kegetiran. Detik ketika ku katakan ada puluhan surat yang sudah kugores untukmu dan kau hanya meledekku dengan tawa khasmu setiap kali kita bercanda. 

“ Pasti lagi bohong ya?” Kau tertawa renyah 

Setelah satu tahun berlalu dalam bentangan jarak yang tak bisa dibilang dekat, aku masih sayup mendengar kabarmu lewat desiran hujan. Langkah kakiku mendekat pada hujan--semakin dan semakin dekat. Dulu aku tak tahu mengapa tiba-tiba ikut menghindari hujan. Setelah berpisah dalam mimpi masing-masing aku akhirnya menerjemahkan perasaanku sendiri. Jika tidak terpaksa pergi ke tempat lain, engkau selalu meluangkan sebanyak apapun waktu untuk menunggu hujan reda. Di saat-saat seperti itulah kita tumbuh menjadi sahabat terbaik satu sama lain. Karenanya, aku mengelak dari hujan untuk bersamamu barang sepenggal napas hujan saja. 

Baru saja, dari seberang telepon kau bercerita rencanamu menetap di kota seberang. Saat kita diwisuda, kau berkata tentang kemungkinan kembali jika ada yang menarik hatimu di ibukota negara ini. Saat itu aku berharap ada yang membawamu kembali ke kota kita menghitung tetes hujan ini. Ada ribuan doa dan rindu yang kuselipkan di sela awan yang bergerak dari langit Jakarta ke kotamu agar engkau tiba-tiba berdiri di sini. Kau mengakhiri semua pesan yang ku taruh di atas awan. 

Kau seharusnya tahu, aku baik-baik saja tanpa mendengar candaan lamamu. Aku berusaha tak sentimentil tentang memori masa lalu. Seperti kata tak terucapku saat wisuda, mengenalmu adalah anugerah. Ketika kau dengan girang menanyaiku tentang rasa kangen, aku hanya tertawa. Jangan artikan ku tak menggenggam rindu. Hanya saja mengenalmu adalah  keberuntungan yang teramat sangat. 

“ Aku baik-baik saja. Jangan ragu, kejar semua impian yang dulu kau tulis di dinding berembun saat hujan.” Aku bergurau meskipun hatiku kebas. Gemuruh bersaut-sautan di ruang sempit hatiku meskipun pikiranku hening dan kehilangan kata. 

Kau menutup teleponmu dalam suasana hujan yang kian deras. Hatiku berbadai kencang seperti ada angin ribut yang hendak menggulung segenap kebahagiaanku. Mungkin kata-katamu dulu benar, aku harus bertemu seseorang yang melengkapiku. Dengan bercanda, kau selalu berkata bahwa lelaki yang akan disuakan Tuhan padaku pasti bukan sepertimu. 

Tetapi, seharusnya dulu aku mengatakan apa yang ingin aku katakan padamu, sahabat baikku. Aku tidak ingin mendengar rencana pernikahanmu saat kau bertemu dengan wanita yang tepat. Aku tidak ingin kehilangan senyum 3 detikmu. Seharusnya aku katakan saja bahwa aku benar-benar merindukanmu.

“ Pasti bohong kan? Lagian kalau nggak dikirim buat apa nulis surat. Aku tahu kamu bukan tipe orang yang melakukan hal sesia-sia itu” Kau menyambung candaanmu kala itu. Sekuat tenaga ku tahan air mata. 

Kau tidak pernah tahu, suratku tidak akan pernah ku kirimkan karena bukan untuk itu aku menggoreskannya. Aku menulis surat untuk membantuku menahan perasaan agar tak terucap. Kau seharusnya sadar, ada begitu banyak kata yang mendadak hilang ketika di hadapanmu. 

Bayanganmu dalam bauran hujan kali ini juga berhasil menghilangkan kata-kata yang ada di pikiranku. Tak ada yang bisa ku tulis lagi. 
______________
(Jakarta, heavy rain)
image source: here

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE