CATATAN DIKLAT PENGAWASAN: PROFESSIONAL JUDGEMENT
- April 01, 2014
- by Nur Imroatun Sholihat
Seorang bendahara telah berusaha meminjam uang kepada atasannya dan tidak mendapat pinjaman untuk pengobatan anaknya. Dia meminjam uang kas kemudian seorang auditor melakukan opname kas dan menemukan kekurangan kas tersebut. Jika kita adalah auditor itu, apa yang akan kita lakukan?
Materi hari ini adalah mengenai
standar audit AAIPI (Asosiasi Auditor Internal Pemerintah Indonesia). Standar
audit adalah ukuran mutu minimal untuk melakukan kegiatan audit. Kenapa standar
ini dirumuskan? Karena APIP (aparat pengawas intern pemerintah) harus menjadi
agen perubahan yang dapat memberi nilai tambah. Selain itu standar audit ini
juga berfungsi menjaga mutu hasil audit internal. Nah, APIP yang efektif dapat
terwujud jika didukung dengan auditor yang profesional dan kompeten dengan
hasil audit yang berkualitas. Dari penjabaran panjang lebar di atas, kata nilai
tambah sungguh menggugah pikiran saya. Apakah auditor telah bersungguh-sungguh melakukan
usaha terbaik guna memberikan nilai tambah bagi auditee?
And actually I’m not into that
standard material as I deeply into auditor’s judgement discussion. Bu Raida kembali
menggedor-gedor nurani peserta diklat sebagai calon auditor. Kali ini dengan
serentetan pertanyaan dan pernyataan yang membuat peserta diklat harus merenung
dalam-dalam. The biggest thing today is her statement about professional judgement.
“Saya selalu katakan bahwa
auditor seharusnya belajar komunikasi empati. Jangan menutup mata terhadap
hal-hal baik.” Ujar Beliau
Membuat judgement yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan adalah tantangan bagi auditor. Beliau jelaskan bahwa auditor
yang mengaudit bendahara seperti kasus di atas boleh melakukan judgement untuk
tidak menghukum orang tersebut. Auditor diperbolehkan
mengecek kebenaran pengobatan rumah sakit dan telah adanya usaha untuk meminjam
kepada atasan. Apabila memang benar, bendahara diminta mengembalikan uang
tersebut dan tidak dikenai tuntutan perbendaharaan. Tentu kita harus tetap
mencatatnya dalam laporan hasil audit dengan mencantumkan judgement kita. Kesalahan tetaplah kesalahan tetapi kita bisa mengambil sikap yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinan kita. Mengambil sikap yang tepat inilah tantangan bagi para auditor.
Hal menarik lainnya adalah ketika
peraturan ekspor batu bara diubah menjadi tidak diperbolehkannya ekspor batu
bara sebelum diolah. Pada hari diterimanya peraturan tersebut, kapal-kapal pengangkut batu bara mentah yang mengurus ijin di hari sebelumnya sudah hampir berangkat.
Apakah auditor akan menyalahkan kondisi tersebut? Tidak. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa memuat batu bara membutuhkan waktu yang cukup lama dan tidak
mungkin dibongkar kembali apalagi ijin ekspornya sudah keluar. Auditor yang menggunakan akal sehat seharusnya berani memberikan judgement atas peraturan yang tidak mempertimbangkan
kondisi lapangan tersebut. Khusus untuk hari di mana peraturan tersebut baru
dikeluarkan, auditor boleh memaklumi adanya ekspor batu bara mentah oleh kapal
yang sudah mendapat ijin di hari sebelumnya.
Saya akan menulis catatan tentang
standar audit besok karena hari ini cerita soal
professional judgement mengalihkan dunia saya *tsaahh. Kalimat Bu Raida berikut ini benar-benar memberikan
gambaran bahwa seharusnya auditor adalah pekerjaan yang dicintai. Jika kita bisa
menjadi auditor yang ideal, selama auditee tidak melakukan kesalahan, mungkin keberadaan kita bukanlah momok bagi mereka.
“Jika kita bisa menjadi auditor
yang cerdas (dan menggunakan professional judgement yang tepat-red), kantor
auditee akan senangtiasa menunggu kita.”
I'll always remember those words, Mrs. Raida :)
---------------------------------
image source: here
0 Comments:
Post a Comment