MASIH SEPTEMBER
- September 19, 2015
- by Nur Imroatun Sholihat
Dia tersenyum di pagi hari ini. Dia menyapa satu per satu orang dengan
senyum simpul nan semanis gulali. Hati yang berpapasan dengannya pasti meleleh
seperti arum manis yang digemam. September adalah nama belakang dari senyum
yang memendar begitu ringan di wajahnya itu. Dia tersenyum seolah seluruh angin
yang melintas pun menarik bibirnya untuk mengembang. Dia tertawa sehangat
matahari di pagi hari. Dia bertutur
dengan ceria seolah bunga di atas kepalanya bermekaran mendengar suaranya. Dia seperti
diciptakan untuk menjadi seseorang yang menyenangkan begitu saja. Kau pasti
bahagia hanya dengan melihat wajahnya yang merona kemerahan. Dia akan tertawa
renyah pada hal-hal lucu yang kau lontarkan. Dia tak akan segan melempar
candaan yang tak selalu lucu tetapi menghiburmu. Dia semestinya tersenyum di
pagi hari ini, esok, lusa, tubin, dan selanjutnya.
Dia mengusap air mata. Dia bersembunyi di kegelapan dan di keheningan.
Di malam-malamnya dia kerap berkawan dengan mata yang berkaca-kaca. Mata sayu
menjadi muara air terjun di wajahnya. Ini masih september. Hati yang pilu adalah sebongkah pahit yang digenggamnya sendiri. Di dalam raganya tergores
terlalu banyak luka yang tidak kembali ke bentuk semula. Luka itu tidak
tertutup meski dihadapkan segala rupa ramuan. Kau pasti menolak bertemu dengan
wajah pucatnya di malam hari. Dia akan menangis pada hal-hal lucu yang kau
utarakan. Dia tak akan segan terisak meskipun kau melemparkan candaan yang tak
selalu lucu tetapi menghiburnya. Kau tak akan percaya jika bertemu dengannya di
malam hari dengan ingatan senyumnya di pagi hari. Dunia ini ternyata memiliki
makhluk yang perasaannya tidak bisa dengan gamblang dijabarkan. Dia menangis di
malam hari ini, esok, lusa, tubin, dan seterusnya.
Ini september yang dijuluki bulan ceria tetapi dia menangis.
Dia berjalan di tangga yang kian lama kian sempit dan curam. Dia tersenyum
di bawah mentari sebab jika tidak mereka yang melihatnya akan menyuruhnya
menuruni tangga. Sementara di dalam kelam saat semua orang terlelap dan tak satu
pun bisa melihat air matanya, dia menangis karena kakinya berontak menolak terus melangkah. Dia merahasiakan lara dan luka sebab september adalah
bulan yang marah terhadap air matanya. Sebab dia berjanji di akhir september dia
akan sampai di atas sana.
Bulan yang ceria itu sedang berjalan dan air matanya tak surut
di malam-malamnya. Kala september berakhir, dia akan berdampingan dengan air mata
yang tidak berkesudahan. Doa terucap dari batinnya meminta agar dia tak perlu
terlalu sering menangis setelah september ini. Tetapi bagaimana nantinya dia
bisa tertawa jika di malam-malam bulan yang dia sukai saja dia masih menangis.
Padahal ini masih september.
-----
image source: newsroom.unl.edu
0 Comments:
Post a Comment