KOTA YANG MENCINTAI LILIN
- October 25, 2015
- by Nur Imroatun Sholihat
Berkawan nyala
lilin nan temaram, aku tanpa sadar tersenyum mengingatmu. Aku selalu merasa
berkecukupan meski cahayanya hanya sekuncup. Aku tidak takut gelap sebab aku bisa
tertidur nyenyak bersama seutas senyummu yang aku simpan dalam saku bajuku.
Besok pagi kita akan bersua. Aku melirik jam dinding yang tahu jantungku
berdetak kencang bersama perjalanan detiknya. Jika besok aku akan bertemu
dengan cahaya yang lebih terang dari lampu, mengapa mengeluhkan lilin
malam ini?
Ada yang
menyadarkanku bahwa kau bukanlah lentera yang menerangi jalan setapakku. Di pagi
kita berjumpa kau salah memanggilku dengan nama seseorang. Kau bersamaku dan
pikiranmu tidak membersamai ragamu. Aku sebenarnya tahu hatimu tertambat
padanya sedari awal tetapi masih saja kecewa ketika kau menunjukkannya dengan
gamblang. Sedari dulu, aku tahu pada akhirnya kau akan lebih memilihnya tetapi
aku bertahan sebab berharap akhir kisah yang berbeda.
Terlampau nyata
bagiku bahwa kau bersisihan dengannya hanyalah perkara waktu. Kau telah
menemukan potongan yang menggenapi kebahagiaanmu tanpa kurang sedikit pun. Tersisa aku menyesalkan
betapa rendahnya kesadaran diriku. Aku luput untuk tersadar betapa hinanya aku di hadapanmu sehingga satu-satunya hal yang kau lakukan denganku hanyalah bermain-main. Aku tidak menyangka hatiku demikian
terpaut padamu sekalipun tahu kau sewaktu-waktu akan membuangku. Langit masih
biru tetapi di kota yang mencintai lilin ini, langit menyamar kelam bagiku. Senyummu
tidak lagi di saku baju saat ini. Seseorang mengambilnya atau aku yang
membuangnya, aku tak benar-benar ingat.
Aku seperti
lilin itu: menjadi pilihan yang kedua. Bila listrik tidak padam, mengapa kau
harus menghidupkan lilin? Di kota ini air mata mengalir tanpa seorang pun
melihat. Dalam gelap, kau tak pernah tahu apakah sesungguhnya aku sedang
menangis atau tersenyum menuturkan selamat padamu. Aku seperti lilin itu dan
perasaanku sebagai sumbunya. Selalu mudah mematahkan lilin tetapi orang
terkadang lupa bahwa sumbunya masih saja utuh. Karenanya aku yang telah remuk
redam memaki-maki organ tubuhku yang tetap saja ingin menemuimu. Aku begitu
ingin mendekati cahaya yang perlahan akan membakarku meski sadar bahwa cahaya itu tidak benar-benar berniat bersama denganku.
Aku tak habis
pikir bagaimana aku pernah menganggapmu sebagai alasan diterimanya kenyataan kerapnya
kota ini berdansa dengan kegelapan. Kini, aku membenci betapa seringnya kota
ini memaksa jemariku menyalakan api. Cahaya lilin itu tak cukup menerangi
ketakutanku. Aku takut pada gelap sebab di saat itu tak ada yang mengalihkan
pikiranku dari ingatan tentangmu. Kau awalnya seperti membawaku ke negeri
dongeng tetapi akhirnya melemparkanku pada hutan duri. Kau
menggoreskan trauma yang tak berkesudahan. Aku takut bertemu dengan siapa pun. Aku khawatir apakah aku masih bisa
jatuh hati sekali lagi setelah ini.
Aku takut lilin
itu akan melebur dan habis sebelum lampu menyala seperti biasanya. Lilin itu
seperti hatiku yang telah kehabisan kepercayaan diri untuk bisa bertemu
seseorang lain. Aku kehilangan segala daya untuk kembali memiliki rasa yang
sama. Aku tertidur bersama tangis yang aku rahasiakan agar tidak satu pun tahu
betapa rindunya aku pada lampu yang menyala dan tidak perlunya lilin
terbakar.
Di kota yang
mencintai lilin, aku membenci kegelapan.
Aku terbangun
dengan perasaan yang hampa, luka yang tidak aku ketahui obatnya, lilin yang
telah menghilang, serta lampu yang tidak menyala meskipun sakelar dalam posisi
menyala.
---
image source: zamnar.com
0 Comments:
Post a Comment