![]() |
source: thehumanist.com |
Beberapa tahun
belakangan ini, rasa pegal menetap di punggung saya. Sudah seharusnya bukan saya
membawanya ke dokter untuk mengetahui penyebab dan pengobatannya? Tetapi saya,
berkebalikan dari apa yang dilihat orang-orang, adalah seseorang yang kerap
takut menghadapi kenyataan. Dari waktu ke waktu, saya sering memilih untuk
tidak tahu—simply because I’m such a coward. Saya menyimpannya
sendirian, menahannya tatkala sakitnya mendera, dan berpura-pura baik-baik
saja. Sampai beberapa waktu yang lalu saya memutuskan bahwa saya harus
memeriksakan punggung ini. Butuh waktu cukup lama untuk akhirnya benar-benar
berangkat menemui dokter, itupun setelah beberapa sahabat dekat meyakinkan
saya. Sejujurnya firasat mengatakan saya menderita sebuah kelainan yang namanya
pertama kali saya dengar di bangku sekolah dasar: skoliosis (scoliosis).
Saya ingat sekali sejak mendengarnya saya berjanji untuk memakai tas punggung,
tas selainnya sesekali saja. Dengan usaha tersebut, saya berusaha mengingkari
kemungkinan skoliosis meskipun gejala-gejala yang ada mengindikasikanya. Dan
ketika hasil rontgen menyatakan skoliosis ringan, saya yang masih tampak ceria
di rumah sakit, termenung sepanjang perjalanan pulang menyadari bahwa saya
menderita sebuah kelainan yang selama ini sudah saya usahakan pencegahannya. The realisation hit me: sometimes you tried your best but
failed.