KAWI
- September 08, 2019
- by Nur Imroatun Sholihat
PART
2: JARAK KITA HARI ITU
source: tumblr.com |
(Raya’s POV)
“Putri,” bisiknya. Meski dia
berusaha berbicara selirih mungkin—seolah-olah rahasia ini hanya boleh didengar
olehku saja, otakku seperti mendengar dentuman yang meledak tepat di samping
telingaku. Aku menoleh dan mendapatinya tersenyum sangat lembut. Detak jantungku
seperti dibekukan oleh kejadian tak terduga ini. Aku tidak menduga akan ada
hari di mana Ardhan tidak melulu berbicara tentang mimpinya menjadi penulis
yang lebih hebat dari kakaknya, Arga. Aku tidak mempersiapkan diri untuk hari
di mana Ardhana Kawi mengambil jeda dari ambisinya dan memberi ruang penting di
pikirannya bagi seseorang. Aku tahu hari semacam ini pasti akan datang tetapi
tidak membayangkan hari itu adalah hari yang sedang kujalani saat ini. Tidak.
Seharusnya hari hatiku retak tidak datang setergesa-gesa ini.
“Kata Mas Arga, dia menyesal nggak
memperjuangkan Mbak Dara sedari awal. Jadi kalau aku ketemu orang yang tepat,
kata dia, aku harus memperjuangkannya,” Ardhan melanjutkan ucapannya sebelum
kami benar-benar berpisah karena kursi kami yang terletak berjauhan di kelas.
Semua perempuan di dunia ini
semestinya sedari awal mendapat pelajaran tentang membedakan perasaan seorang
lelaki kepadanya. Diperlakukan sangat akrab tidak ekuivalen dengan ‘yang
teristimewa’, dan jarak yang terbentang tidak otomatis berarti tidak memiliki
perasaan apa-apa. Aku dan Putri adalah contoh yang sempurna dari dua keadaan
itu. Putri yang jarang mengobrol dengan Ardhana adalah seseorang yang memikat
hatinya dan aku yang hampir selalu bersamanya terperangkap dalam lingkaran
kedua.
Aku memang edan: menaruh perasaan sedemikian besar pada Ardhana yang jelas-jelas menaruhku di zona kedua.
Perempuan memang gila jika berhubungan dengan kenyamanan bersama seseorang bukan? Kita selalu berharap hubungan semacam itu akan serta merta berlanjut ke tingkat
lebih serius dan berlangsung seumur hidup. Blame
all the fairytales we heard when we were children or blame our hearts for being
too optimistic. But for me, can I blame Ardhana for letting me be the woman who
is the closest to? Ah, with this broken heart, at least, let me blame him
rather than anything or anyone else even though I know he did nothing wrong.
Aku melirik ke meja Ardhan untuk
mendapatinya sedang menulis. Aku tahu dia sedang menulis apa dan untuk siapa.
Kini aku tahu inspirasi di balik setiap huruf dan kata yang dia tulis. Bak
menyadari seseorang menatapnya, dia mengangkat kepala dan mendapatiku sedang
memperhatikannya. Dia tersenyum penuh arti yang dulu salah kuterjemahkan tetapi
kini tidak.
Aku membalas senyumnya kemudian
tergesa-gesa mengeluarkan buku diary-ku.
Sama sepertinya, aku juga menulis saat pikiranku riuh dan tak lagi mampu
menampung kata dan rasa. Aku mulai menulis puisi meski tidak pernah belajar
menulis puisi sebelumnya. Bagi Ardhana, jatuh hati adalah jalannya menjadi
pujangga. Bagiku, patah hati merupakan jalan ampuh menjelma puitis.
Ada
gundah yang tidak bisa kubagi kepadanya sebab dialah alasannya. Ada duka yang
tidak bisa kuceritakan kepadanya karena dialah penyebabnya. Betapa ingin aku
mampu mengubah alur skenario ini semudah aku mengubah alur skenario drama yang
kutulis.
Juga
ada garis yang tidak bisa kuseberangi meski tempatku berdiri saat ini penuh
duri. Tetapi tak apa selama aku bisa berada di dekatnya. Selama aku bisa
bersikap biasa saja di depannya, bukankah aku akan tetap bisa menjadi seseorang
di dekatnya? Untuk saat ini, mungkin itu cukup.
***
“Aku pernah ingin benar padamu, di
malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,” Ardhana mendeklamasikan puisi
Pemberian Tahu karya Chairil Anwar yang diiringi tepuk tangan penonton.
“Penjiwaannya dapet banget, Dan,”
Raya yang memantau jalannya pertunjukan teater yang digelar dalam rangka hari
ulang tahun sekolahnya itu bergegas berdiri dari kursinya menyambut Ardhan yang
baru turun dari panggung.
Ardhana tersenyum. Dia kemudian
mengarahkan pandangan Raya ke sudut ruangan dengan ekor matanya. Raya tahu
kepada siapa pandangan itu tertuju tetapi masih saja mengikuti arahan Ardhan
itu.
“You know why,” Ardhan tersenyum
kembali. “Gimana? Dia suka nggak ya?”
Raya menoleh kembali ke arah Ardhan
untuk mendapati sepasang matanya yang nampak bersemangat. Senyum lembut yang
terukir menjadikan tatapan mata dan senyumnya kontras yang seharusnya tidak
pernah ada.
“Perempuan mana sih yang nggak
suka dibacain puisi itu?” Raya membalas tersenyum.
Aku
juga pernah ingin benar padamu, Dan, dan berusaha berangsur-angsur menghapusnya. Sungguh ironis, sering kali kita tidak perlu mempertanyaan perasaan
seseorang kepada kita untuk mendapat jawabannya. Karena hati hanya satu, kita dapat mengkonfirmasi perasaan seseorang
kepada kita melalui perasaannya kepada orang lain, bukan? Dalam hal ini, aku mengetahui bagaimana perasaan Ardhan kepadaku dengan mengetahui perasaannya
kepada Putri. Tetap saja, tidak pernah kusangka akan adanya hari mengetahui
perasaan Ardhan terasa sungguh menyakitkan.
“Anyway, thank you ya, Ya,
diajakin main teater meski cuma jadi figuran. Seru ternyata,” Ardhan menepuk bahu Raya.
“Aku yang makasih kamu udah mau
banyak diskusi buat penulisan skenario ini,” sang sutradara pertunjukan teater
hari ini gantian menepuk bahu sahabatnya itu.
“Sama-sama,” Ardhan tertawa. “Oh
ya, Ya, kamu udah daftar kampus? Ambil jurusan apa?”
“Rahasia,” Raya tertawa meledek. “Dan kamu, pasti mau masuk sastra, kan?” Raya
menunjukkan ekspresi kemenangan sebab mengetahui cita-cita lelaki itu.
“Hahaha. Kalau aku sih udah pasti
kan. Sastrawan Ardhana Kawi on the making,” dia membalas dengan tawa meledek
juga.
“Sombong banget sih. Jangan
jemawa. Belum tentu diterima juga,” Raya tertawa lebih meledek.
Ardhan memasang ekspresi kesal
yang dibuat-buat mendengar ledekan Raya. Lima detik kemudian dia ikut tertawa
bersama teman masa kecilnya itu. “Doain aku ya, Ya.” Dia menangkupkan kedua
tangannya di depan.
“Buat?”
“Pertama, masuk sastra,” dia
tersenyum. Entah bagaimana lelaki ini selalu tersenyum begitu polos ketika
menyebut kata ‘sastra’. “Kedua, mendapatkan inspirasi puisiku,” dagunya
mengarahkan pandangan Raya kembali ke sudut ruangan.
“Kalau aku cuma mau doain satu doang,
yang mana?” entah mengapa, Raya merasa perlu mempertanyakannya.
Ardhan yang sudah siap berjalan ke
sudut ruangan membalik badannya. Dia menatap sahabat karibnya itu dengan
ekspresi penuh pertanyaan. Alis kanannya terangkat menunggu Raya menjelaskan
maksud kalimatnya. Yang ditunggu hanya balik menatap mempertanyakan jawaban
atas pertanyaan sebelumnya.
“Untuk saat ini, yang kedua. Nanti
kalau aku udah dapetin yang kedua, doakan yang pertama ya,” Ardhan berbicara
setelah yakin Raya tidak ingin menjelaskan maksud pertanyaannya. Dia melempar
lambang V dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya. Kemudian pria
bernama lengkap Ardhana Kijaora Kawi itu melempar tawa puas sebab merasa
berhasil membalas pertanyaan sulit Raya.
Raya mengangguk lalu mengarahkan ekor matanya sudut ruangan. Dia mengarahkan Ardhan ke arah
keinginan yang lebih ingin diwujudkannya saat ini. Jadi, kamu lebih ingin mendapatkan Putri ketimbang menjadi anak
sastra, Dan?
***
(Raya’s POV)
“Rayaaaaaaaaa, gimana ceritanya
kamu masuk sastra?” Ardhan yang baru turun dari sepedanya langsung memberondong
dengan pertanyaan melihatku membukakan pintu gerbang rumahku untuknya. Jarak
rumah kami memang tidak begitu jauh sehingga sewaktu-waktu kami ingin
menghampiri, kami hanya perlu menaiki sepeda.
“Ya aku daftar aja. Surprise! Ini rahasia yang aku maksud. Kita
jadi temen sejurusan ya?” Aku menantikan anggukannya.
Ardhan menggeleng. Ada gurat
kecewa yang terpancar di wajahnya yang kini menatapnya sayu itu. Keningku
berkerut menyadari alasanku mempelajari sastra selama ini, alasanku mendaftar
menjadi anak sastra justru tidak akan membersamaiku.
“Aku nggak dapet pilihan pertama,”
Ardhan duduk menyamping di sepedanya yang telah distandar.
“Tapi kita masih sekampus kan?”
Aku berharap dia mendapat pilihan keduanya yang berarti meski tidak sejurusan,
kami akan berada di kampus yang sama.
Ardhan kembali menggeleng. Kini
pasti wajahku yang memancarkan gurat kecewa. Aku sengaja mengambil jurusan dan
kampus pilihan pertama Ardhana agar kami dapat bersama lagi tetapi mimpiku ini
urung terwujud. Aku lupa bahwa untuk
mewujudkan keinginan ini bukan hanya aku yang harus lulus, Ardhan pun. Tetapi jika
harus ada yang tidak diterima, bukankah aku lebih pantas?
“Aku yang pengen jurusan sastra
tapi kamu yang dapet,” Ardhana menunduk.
Aku kehilangan kata-kata seiring tulang-tulangku kehilangan daya untuk menyangga badan. Aku
tidak pernah melihatnya bekerja lebih keras dari mengusahakan dirinya menjadi
penulis. Ekspresinya yang mengabarkan padaku bahwa dunianya seolah runtuh saat
ini menghantuiku. Ardhana telah
mempersiapkan diri sejak lama dan aku hanya menemaninya, bagaimana mungkin justru aku yang mendapatkannya?
“Udah ngabarin Mas Arga?” Aku
mencoba menatap wajahnya yang kini menunduk.
Dia menggeleng lemah dengan napas
yang terdengar berat. “Aku langsung ke sini abis pengumuman,”
“Terus kamu maunya gimana? Aku
bisa bantu apa?” aku berbicara ketika menyadari keheningan kami sudah
berlangsung cukup lama. Tatapan kosong Ardhan menyiratkan bahwa dia tidak tertarik menjawab pertanyaanku.
“Penulis kan nggak harus anak
sastra, Dan. Banyak kok penulis sukses yang latar belakangnya bukan sastra,”
aku mencoba menghiburnya. “Nanti, aku bersedia membagi semua materi yang aku
dapet kok. Kita bisa belajar bareng-bareng,” Aku menegakkan kedua bahu Ardhan.
Ardhan bangkit dari sepedanya
kemudian melangkah mendekat. Jarak kami sangat dekat sampai aku bisa merasakan
jantungku berlarian. Tiba-tiba kepalanya terjatuh di pundak kananku. Ardhan kerap menepuk kepalaku atau menarik
lenganku tetapi siapa yang siap merasakan kepalanya bersandar di bahu? Aku
berdiri setenang mungkin agar Ardhan tidak terganggu dengan gerakan kecil,
suara napas, atau derit detak jantungku. Kini jika menoleh sedikit saja ke
kanan, wajahku bisa menyentuh kepala pria ini tetapi aku mematung. Aku dan pria
ini tahu, kami hanya perlu saling membisu saat luka tidak tertahan lagi.
Can
I tell you the things that make Ardhan is the one? The stillness, the mutual
understanding, the comfortable silence—that even without words, we are so
comfortable to be with each other. With him around, I know I’m safe. And somehow
I know, with me around, Ardhan’s world is sound.
“Jarak kita hari ini,” Aku
berusaha membungkam jantung yang berdebar kencang seolah tak ingin bekerja sama
menyembunyikan perasaan.
“Hmmmm,” Ardhan menjawab masih
dengan kepala yang menyandar di pundakku.
“Di dunia sastra, aku harap, jarak
kita akan sedekat ini, Dan. Karena aku bakal berusaha jadi penulis yang sukses dan
kamu dengan kemampuanmu akan bisa setara atau bahkan lebih dari itu,”
Melalui sedikit guncangan di
bahuku, aku tahu pria ini sedang tersenyum. Ini adalah senyum pertamanya sejak
bertemu denganku hari ini.
“Raya,” Dia memanggil namaku
dengan suara yang hampir tak terdengar.
“Hmmm,” Aku menjawab lirih.
Lagi-lagi melalui bahu, aku mengetahui
apa yang Ardhan lakukan. Aku merasakan gelengan lirihnya.
“Nggak apa-apa. Pengen memastikan
aja kamu beneran yang bilang kalimat barusan,” Ardhan mengangkat kepalanya
kemudian menatapku dari jarak yang sangat dekat. “It consoled me. Thank
you,”
“You’re welcome, Ardhana Kawi,
calon penulis terkenal,” Aku tertawa yang disambut tawa heningnya. Sebab jarak
kami demikian dekat, bahkan aku bisa mendengar suara tawanya heningnya itu. Tawa
hening kami berdua dipecahkan oleh suara dering ponsel Ardhana. Nama seorang
perempuan dilengkapi dengan emoticon hati muncul di layarnya.
---
Read also: Kawi (Part 1)
0 Comments:
Post a Comment