-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

30 Aug 2020

KAWI

  • August 30, 2020
  • by Nur Imroatun Sholihat
PART 11: THE UNSAID
source: tumblr.com
(Ardhana’s POV)

“Raya Gauri ngejawab telpon gue barusan.” Mas Dirga, produser acara radio yang kupandu menghampiriku yang sedang merapikan script siaran. Seolah tidak ingin mendengar kabar selanjutnya, aku mengetuk-ngetukkan jari telunjukku ke meja.

“Dia mau jadi bintang tamu. Siap-siap ya, Dhan, buat minggu depan.” Dia menepuk bahuku.


Aku berusaha tetap lurus memandang layar laptopku agar keterkejutanku tidak terbaca. Belum genap seminggu kami berbagi panggung di acara Lustrum SMA kami dan minggu depan dia juga tidak menolak untuk datang ke acara yang kupandu? Apakah dia menerima ini karena penerbitnya memerintahnya untuk tampil di sebanyak mungkin acara?
***

“Sorry ya, Ya kamu pasti nggak enak nolak tawaran jadi bintang tamu di sini. Padahal kalau keberatan, kamu bisa tolak aja,” aku memulai briefing dengan meminta maaf.

Perempuan yang mengenakan blouse putih itu hanya menatapku sejenak kemudian mengalihkan pandangannya pada daftar pertanyaan yang barusan kusodorkan. 

“Siapa tahu kamu belum sempet baca email daftar pertanyaannya,” aku berusaha memecah kekikukan yang ada akibat absennya jawaban Raya. Padahal aku yakin dia pasti sudah membaca email yang kukirim sebab dia tidak suka melakukan sesuatu tanpa persiapan yang cukup. Perempuan itu masih saja memenjaraku dalam keheningan yang begitu mengganggu.

“Adan, aku pengen makan soto deh. Abis siaran ini kamu ada acara?” jawaban yang sama sekali tidak terduga darinya.

Aku menatapnya kebingungan. Ardhana, pikirkan jawabannya!

“Kamu kurus banget. Soto 3 mangkok, gimana?” kali ini dia yang terlihat membunuh kekikukan. “Juga di mana aku bisa beliin kamu keceriaan? Udah aku bilang kan kalau kamu kehilangan banyak keceriaan, Dan,” dia menaruh kertas di tangannya ke meja di hadapan kami. “Juga kenapa kamu bersikap seolah-olah aku terpaksa di sini? Aku berterima kasih karena kamu bisa ngundang penulis lain tapi aku yang diundang. Anything to help you, Dan, I’m willing.”

Kemampuan Raya Gauri mengacak-acak otakku begitu kuat sebab bahkan ungkapan “soto 3 mangkok” saja mengaduk-aduk perasaanku. Juga kenyataan bahwa meski bertahun-tahun bersikap seolah tidak saling mengenal, dia masih tetap Raya yang bersedia membantuku.

“Mau masuk studio sekarang?” aku berdiri menunjukkan ruang di mana acaraku mengudara sebelum aku tampak seperti orang yang terlalu bingung memikirkan jawaban.

“Senyum, Dan. You used to smile a lot.” ujarnya sembari berjalan mengikutiku masuk ke dalam ruang kedap suara itu.

Aku menggelar senyum tipis mendengar ucapannya itu. Kubukakan pintu untuk mempersilakannya masuk terlebih dulu.
***
(Raya’s POV)

“Duduk, Ya” Ardhana menunjukkan pada sebuah kursi yang telah dilengkapi bantal tipis. Aku menyadari bantal sejenis tidak ada di kursi yang didudukinya.

“Skoliosisku nggak separah itu kali, Dan,” aku meledeknya. “Nggak perlu kamu repot-repot bawain bantal,”

Dia mengangguk meski seolah tidak menghiraukan maksud kalimatku. Aku lupa bahwa di antara kami tidak ada kata merepotkan—bahkan setelah tahunan berlalu.

“Btw aku nggak mau ya kalau tiba-tiba ada pertanyaan impromptu soal kehidupan asmara. Aku nggak punya jawaban yang menarik,” aku tertawa yang diikuti tawa seseorang tanpa berpaling dari dari layar berisi script siarannya. Aku melemparkan banyak candaan padanya sembari menunggu pembukaan acara ini. Sebisa mungkin aku ingin menunjukkan padanya bahwa sahabat lamanya itu sungguh-sungguh telah kembali.

“Yaya, apa kamu keberatan kalau di masa depan aku manggil kamu sahabat di depan umum? Atau bersikap selayaknya sahabat gitu? Toh sebenarnya orang-orang udah mulai sadar sejak artikel wawancara kita di DASA Post terbit terus juga waktu di acara bedah buku di sekolah….” Sepasang matanya masih lekat membaca ulang script-nya.

“Kenapa harus menunggu besok-besok kalau kamu bisa melakukan itu sekarang?” aku memotongnya yang masih berhati-hati berucap. “Kamu boleh banget bilang bintang tamu hari ini sahabatmu,” aku mengangguk menyadari dia menatapku tak percaya.

“Kamu tahu risikonya kan? Mungkin akan ada gosip soal kita dan juga di masa depan kita nggak boleh renggang lagi karena pasti orang-orang akan njadiin itu gosip miring.”

“Kayanya digosipin sama kamu bisa ningkatin popularitas sih,” aku tertawa usil yang masih disambutnya dengan wajah tak percaya. Aku tahu dia menyadari candaanku. Sementara itu acara yang mengudara sebelum acara ini sudah mengucapkan salam perpisahan. “Juga siapa bilang di masa depan akan ada break, Dan? Kamu meng-underestimate kesabaranku buat nggak asal minta break?” aku berujar mantap.

“Well, aku sangat meragukan itu sih, Ya. Buktinya kamu dua kali minta break,” kali ini dia tertawa meledek sembari mengarahkan pandangannya kembali ke layar. “Siap-siap, Ya. Dua menit lagi,” dia menyuruhku menirukannya yang memasang headphone yang sedari tadi bergantung di leher.

“Yaya, makasih ya,” dia menoleh kemudian berbicara tanpa suara tepat sebelum dia mulai membuka acara. Matanya terlapisi genangan tipis yang seolah mengabarkan padaku betapa lama dia menunggu persahabat kami untuk kembali seperti semula.
***
(Ardhana’s POV)

“Lama ya kita nggak makan bareng,” Pandangan Raya menyapu seisi warung kecil di dekat gedung radioku bertempat.

Aku mengangguk. Tanganku sibuk mengaduk-aduk soto di depanku. Aku tidak lapar tetapi aku akan tetap memakannya sebab perempuan di depanku ini selalu patah hati jika gagal makan soto saat dia menginginkannya. Juga aku tidak mungkin menolak saat dia hendak kembali membangun persahabatan kami yang retak di masa lalu.

“Dan, kayanya kamu bisa deh nggak bersikap kaku gitu. Kamu bikin aku ngrasa di antara kita masih ada masalah. Sementara selama ini yang bikin masalah itu aku. Aku jadi ngrasa terus-terusan bersalah nih. Atau kamu sengaja biar aku minta maaf terus?” Dia melirik tajam seolah mencurigaiku. Kedua matanya lalu melengkung tersenyum seperti biasa mengabariku bahwa dia hanya sedang bercanda.

Aku menirukan senyumnya.

“Sebagai permintaan maafku, aku ngebolehin kamu baca diary-ku selama kita break. Biar kamu tau semua yang aku alami dan rasakan selama ini seolah-olah kita masih temenan,” dia merogoh tasnya kemudian mendorong buku yang sampulnya kukenali menyusuri meja mendekati tanganku. “Dengan begini kita seolah nggak pernah berjarak, Dan,”

“Tapi, Ya…” suaraku tercekat. Aku mempertimbangkan haruskah aku meneruskan kalimatku. Setelah bertahun-tahun “bertengkar” dengan Raya, aku menjadi berhati-hati bersikap dan berbicara—khawatir jika pertemanan yang setipis selembar lapisan es itu akan retak berhamburan karena sesuatu yang tidak kusadari adalah kesalahan.

“Kalau kamu nggak pengen baca ya udah,” ujung jari-jarinya menarik kembali bukunya tetapi tanganku cepat menghentikannya dengan menahan ujung lain dari buku itu. Aku buru-buru mengambil buku itu dan memasukkannya ke tas. Aku meliriknya untuk memastikan dia sungguh merelakan buku yang menyimpan rahasianya yang tidak terceritakan itu untuk kubaca. Terlebih karena aku teringat ucapannya di masa lalu: diary ini catatan agar siapapun suaminya di masa depan mengetahui cerita hidupnya. Ah, berapa tahun sudah berlalu. Raya pasti sudah melupakan ucapan itu.

“Nanti aku baca di apartemen ya. Aku balikin kalau udah selesai,” ucapanku setelah kami  menghening beberapa menit menikmati makanan favorit kami itu.

“Well berhubung aku dateng ke sini karena dateng ke acaramu, kamu yang bayar ya,” Raya tersenyum tak bersalah.

“Lho kan kamu yang ngajak,” protesku.

“Kalau aku nggak dateng ke acaramu kan aku nggak bakal ngajak. Penyebab utama kita makan ini karena acaramu ngundang aku,” Raya tersenyum penuh kemenangan.

Senyum menyebalkan itu selalu menjadi alasanku tidak bisa menang atas perempuan ini. Aku bangkit dari kursi dan menghampiri ibu penjual soto langgananku ini. Aku menyodorkan uang yang disambut dengan tawa sang perempuan paruh baya itu. Ia berkata bahwa perempuan yang datang bersamaku sudah membayarnya. Aku menoleh untuk mendapati Raya tersenyum usil. Aku menunduk menyembunyikan senyum yang otomatis menyembul. Kalau ada sesuatu yang bisa disebut rumah selain bangunan di mana orang-orang yang kita sayangi berada, sikap Raya yang telah kembali seperti semula—dengan keusilannya, dengan candaannya—adalah rumah. Maybe that sounds so simple yet when I see her smile just like way back then, I feel home.

“Aku pulang dulu ya,” dia melambaikan tangan kemudian masuk ke dalam kendaraan yang dipesannya melalui aplikasi. “Thank you, Dan,”

“Yaya..” aku menahan kaca mobil yang sudah hampir sepenuhnya tertutup. “Kamu inget apa yang kamu bilang soal diary ini waktu kita di sekre PENA?” tanganku berhenti memegangi kaca itu kemudian melambaikan tangan. “I’m not sorry. Hati-hati di jalan,” aku menahan tawa pada wajah terkejutnya sebab barangkali dia baru saja menyadari sesuatu.

“Dan, aku nggak bermaksud begitu,” Kepalanya menyembul keluar lalu terdengar teriakan dari kendaraan yang sudah mulai berjalan itu. Di wajahnya tergambar jelas bahwa dia merasa wajib menjelaskan ini padaku. 

“I know. I know.” Aku mengangguk kemudian melambaikan tangan.
****

Aku membuka buku harian yang Raya berikan. Beberapa kali aku melihat buku ini ketika Raya menulis diary di sekre PENA dan membukanya seolah memberiku akses langsung ke masa lalu.

Diary, adegan semacam ini seharusnya tidak terjadi dalam hidupku.

“Tebak dulu siapa, Ya?” bisik Adan.

Aku mengangkat bahuku. Aku tidak tahu. Aku tidak ingin tahu.

“Putri” bisiknya kembali dengan senyum yang bisa kulihat meski aku masih menatap lurus ke depan.

Hari ini Adan memberi tahuku bahwa dia menyukai Putri. Aku menahan diri dari menoleh agar ekspresiku tak terbaca tetapi tentu saja aku gagal. Dulu setiap Adan meledekku agar tak jemawa merasa mengetahui segala tentangnya–masih banyak rahasia yang aku tidak tahu, aku berbisik dalam hati bahwa aku mengetahuinya sampai sumsumnya. Hari ini aku harus mengakui dia begitu pandai menyimpan rahasia ini. Aku mungkin memang tidak mengenalnya sedalam itu.
---

Kadangkala, aku ingin sekali tahu kabar Ardhana. Aku tidak terbiasa hidup tanpa mengetahui kabarnya. Tapi sekarang, aku merasa tidak lagi bisa menyapanya dengan leluasa. Aku tidak mau mengganggu perasaan Putri juga tidak mau terus-menerus merepotkan Adan. Kali ini, kumohon, Raya, bantu hubungan Ardhana dengan tidak hadir di tengah-tengah mereka.

Melihat bagaimana Ardhana memperlakukan Putri, aku menyadari sesuatu: ternyata semudah itu peran utama dalam hidup seseorang bisa berganti. Atau aku yang terlalu serakah karena dulunya selalu mendapatkan seluruh perhatian Ardhana dan kini merajuk karena kehilangannya?

Padahal aku memang tidak berhak apa-apa atasnya. Dia hanya terlalu baik sementara aku tidak berhak mewajibkannya untuk terus menjadikanku pusat dunianya.

Barangkali aku memang tidak pernah menjadi pusat dunianya. Aku hanya terlalu percaya diri berasumsi demikian. Hanya saja kadang kala, aku merasa dia meletakkanku tepat di pusat kehidupannya. Entahlah.
---
Hari ini Adan bercerita bahwa dia demam. Dari saluran telepon kami, aku seakan bisa melihat matanya berkaca-kaca. Adan memang aleman saat sakit. Dia biasanya selalu diurusi dan dimanja oleh budhe ketika sakit dan kali ini dia harus menghadapinya sendiri di kosan. Aku ingin sekali pergi ke Jakarta untuk mengurusinya. Tapi bagaimana dengan Putri? Aku tidak mau menjadi seseorang yang merenggangkan jarak mereka yang sebenarnya hanya berjeda sementara saja. Maka biarlah di matanya aku seperti seseorang yang tidak berbuat apa-apa untuknya.

Tetapi tidak melakukan sesuatu pun untuk seseorang yang penting bagi hidup kita ternyata membutuhkan begitu banyak usaha. Aku harus menahan langkah batinku yang hendak berlarian ke stasiun. Aku harus meredam gelisah yang membanjir dan kini menenggelamkanku. Tak apa setidaknya aku sedang melakukan sesuatu agar dia bisa kembali pada perempuan yang disukainya. Baginya bukankah itu sesuatu yang penting?

Nanti saat Adan pulang ke Yogya, aku ingin berterus terang padanya. Aku rela jika Ardhana marah, aku ikhlas jika kemudian berjarak— demi kebaikan perasaan kami masing-masing.
---

Apakah seseorang boleh sangat membenci kenyataan bahwa seseorang yang menganggapnya bukan siapa-siapa mengucapkan selamat tinggal begitu mudah? Bukankah sudah kukatakan pada diriku sendiri jika aku lelah maka aku harus beristirahat, jika aku begitu lara menyimpan perasaan maka aku harus berterus terang? Mengapa aku harus merasa demikian patah ketika Adan justru sedang mempermudah langkahku untuk menghapus perasaan?

Sebenarnya aku ingin sekali dia menghalangiku melangkah pergi. Bukankah aku terlalu egois? Aku hanya ingin berterus terang agar kemudian dapat mengikhlaskannya tetapi mengapa aku masih mengharapkan sesuatu darinya?
---

Dulu aku selalu iri ketika Adan melakukan hal-hal manis pada Putri—mengikat tali sepatunya, menulis puisi untuknya, menatap dengan mata berbinar-binar. Kini aku tahu rasanya mendapatkan itu semua, bahkan lebih. Tetapi saat aku pikir kebahagiaanku akhirnya datang, Kang Raka tak sengaja membaca diary ini. Sejak saat itu, aku merasa dia berubah. Hanya sebab di masa aku lalu banyak menceritakan Adan, Dia selalu menganggap Adan tembok tebal yang menghalangi hatiku untuk melihat seseorang lain. Tidakkah dia menyadari bahwa peran utama dalam hidup seseorang dapat berubah? Aku mulai ketakutan jika dia akan meninggalkanku.
---

It broke my heart to break Ardhana’s heart. Aku masih berdiri mematung beberapa menit di depan pintu apartemennya meski aku tahu dia tidak akan membuka pintu ini saat itu. Aku benci harus menyelamatkan hatinya dengan mematahkannya. Tetapi apa yang bisa aku lakukan saat ini? Mengapa dia harus datang seterlambat ini? Ini sungguh tidak adil bagiku bukan? Aku menunggunya memiliki perasaan yang sama denganku sampai aku lelah lalu kini dia seenaknya hendak meluluhlantahkan hubungan yang sudah kubangun bertahun-tahun. Juga betapa menyedihkan aku harus tampak sebagai tokoh antagonis meski sesungguhnya aku yang paling tersakiti hari ini.
---

Hari ini aku bertemu Adan kembali di sekolah. Dia terlihat lebih kurus. Ekspresinya tidak lagi terang seperti dulu. Melihat bagaimana dia merendahkan topinya agar wajahnya tidak terlihat—aku hampir-hampir tidak mengenali Ardhana yang extrovert, yang senang berada di keramaian. Apakah popularitas telah sedemikian tega merebut keceriaannya? Kadangkala aku ingin bertanya apakah dia benar-benar tidak peduli pada para pembencinya (ingin sekali kukatakan kepada mereka: jika mengetahui seberapa keras Ardhana berusaha, kalian tidak akan pernah bisa mengucapkan kalimat yang buruk kepadanya), apakah dia menikmati namanya bergaung begitu keras, dan apakah dia tidak kehilangan tujuan awalnya ingin menjadi penulis?

Juga ingatkah dulu aku pernah berkata soal peran utama? Aku merasa Adan adalah orang yang memiliki semua persyaratan menjadi tokoh utama tetapi dia tidak menginginkannya. Jadi aku tidak akan memasukkannya dalam kandidat pemeran utama hidupku. Sudah sejak lama aku tidak berharap apa-apa tentangnya. Tetapi kini melihatnya melepas topinya untukku, mencarikan bantal untuk sandaran punggungku—aku menjadi punya harapan untuknya. Bukan. Bukan aku berharap dia menjadi tokoh utamaku. Aku hanya berharap cerita di mana dia menjadi pemeran utamanya akan menjadi kisah yang pantas untuk hatinya yang baik. Aku berharap perempuan itu begitu benci untuk mematahkan hatinya.
---

Hari ini aku akan berbicara di acara yang dipandu Adan. Hari ini juga aku akan menyerahkan buku ini kepadanya. Aku ingin memintanya menyimpannya. Aku takut jika suatu saat aku kembali jatuh cinta, hubunganku akan kembali retak karena diary ini. Terima kasih sudah menemani semua hari-hariku. Sekarang berpindahlah ke pemilik barumu.
---

Aku menutup buku di tanganku. Jarum jam terdengar begitu berisik di tengah malam ini. Aku memandangi jalanan Jakarta yang belum juga sepi yang seolah terlukis di jendelaku. Ada terlalu banyak informasi yang berjejalan memaksakan diri masuk kepalaku dan aku bahkan tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang. Membaca buku harian seseorang terasa seperti menemukan semua kepingan-kepingan puzzle yang hilang. Memasangkan kepingan-kepingan yang hilang itu ke dalam papan puzzle-ku justru menghancurkan keping yang sudah tertata. Kata-kata yang tidak terucap kini tersampaikan tetapi aku tersadar bahwa sebagian hal memang sebaiknya tidak kita ketahui. Aku menenggelamkan wajahku lalu terisak.

Aku yang sedari tadi mengabaikan notifikasi di ponselku menoleh ke layar sebab sepintas melihat akun Raya menyebutkan akunku: Terima kasih @ardhanakawi sudah memandu acaranya dengan baik” bersama dengan foto kami berdua di studio. Raya tidak lagi takut menunjukkan persahabatan kami yang sedari dulu dirahasiakannya rapat-rapat. Aku tersenyum dengan air mata yang masih belum berhenti mengalir.
----
(to be continued)

0 Comments:

Post a Comment

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE