BUKU CATATAN
- April 09, 2015
- by Nur Imroatun Sholihat
Kita bersua lagi setelah beberapa
waktu di dimensi yang tak ku duga akan membekukan kita berdua di ruang yang
sama. Lama tak berjumpa, kau bersama seseorang kini. Aku mencoba tersenyum
meskipun sadar aku bisa saja menatapmu kosong. Aku berhak mempertanyakan
mengapa secepat ini aku terlupakan, bukan? Jauh di palung jiwaku, aku
menyimpan rasa yang porak poranda terhuyung-huyung karena badai. Kau dahulu
adalah angin sepoi-sepoi yang meniup embun perlahan. Sekarang kau adalah badai
yang hendak menggulung dan menelanku hilang.
Kau menyapaku dengan nada yang
sama kau biasa memanggilku. Kau masih angin lembut yang mengusap wajah dengan
halus. Bagaimana mungkin otakku menerjemahkanmu sebagai badai jika aku tak
benar-benar gila. Aku semestinya melarikan diri dan bersembunyi saat kau
menghampiri. Entahlah. Aku justru diam di koordinatku berdiri sejak tadi. Aku
tak bergerak karena dua alasan. Aku tak bisa menghindari kenyataan bahwa suatu
saat kita pasti akan bertemu lagi dan kaki yang membeku begitu saja.
“Kau masih suka membeli ini?” Kau
menunjuk buku catatan kecil yang setelah ini akan ku bawa ke kasir. “Masih suka
membawa buku kecil ke mana pun kamu pergi?”
Aku mengangguk. Udara yang
melihat persuaan kita menggeleng. Waktu menatapku penuh belas kasihan.
Kau memperkenalkannya kepadaku
dengan menyebutnya sebagai seseorang yang akan mengisi masa depanmu. Nada
bicaramu biasa saja—karenanya aku merasa tidak biasa. Dia tersenyum mengulurkan
tangannya kepadaku. Sama sepertimu, aku juga ingin bersikap biasa saja.
Seandainya saja otak dan tanganku tidak sama-sama beku. Seharusnya aku langsung mengulurkan tanganku ketimbang menunggu sekian lama untuk menjabat tangannya. Aku mungkin sama sekali
belum terbiasa pada situasi seperti ini. Pergerakan tangannya memperkenalkan diri membuat udara seakan menggantung di bahuku.
Apakah masa udara bertambah
semenjak kau pergi?
Aku mungkin akan baik-baik saja
seiring berjalannya waktu. Batinku tak akan sepedih ini jika saja aku tak harus
melihatmu diam-diam tersenyum malu-malu setelah mencuri pandang ke arahnya. Buku
catatanku yang lalu-lalu memberontak ingin meloncat dari tasku. Kau setidaknya
bisa berpura-pura takut bertemu denganku dan bersikap tidak biasa. Bisakah kau
menghargai perpisahan kita dan memberi sedikit jeda untukku menyembuhkan lara?
Rasa-rasanya menunggu tidak melulu buruk. Tunggu setidaknya sampai aku tidak lagi refleks menulis namamu. Aku masih suka mencatat bagaimana
perasaanku kepadamu di buku ini. Aku yang pelupa ternyata tidak mudah lupa
padamu. Aku yang pelupa ternyata masih mencatatmu karena tidak ingin
melupakanmu.
Hal-hal yang tercatat di buku ini
hanya hal-hal yang tidak ingin ku lupakan—kau salah satunya. Setelah ini, aku
akan membiarkan halamannya hampa ketimbang menyebutkan sebuah nama dan kenangan
atau harapan.
----------
(Tell me goodbye)
(Tell me goodbye)
image source: here
0 Comments:
Post a Comment