IMZ’S DIARY 30082015
- September 03, 2015
- by Nur Imroatun Sholihat
Semua hal yang terjadi di sekitar kepindahan saya dari Jakarta.
Episode I: I FORGET JAKARTA
Mengapa saya menulis bagian ini? Ah, this friend. Dia merekomendasikan
sebuah lagu kepada saya menjelang kepindahan saya dari Jakarta. She said, “Go
listen to ‘Forget Jakarta’. I remember I was sobbing while listen to
it.”. Malam itu saya terpaku mendengarkan suara
Adhitia Sofyan di lagu tersebut. Lagu ini sepertinya akan menjadi lagu yang
sering saya dengarkan ketika saya sudah tidak di Jakarta lagi. Haha. Padahal saya pergi untuk
sementara saja tetapi saya kelewat sentimental saat ini. Mendengar lagu
ini seolah saya sedang berada dalam sebuah perjalanan tanpa arah mengelilingi
Jakarta. Saya tercekat seolah setiap sudut Jakarta menyimpan memori. Saya terdiam seakan segala hal yang dulu
saya anggap duka kota Jakarta adalah hal yang menyenangkan untuk dikenang.
Suddenly I only remember the lovely things about this city. But I need
to forget
Jakarta (for a while). Jakarta, neomu sarangsurowo :)
Di hari-hari terakhir di
Jakarta, saya membiarkan diri berkawan baik dengan kemacetan. Saya memandang
langit Jakarta di sela kemacetan itu. Saya baru sadar kalau saya sangat jarang
menyempatkan diri menikmati langit di Jakarta. Saya merekam setiap
kejadian-kejadian kecil di kota ini menjadi sepotong film dokumenter di pikiran
saya.
Semua akan saya simpan
baik-baik di dalam hati saya: senyum sahabat-sahabat baik yang tinggal di Jakarta, kenangan-kenangan manis
yang tertinggal di Jakarta, perasaaan-perasaan yang hanya bisa dimiliki oleh
mereka yang pernah tinggal di Jakarta, love-hate relationship with Jakarta. I bring those things with
me.
Seorang teman berkata bahwa takdir untuk pergi ke Lampung sudah terbaca
jelas sejak saya lahir. Dia membuat plesetan dari nama saya yang semula “Nur Imroatun
Sholihat” menjadi “Nur Imzroadtolampung Sholihat.”. Haha, he’s completely a
weirdo even from the start. Dia berhasil mengajak teman-teman di ruangan untuk
iuran membuat spanduk yang akan dibentangkan di hari perpisahan saya. Kebetulan
perpisahan itu bertepatan dengan family gathering Bagian SIP, bagian yang
selama ini menaungi saya.
Ah, spanduk ini. They should make a sweet surprise but here they were. These silly
kiddos ㅋㅋㅋ
I can’t help missing them so much later. Their bizarre acts always happened to make me smile
:)
Episode 3: PERPISAHAN
Perpisahan adalah kata yang menginspirasi saya menulis cerpen ”Enam Tahun” beberapa waktu yang
lalu. Sedari dulu saya adalah orang yang sangat lemah di hadapan
perpisahan. Saya adalah orang yang ingin buru-buru pergi dari acara perpisahan sebab
mata saya sangat sulit menahan tangis. Karena ketidakmampuan saya untuk tenang
menghadapi perpisahan, saya bisa menulis cerpen tersebut tanpa hambatan berarti. I mean, I feel it by myself.
Ada banyak ketakutan yang menghantui pikiran saya. Saya benar-benar
tidak tahu apa yang akan terjadi di hidup saya setelah ini. Hal ini menyadarkan
saya bahwa saya sudah semakin berumur. Saya tiba-tiba menjadi takut terhadap
ketidakjelasan dan ketidakpastian yang membentang di depan saya. Saya
lebih enggan meninggalkan zona nyaman ketimbang dulu. Hihi. Seperti saya sudah
tua saja.
Oh ya, kembali soal perpindahan dan perpisahan. Di kepindahan saya kali
ini, acara perpisahan adalah hal yang tidak bisa saya hindari sama sekali.
Perpisahan dengan teman-teman kosan mengingatkan saya betapa
sederhananya kebahagiaan itu. Teman-teman ini selalu ada untuk berbagi cerita
dan saling menguatkan satu sama lain. Bagaimana mungkin tidak berbahagia memiliki
teman yang memastikan kita baik-baik saja.
Perpisahan dengan teman-teman di subbagian PKTI. Sejujurnya saya merasa sedih belum bisa
banyak berkontribusi di subbagian ini. Huhuhu. Saya baru setengah tahun ada di subbagian ini dan berharap bisa
melakukan lebih. Tetapi ternyata baru segini saja kemampuan saya. Saya
terkenang hari-hari di subbagian yang begitu menyenangkan itu. Semua stafnya aneh
dan “susah dibina”. Hihihi. Mungkin jika kasubbag saya memiliki tugas membina
kami, Beliau akan menyerah sebelum memulai. Haha. Staf PKTI terlalu unik untuk
dibina.
Perpisahan dengan teman-teman di Bagian SIP. Mungkin karena terlalu lama
bersama para pecinta IT ini, saya jadi berat berpisah dengan mereka. Tiada satu
pun hari yang saya lalui dengan rasa bosan bila bersama mereka. Setiap hari,
selalu ada yang patut membuat tersenyum dan tertawa. Dan spanduk perpisahan
yang dibuat untuk saya, entah bagaimana saya harus berkomentar. Mereka sampai
mencari foto saya jaman dulu (sewaktu saya masih suka ikut demo) dan menuliskan
hal-hal aneh di spanduk itu. Bang Bang Bang yang tertulis di spanduk adalah
judul lagu Big Bang yang selalu mereka gunakan untuk menyapa saya. Entah
harus terharu atau tertawa, biarlah tetap menjadi pertanyaan bagi diri saya
sendiri.
Anyway, SIP isn’t a group of co-workers. SIP is a family.
Perpisahan dengan YAFI. Waktu saya di YAFI belum selesai tetapi saya
harus berpindah ke kota lain. Saya akan selalu mengenang hari-hari yang seru
dan membahagiakan bersama teman-teman di YAFI. Saya juga meminta maaf karena
selama ini belum maksimal di YAFI.
Perpisahan dengan orang tua. Saya harus tenang sekalipun hati saya
bergemuruh sebab orang tua saya senang ketika saya melanjutkan studi. Saya
tidak punya pilihan selain menyembunyikan rasa takut dan resah. Ketakutan saya
itu tentang tidak bisa sering pulang ke rumah ya? Selama di Jakarta saya juga
tidak bisa terlalu sering pulang ke rumah. Jadi, mengapa saya takut untuk pergi
sedikit lebih jauh dari biasanya? Ayolah Im, kamu tetap bisa menemui orang
tuamu saat liburan tiba.
Perpisahan dari zona nyaman. Need no explanation. (Somehow perpisahan
dari zona nyaman selalu identik dengan hal-hal baik bukan? Saya percaya
hari-hari saya di Lampung akan menjadi hari-hari yang baik.)
Episode 4: 730
“Maka buatlah hatimu ingin menunggu
Tujuh ratus tiga puluh hari saja
Aku kembali”
Jika ada yang sudah membaca puisi saya yang berjudul 730, saya akan
menjelaskan mengapa puisi itu ditulis. Dua tahun atau tujuh ratus tiga puluh
hari bisa dibilang sebentar tetapi bisa juga dibilang lama. Saya tidak tahu apa
yang akan terjadi selama dua tahun saya ada di Lampung dan bagaimana keadaan
orang-orang yang saya kenal dan berada di Jakarta. Saya berharap mereka tidak
melupakan saya. Lebih dari itu, saya berharap mereka mau menunggu saya kembali.
Saya tidak tahu mereka mau menunggu atau tidak sehingga saya meminta hati
mereka untuk mau menunggu. Saya pasti kembali InsyaAllah.
Saya akan kembali.
0 Comments:
Post a Comment