PASTEL TONED SKY
- May 20, 2016
- by Nur Imroatun Sholihat
PART #1: FALL AND RAINY SEASONS
Di luar jendela
kami, angin tengah bertiup perlahan menggerakkan dedaunan. Cahaya matahari yang
menelusup dari sela daun-daun masuk ke dalam rumah melalui jendela yang sedang
kami tatap bersama. Arda menyandarkan punggungnya ke sofa lalu mengalihkan
pandangannya menuju buku yang baru saja aku berikan kepadanya. Matanya
berjalan menelusuri kata demi kata. Aku duduk di sampingnya bersama waktu yang menghening menikmati perpaduan yang berada di urutan kedua favoritku: dia
dan buku. Sebab jika kau bertanya padaku perpaduan apa yang paling aku sukai jawabnya adalah dia dan mesin.
“Jika aku telah
ada di sampingmu saat itu, kau tahu apa yang akan aku lakukan?” Arda seakan begitu bersemangat membalas satu
per satu ceritaku.
“Terima kasih
karena tiga tahun yang lalu kau memutuskan untuk mulai menulis apa-apa yang
terjadi dalam hidupmu. Aku ingin sekali menjadi orang yang telah mengenalmu
saat itu.” Arda menunjuk halaman pertama buku bersampul biru itu.
Aku pertama
kali menulis ketika daun-daun pepohonan sepanjang jalan di kampus berguguran.
Kala itu, aku merasa demikian kesepian. Sepertinya ingatanku
akan hari itu terlalu kuat melekat. Negara ini tentu saja bukan negara empat
musim tetapi entah mengapa musim gugur seolah terjadi hari itu. Aku melihat
kebahagiaan yang terpancar dari berpasang-pasang manusia yang menyusuri jalan
yang mungkin bagi mereka adalah latar romantika.
“Aku akan
membuka kaca helm-mu agar kau tidak bisa menangis, Nera.” Lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arahku. Ah, bukankah itu bunyi cerita pertamaku di
buku itu?
Dedaunan berjatuhan memenuhi sepanjang jalan kampus. Aku merindukan rumah yang jauhnya tidak bisa ku tempuh sebentar saja. Hari ini kelas akuntansi lanjutan dan seperti biasa aku terpasung dalam
ketidakmengertian. Aku senang kaca helm-ku berwarna gelap. Entah sejak kapan
ini bermula tetapi aku merasa aman menangis di balik kaca ini. Aku akan mulai menceritakan
hari-hariku kepadamu. Assalamualaikum, seseorang di masa depanku.
Arda menarik
napas panjang. Dia tersenyum kecil—senyum yang masih aku pelajari maknanya.
Dia membaca catatan selanjutnya. Kali ini tentang hujan.
Aku tidak ingat
betul perasaanku pada hujan tiga tahun yang lalu sebab memang sikapku terhadap
hujan kerap kali berganti-ganti. Aku menunggu apa yang akan seseorangku ini
katakan tentang catatan keduaku.
“Hahahaha” Arda
tertawa lepas. Matanya melengkung bulat sabit sebab tawa terlalu girangnya itu.
“Apakah kamu benar-benar tidak punya sikap terhadap hujan?”
Aku mengerutkan
kening. Meskipun aku suka menghafal, kali ini sungguh aku tak mengingat apa yang aku tulis.
“Aku nggak inget
sih, Da, nulis apaan.”
“Apakah ini
sudah musim penghujan? Setiap orang tentu memiliki rasa khusus terhadap hujan,
entah suka kepadanya atau tidak. Tetapi aku belum memutuskan perasaanku pada
hujan. Sementara waktu aku akan bersikap netral. Aku akan memberi tahumu jika
aku telah menetapkan perasaanku pada hujan.” Arda membunyikan paragraf itu dengan
menirukan nada bicaraku. Kini aku yang gantian tertawa lepas. Apakah demikian
luang waktuku hingga aku sempat menulis hal yang sungguh tidak penting itu?
“Jadi sejak
kapan kamu mulai menyukai hujan?” Lelaki bermata bulat itu berujar ketika tawaku
telah mereda.
Aku ingat. Aku mulai melihat hujan secara positif sebab seseorang tampak begitu indah di bawah rintiknya.
Tunggu. Apakah aku menyebutkan namanya di dalam catatanku?
(to be
continued)
----
image source: favim.com
0 Comments:
Post a Comment