LIMA KISAH
- November 25, 2018
- by Nur Imroatun Sholihat
PART 1: YESTERDAY ONCE MORE
source: trackblasters.com |
Jarum jam di tanganku
telah menunjukkan pukul 09:45 malam. Untuk mengusir kantuk yang mendera seusai
seharian bekerja, aku menyalakan mp3 player di mobilku. Hanya ada beberapa lagu
di playlist itu. Di antara beberapa lagu itu, ada satu lagu yang selalu aku putar
berkali-kali setiap aku menyetir. Pikiranku malam ini melayang mundur ke masa
aku secara tak sengaja mendengarkan lagu ini kemudian menjadikannya lagu
kesukaanku sampai saat ini.
“Those old melodies still sound so good to me
as they melt the years away”
Suara lirih yang
menggema dari speaker memaksaku pasrah ditarik lorong waktu ke belakang. Bahkan
setelah bertahun-tahun, melodi ini seolah menghapus waktu yang membentang
antara aku dan kenangan itu. Aku membanting kemudiku untuk berbalik arah. Aku
harus berhenti berpura-pura baik-baik saja. Aku harus berhenti membodohi diriku
sendiri bahwa aku tidak ingin bertemu dengan Naura Rayadinata, perempuan yang
sering menggumamkan lagu yang saat ini seolah tengah memukuli perasaanku itu.
****
Naura hendak
memasuki studio ketika Ayu memberhentikan langkahnya. Penyiar yang baru saja
selesai siaran itu memegangi tangan Naura di depan pintu ruang siaran.
“Nau, dateng ya.”
Ayu mengulurkan undangan berwarna merah marun dengan pita keemasan.
“Yah, aku sedih
sekarang udah nggak punya temen yang belum nikah.” Penyiar acara 'Lima Kisah' itu tertawa meski suara tawanya jauh dari renyah seperti julukan orang-orang
terhadap suaranya. Sang pemilik suara yang renyah itu kini tertawa dalam
tatapan yang tidak sepenuhnya bahagia.
“Padahal aku
berharap cita-cita kita dulu terwujud, Nau. Suami kita sahabatan terus kita
sering double date. Hmmmm.” Ayu
seolah merasa bersalah menikah terlebih dahulu di saat sahabatnya bahkan tidak
memiliki rencana pernikahan dalam waktu dekat.
Tawa Naura
berhenti. Air mata tiba-tiba menyelubungi bola matanya. Lingkaran hitam di
matanya bergerak cepat seolah menghalau sesuatu yang hendak mengalir.
“Oke Nau, kamu
siaran dulu deh. Nanti kalau mau cerita aku tunggu di luar ya.” Tak tega
melihat Naura yang selalu berubah rapuh ketika membahas seseorang, Ayu pun
membukakan pintu dan mendorong Naura perlahan agar masuk ke studio.
“Nggak usah.
Faris udah nungguin di luar. Kamu pulang duluan aja.” Naura menunjuk ke arah
sofa di ruang tunggu studio.
Ayu mengikuti
arah pandangan Naura untuk mendapati Faris tengah serius menatap layar
ponselnya. Dia tersenyum menyadari wajah serius itu sebentar lagi akan
ditatapkan dari waktu ke waktu—selalu.
“Serius banget.”
Ayu menjejeri calon suaminya itu.
“Dia mau ke
sini. Mau ketemu Naura.” Faris menunjukkan pesan dari seorang sahabatnya kepada
Ayu.
Jika beberapa
menit yang lalu, Naura yang kehilangan senyum, kali ini Ayu yang membeku. Dia
menghela napas panjang seolah ada beban begitu berat di pundaknya. Suara berat Naura
memulai acara yang dipandunya menambah kegelisahan Ayu.
“Is it okay for
them to meet again? I mean, will Naura be okay?”
Yang ditanya
terlihat sibuk berpikir meski tidak menemukan jawaban.
“Ditinggal
seseorang di usia segini, Ris, itu bener-bener nggak adil. Di saat temen-temen
kita mulai berrumah tangga, dia masih harus berjuang dengan kebingungan dan
kesendirian. Buat perempuan hal kaya gitu tuh nyakitin banget. Kamu tau kan,
Naura nggak pernah punya niat untuk menikah sama siapapun kecuali temen kamu
itu. Buat perempuan di usia kami, belum punya rencana pernikahan itu bikin
hidup rasanya gagal nggak peduli seberapa suksesnya kami.”
“Yu, aku tahu
kamu sedih sama kisahnya Naura tapi mereka udah sama-sama gede untuk ngambil
keputusan. Biarin mereka mutusin hidup mereka sendiri. Ayo kita pulang. Katanya
besok pagi mau hunting cincin.” Faris
bangkit dari kursi kemudian menatap Ayu yang tidak kunjung bangkit.
“Ris, makasih
ya.” Ayu bangkit kemudian mulai melangkah.
“Buat?” Faris
mengimbangi langkah Ayu.
“Semuanya. Buat
ngebolehin aku tetep jadi penyiar. Buat jadi orang berkepala dingin. Buat tetep
menerima aku apa adanya. Buat jadi orang paling sabar ngadepin aku.” Ayu
menatap Faris yang kini menundukkan kepala sembari tersenyum malu.
“Kamu takut ya
diputusin cuma gara-gara lebih mentingin siaran daripada jadi istri yang
nungguin suaminya pulang? Nggak. Aku nggak kaya temenku itu.” Faris tertawa.
“Tapi sebenarnya
mereka cocok banget ya.” Dari nada bicaranya, terlihat jelas kekecewaan di diri Ayu mendapati hubungan Naura berakhir begitu saja.
Faris mengangguk. Keheningan sejenak menyelimuti keduanya.
“That’s life.
Kita akan ngliat banyak orang yang cocok tapi nggak bisa bersama. Pada
akhirnya, adil nggak adil sih. Tapi hidup harus terus berjalan. Aku cuma
berharap yang terbaik buat Naura.” Faris menatap lurus ke depan.
“Kamu inget
nggak sih gimana ceritanya mereka pertama ketemu?”
“Inget lah. Itu
kan juga hari kita pertama ketemu. Di gedung ini juga.” Faris menunjuk lantai gedung kemahasiswaan yang kini mereka pijaki itu.
“Udah lama
banget ya kita saling kenal. I’m so lucky to marry my long time friend.”
“Kamu kok
sekarang jadi manis sih, Yu. Mentang-mentang mau nikah. Inget nggak dulu kamu
cuek banget. Sampai aku minta bantuan Naura buat negedeketin kamu.” Faris tertawa meledek.
Ayu ikut tertawa menyadari
dirinya dulu menolak Faris hanya karena ketua Forum Studi Akuntansi itu terlalu serius.
“Habisnya siapa
coba mau pacaran sama orang yang freak banget ngurusin debit kredit. Hidup kamu
terlalu serius. Masa cuma gara-gara nggak balance
aja ngitung ulang berkali-kali. Sebagai anak FISIP yang terkenal happy itu, aku nggak mau kebahagiaan hidup
dirusak keseriusan kamu.”
“Terus sekarang
kenapa mau nikah sama aku?” Faris kembali meledek.
“Nah itu
pertanyaannya. Kenapa aku happy banget
bareng kamu sampai sekarang.” Ayu menampakkan wajah bingung.
“Karena kita,
Yu, kaya debit kredit itu. Balance. Itu
sumber kebahagiaan kita.” Faris menatap Ayu dengan tatapan lembut.
“Itu bukan
gombal tapi aku berbunga-bunga banget dengernya.” Ayu tertawa yang disambut
tawa Faris.
Suara nada
dering dari ponsel seseorang mengalihkan perhatian mereka. Ditatapnya seorang
lelaki yang berlari menaiki anak tangga sembari mengangkat telepon yang
berdering. Dia berhenti di depan studio DASA Radio kemudian berjalan
mondar-mandir seolah tengah memutuskan haruskah dia masuk.
“Ris... Dia
nggak make kaos kaki persis 6 tahun lalu.” Ayu menatap langkah gundah lelaki
itu di depan studio. “Juga setelah bertahun-tahun, aku baru tahu kalau nada
dering hp-nya lagu kesukaan Naura.” Ayu berbicara lirih. Dia nampak
terkejut dengan apa yang didengarnya barusan.
“Hmmmm? Lagu tadi?”
Faris memastikan mereka membicarakan lagu yang sama.
“Yesterday Once
More, The Carpenters.” Jawab Ayu.
------
(to be continued)
------
(to be continued)
0 Comments:
Post a Comment