Namamu bersinonim dengan kafein, bukan?
Kau menyapa pagi
hari dengan sepucuk senyum manis yang membuat rasa kantukku lari
terbirit-birit. Tawa malu-malu yang terlukis di wajahmu menyulap kakiku menjadi
demikian ringan. Sah saja kau menolak disebut kafein meski hasil tes DNA
sekalipun membuktikan hal sebaliknya. Kau tak tampak sebagai kopi tetapi tak
lantas kau bukan kafein begitu saja. Kau mewujudkan diri dalam secangkir cokelat
hangat yang harumnya menarikku dari kejauhan. Aku bahagia di balik secangkir
cokelat hangat yang ku sesap perlahan. Rasa pahitmu tak seberapa sebab tenggelam
di antara gundukan gula. Karena kadar yang rendah kau dengan bebas mengalir di darahku
berbulan-bulan ini. Tak ada sedikit pun resistensi terhadapmu. Lama kelamaan aku
menjadi toleran terhadap kafeinmu. Tak lagi menganggapmu asing—kau bagian dari
darahku. Di awal persuaan kita, aku sungguh sulit tertidur karena kau mengajak
detak jantungku berlari. Setelah kita berkawan karib, aku tak lagi sulit terlelap
meski kau masih di tempat yang sama. Kau tetap tak mau mengaku dirimu kafein?
Kita bersua lagi setelah beberapa
waktu di dimensi yang tak ku duga akan membekukan kita berdua di ruang yang
sama. Lama tak berjumpa, kau bersama seseorang kini. Aku mencoba tersenyum
meskipun sadar aku bisa saja menatapmu kosong. Aku berhak mempertanyakan
mengapa secepat ini aku terlupakan, bukan? Jauh di palung jiwaku, aku
menyimpan rasa yang porak poranda terhuyung-huyung karena badai. Kau dahulu
adalah angin sepoi-sepoi yang meniup embun perlahan. Sekarang kau adalah badai
yang hendak menggulung dan menelanku hilang.