Seperti namamu,
warnamu begitu binar. Pancarmu adalah resonansi sinar yang melulu luput
berpulang. Kerap batinku berdarah menahan
laju biasmu. Aku harus pula tergesa menyangkal semarak tatap mata
sendumu berbinar-binar di hadapnya. Caramu mengalihkan bola mata ke arahnya seperti gerak
ombak pagi kala mentari terlelap. Caramu terdiam saat sinarnya berpendaran, caramu
tertunduk menyangkar senyum karenanya. Lalu rindu yang ku bungkus berceceran di
halaman.
Aku kesal melihatmu
diam-diam menyinarinya. Aku kecewa kau mengendap-endap di sudut batin membiarkanku
sempurna berputus asa. Tak henti kau membuat setiap helaan napasku berwarna kelam. Namun, tak satupun membuatku lebih kesal ketimbang perempuan yang
tak jua menyadari sinar yang tak
terbagi bersimpuh di hadapnya. Saat aku berdoa gelombang
cahayamu merambat ke arahku, dia justru sibuk memantulkanmu.