![]() |
abaikan wajah-bangun-tidur-dan belum-mandi kami |
Jakarta sejak kemarin dipeluk hujan. Sudah lebih dari 24 jam sang ibukota berkawan dengan air dari langit itu. Sebagai pegawai negeri berdedikasi tinggi yang tidak rela gajinya dipotong, kami yang baru terbangun dari tidur pun bersiap-siap berangkat ke kantor. Hal ini didasari analisa kami tentang kelangkaan metromini yang berimbas kami harus berjalan kaki ke kantor. Di foto kami terlihat tersenyum bukan? Tunggu dulu, kejadian aslinya jauh lebih drama dari yang terlihat. Seharian kosan kami mati lampu, tidak ada air untuk mandi kemarin malam. Tiga orang penakut di kosan memutuskan untuk tidur bersama di ruang menonton TV (Guess, who were them?). Pagi harinya saat terbangun, listrik belum menyala sehingga lagi-lagi tidak ada air untuk mandi. Kami pun hanya berganti baju dan langsung berangkat begitu saja. Abaikan kenyataan bahwa fashion kami sungguh tidak menarik dipandang mata berwarna. Karena kamar gelap, kami asal mengambil baju *true story.
I still wonder why people think
that my short stories happened in real life. I mean, they’re fictional. I wrote a lot and of course I used my
imagination. My random imagination brings me everywhere. Saya bingung setiap
kali disodori pertanyaan tulisan ini untuk siapa, tulisan itu tentang kejadian
yang mana. Hihihihi. Justru jika hal tersebut terjadi di dunia nyata, saya enggan menuliskannya menjadi cerpen—at least I say it's dedicated. Saya nggak mengelak kalau terkadang kejadian nyata memberi inspirasi, I’m inspired a bit. Tapi bukan berarti seluruh
ceritanya merujuk kepada seseorang atau sesuatu. Kalau memang menceritakan
kehidupan nyata, saya pasti nggak menulisnya sebagai cerpen. Banyak juga kan
tulisan di blog saya yang bukan cerpen atau puisi?