Seminggu
yang lalu, Dyan melempar wacana berkunjung ke hutan mangrove di kawasan PIK, Jakarta
Utara. Saya tidak tahu persis letak maupun segala detail lain tentang tempat
itu tetapi saya mengiyakan begitu saja. Dalam waktu dekat saya akan
meninggalkan Jakarta jadi rasanya tidak ada alasan berkata tidak. Akhirnya
kemarin pagi kami terpaksa
bangun pagi (lebih tepatnya saya sendiri, Dyan selalu gampang bangun pagi) dan bersiap-siap berangkat. Persiapan paling aneh yang kami lakukan adalah memilih beragam bentuk topi untuk keperluan foto. Kami naik transjakarta sampai halte
Pluit kemudian disambung dengan mikrolet U11. Kami berkata kepada supirnya
minta diturunkan di hutan mangrove. Di sebelah kiri jalan, kami melihat Yayasan
Budha yang besar sekali dan megah bernama Tzu Chi. Kami diturunkan di situ dan perjalanan
dilanjutkan berjalan kaki sekitar 10 menit.
Aku berhenti terjatuh setelah selama enam tahun terjatuh makin
dalam sepanjang waktu.
Aku
tidak benar-benar tahu sejak kapan tepatnya aku bisa melepaskan diri dari belenggu
yang telah memasungku enam tahun ini. Di masa awal kepindahanku, aku belum jua
berhasil membisukan suaramu yang menggaung di sekelilingku. Kini aku terbangun
mendengar alunan burung berkicau dan terlelap bersama keheningan. Suaramu
menghilang seperti kaset yang telah terlalu lama diputar sehingga rusak. Aku
tak lagi perlu mengusirmu yang selalu duduk santai di dalam mimpiku, kau sudah
tak lagi di sana. Aku melangkah dengan ringan karena tidak lagi membawa beban
perasaan yang menggunung selama bertahun-tahun. Perasaan seperti ini lebih sesuai
bagiku ketimbang perasaan cukup berbahagia hanya dengan mengetahui
keberadaanmu.
Hari yang biru itu adalah hari ini. Detik-detik perpisahan akhirnya menampakkan diri.
Aku tersenyum melepaskan satu persatu orang yang mengantarku. Mataku masih saja refleks mencarimu di antara orang-orang di sekelilingku. Berkali aku memastikan keberadaaanmu barangkali kau baru saja datang. Ketika aku telah memunggungi mereka dalam langkah kepergianku, mataku terasa begitu perih. Hingga detik aku melepaskan pijakanku dari kota ini, bayanganmu sekalipun tak berkelebat. Aku terlampau percaya diri bahwa kau pasti datang. Lebih dari itu, aku terlalu keras kepala untuk tidak mengusir suaramu yang menjadi musik pengiring kehidupanku enam tahun ini.
Aku tersenyum melepaskan satu persatu orang yang mengantarku. Mataku masih saja refleks mencarimu di antara orang-orang di sekelilingku. Berkali aku memastikan keberadaaanmu barangkali kau baru saja datang. Ketika aku telah memunggungi mereka dalam langkah kepergianku, mataku terasa begitu perih. Hingga detik aku melepaskan pijakanku dari kota ini, bayanganmu sekalipun tak berkelebat. Aku terlampau percaya diri bahwa kau pasti datang. Lebih dari itu, aku terlalu keras kepala untuk tidak mengusir suaramu yang menjadi musik pengiring kehidupanku enam tahun ini.
Kau
mendengar rencana kepindahanku bukan?
Kini saat
aku tidak akan lagi berdiam pada kota yang sama denganmu, aku menyadari betapa
lamanya aku berdiam pada hati yang sama. Telah begitu lama aku seolah mendengar tawamu sepanjang waktu. Betul kita berada di kota yang sama tetapi kau tak sedang
dekat maupun berucap saat aku terus mendengar suaramu. Aku ingat ketika pertama
kali kau tak sengaja membaca namamu di buku catatanku lalu aku terdesak
mengakui perasaanku. Kejadian itu masih terasa memalukan bahkan setelah enam
tahun berlalu. Aku masih mengingat ketika terakhir kali kita berjumpa dan kau
tetap bersikap seolah aku tak pernah berucap apa-apa. Kau tahu perasaanku dan
menganggap seolah tidak terjadi apa pun.