-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

About me

Hello

I'mNur Imroatun Sholihat

IT Auditor and Storyteller

So I heard you are curious about IT and/or auditing. I'm your go-to buddy in this exciting journey. My typical professional life consists of performing (and studying!) IT audit and managing the award-winning magazine, Auditoria. Armed with a Master's in Digital Transformation from UNSW Sydney, I'm currently wearing multiple hats—ambassador at IIA Indonesia's Young Leader Community, mentor at ISACA Global, Head of Public Relations at MoF-Cybersecurity Community, and trainer at IIA Indonesia. You'll also find me sharing insights on my YouTube channel, speaking at seminars, and crafting content on LinkedIn. Let's connect and dive into the world of IT and auditing together!

Blog

Showing posts with label fiksi. Show all posts
Showing posts with label fiksi. Show all posts

Sebelum Hujan

Tiba masanya periode sebelum hujan berdamai dengan getirnya tidak diinginkan. Bumi seakan tabah menyaksikan langkah tergesa-gesa sebelum hujan. Udara bersikap tenang saja mendengar keluh kesah yang berlalu lalang. Langit bersabar disesaki gumpalan pesan di pikiran manusia menjelang rinai. Kata-kata menggantung di awan hanyalah payung, secangkir teh, rumah, dan tentu saja rindu. Sementara dalam diriku bukan kaki, melainkan batin, yang tergesa-gesa. Di langit bergelayut pesan pencarian yang hampir putus asa.

 

Orang-orang hanya peduli pada hujan dan rumah--menyudutkan sebelum hujan pada sepi yang kumengerti. Aku, seperti sebelum hujan, mengenali betul rasanya tidak diinginkan. Jiwa ini, sama seperti sebelum hujan, memahami riuh yang mengabaikan kami. Maka kami duduk bersisihan menikmati hening yang dikurung agar tidak gaduh mengaduh.

 

Meski demikian, sebelum hujan dan aku tak yakin apakah kami baik-baik saja dipeluk sunyi. 

 

Pada aroma hujan yang bersiap mendekap bumi aku bertanya, seperti inikah perasaan rindu1? Aku telah melewati puluhan ribu hari sibuk mempertanyakan datangnya perjumpaan yang memporandakan raga dalam duga. Jika belum akan dipertemukan, mengapa aku harus memikul perasaan semacam itu? Jika takdir persuaan masih jauh dari harap, tidak bolehkah nanti saja kutanggung beban rasa sebesar ini? 

 

Maka sebelum hujan aku berdoa agar seseorang melintas begitu saja. Saat hujan nanti, aku ingin mengenali wajah yang bersembunyi atas nama rindu. Namun, sejauh mana pun aku bertanya, dia tak kunjung menjelma di hadapku. Hujan telah mempertemukan bumi dan langit sore ini. Sejauh apa dia saat ini untuk bertemu denganku? Apakah ia tidak berdiri di bawah hujan yang sama denganku? 


Kenyataan bahwa aku tidak mengetahui apa-apa tentang perkara ini sungguh mengoyak batin.

 

Aku pulang bersama senyap yang telah nyenyak tertidur di tas punggung. Lengang adalah satu-satunya yang tersisa membersamaiku. Jika aku berkawan baik dengan sunyi, lalu berapa lama lagi topeng bahagia ini bisa kuperankan dengan baik?

 

Sejujurnya, telah sejak lama aku tak ingin menyeberangi hujan seorang diri.

----------------------------------------------

1 Terinspirasi dari puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono bahwa hujan begitu tabah merahasiakan rindunya kepada bumi.

"Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni

dirahasiakan rintik rindunya kepada pohon berbunga itu"

---------

image source: Muhammad Rifki Adiyanto via Pexels

LIRIH

source: pixabay

Aku senang mendengar suara-suara lirih yang nyaris tidak terdengar di perpustakaan. Di antara bunyi-bunyi itu, aku bisa memisahkan alunan jemarimu membalik halaman buku. Aku bisa mengenali ayun matamu yang berdansa dengan aksara. Aku bisa mendengar tulang-tulang rusukmu terangkat ketika menghela udara. Di tengah riuh rendah itu, aku bisa membedakan suaramu ketika kau berbisik menceritakan sesuatu kepada kawan-kawan. Aku juga tak luput menyadari gelak tawa yang dirahasiakan agar petugas perpustakaan tidak menoleh ke arah kalian.

 

Aku jua mampu mengidentifikasi nada jarimu melangkah di atas papan ketik. Begitulah kau, membaca buku seolah waktu bisa dihentikan lalu menulis selama dua kali lipatnya. Aku berhasrat mengintip puisi yang tengah kau pijarkan melalui sepuluh jari-jarimu. Jadi sajak apa yang tengah berdenyut bersama jantungmu kini?

 

Irama lirihmu dalam melakukan segala sesuatu di perpustakaan begitu lain. Di tengah kegaduhan yang hampir terdengar hening itu, aku menemukanmu dengan mudahnya. Sementara udara yang dingin tak mampu meredam deru senyummu. Sementara wangi buku seolah memasung sepasang lingkaran matamu dalam dunia yang lain. Sementara larik-larik puisimu tampak tak ingin berbagi pujangganya dengan siapa pun.

 

Akankah kau datang tepat waktu ke perpustakaan hari ini? Apakah kau masih akan duduk di tempat yang sama seperti biasa? Akankah teman-temanmu akan menyusulmu tigapuluh menit kemudian seperti yang sudah-sudah? Akankah matamu bergerak dengan kelambatan yang sama ketika menelusuri satu per satu kalimat? Apakah jemarimu masih akan sesekali mengambil jeda di atas papan ketik ketika kau tengah berburu kata? Akankah kau melepas kacamata dan mengusap mata dengan cara yang sama?

 

Aku menemukanmu di sela-sela narasi yang kaukumpulkan. Aku menyelami bersama keingintahuan tentang sajakmu selanjutnya. Sementara sepuluh huruf namamu adalah puisi yang paling ingin aku lantunkan. Kau adalah buku yang ingin aku baca berkali-kali tanpa penghujung. Seperti kau menulis untuk orang lain, aku juga ingin menulis untukmu. Maka bolehkah aku meminjam sedikit senyummu untuk kuselipkan di antara kata-kata yang tengah tersedu itu?


Lalu mengutip Helvy Tiana Rosa, "Bolehkah sekedar kupinjam punggungmu untuk menulis puisi-puisi yang tak henti menangis?"

----------------

(latar: saya rindu menulis cerita fiksi)

 

Bahasa Ibu


Ada kerinduan menulis dalam bahasa ibu, seperti kehendak menyimak sepasang bola hitam di wajahmu tatkala aku tenggelam dalam kerumunan bola biru dan abu-abu. Terdapat keinginan kembali menyusuri jalanan kota di mana kau berada--walau berdebu, walau kelabu. Aku tersenyum meski menghabiskan waktu mencuri pandang sedang jarak pandangmu ke arahku sesak oleh debu. Aku masih akan menatapmu seolah ikan yang kaujerat dengan bubu lalu kausimpan dalam kumbu. Apakah ini yang Sapardi sebut sebagai “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu”?

Apa kabar, pria yang tersenyum bak sari tebu? Kalender menunjukkan hari Rabu di mana umumnya beban pekerjaan tengah sibuk-sibuknya menyerbu. Kuharap di hari seperti itu, hatimu masih sekokoh terumbu. Semoga di sana langitmu tak mengabu di tengah hentak lari di sekeliling nan menggebu. Kudoakan agar kegaduhan yang beriak dari klakson kendaraan di ibukota tidak mengusik sudut kalbu.

Apakah kau sudi mendengar kabarku, lelaki berpipi merah jambu? Hari-hariku menjemukan seperti masakan di kota ini yang miskin bumbu. Aku kemudian teringat bagaimana pagi harimu kerap diwarnai semangkuk lontong sayur labu. Kadangkala aku iri bagaimana matamu berbinar menceritakan makanan berkuah seharga lima ribu.

Kau pasti luput menyadari bahwa jiwa ini, terpaut benua denganmu, bak air di atas lumbu. Seperti sumbu yang berusaha ditegakkan dalam lampu minyak tetapi ia tetaplah sumbu. Maka aku menulis dengan bahasa ibu agar kerinduan memiliki keberanian berpindah kubu. Barangkali kau tidak sengaja membacanya lalu mengerti perasaan yang kubawa lelap di balik kelambu.

Sedari mula aku tahu bahwa berperang dengan perasaan tentangmu ibarat menghadapi pasukan bersenjata lengkap dengan hanya bermodal sebilah bambu. Hanya saja aku tetap menulis dengan bahasa ibu agar kau menyadari makna tatapan yang tersembunyi di balik debu.

-----------------

image source: adriansart

(Belum lama ini, saya menjuri lomba cipta puisi Hakordia 2022 dan kala menyelami bait-bait indah, saya tersenyum sembari berujar, "bahasa Indonesia sungguh cantik". Maka saya pun rindu menulis dalam bahasa ibu, bahasa yang meski saya mencoba memasuki gelanggang bahasa mana pun, akan tetap menjadi bahasa paling cantik karena kekayaan kosakatanya. Raga saya dapat berada di benua mana pun, jiwa saya dapat mempelajari bahasa mana pun, tetapi bahasa ini akan selalu menjadi yang tercantik. Lalu, saya mempersonifikasikan bahasa ibu itu sebagai seseorang. Kerinduan akan sesuatu yang kita sangat familiar dengannya bukankah selalu terdengar dramatis?)

Thy Eyes, The World’s Autumns in Entirety

source: farmanddairy.com


Walked through the alley of deciduous trees

A soul's empty stare ahead froze my feet

That coppery gleam in thou--was it bonfire or fallen maple leaf

Someone’s gaze so dull yet blinding

Those sorrowful pools were an eternal maze

Thy eyes, the world’s autumns in entirety

 

Shall I look away from thy brown pearls

A pair of ice lumps

of an expressionless snowman

On this lengthen frosty night

But thy eyes, the crescendo wail I can’t escape from

 

Thou howled for help in silence

Immeasurable depth of misery I was scared of

As if a smile was once there then faded forever

The leaves fell as my heart fell

Was it me or was the season overdramatic?

'Tis I

Did all autumns act in theatrical?

Did I

 

Someone’s gaze so dim yet dazzling

A perpetual labyrinth I involuntarily stepped into

Might be I unreasonably longed for autumns

Thy eyes, the world’s autumns in entirety

------------

P.S:

1. Very much inspired by my sentimental melancholic-yet-consoling arrival in Australia when it was autumn. It was intriguing that something is both sad and comforting. I tried to personify that season into someone that has eyes containing the whole autumn seasons of the world. We can't help but fall for that season as if we fall for him. I also utilize autumn’s synonym “fall” to strengthen the emotions. Heavily influenced by Shakespeare’s Sonnet writing style and diction (did you notice the archaic words?) but of course, it was just my attempt. There is no way my writing could come close to Shakespeare’s quality.

2. I must say that I had so much fun writing this part:

"Was it me or was the season overdramatic?

'Tis I

Did all autumns act in theatrical?

Did I"


*'Tis: It is (archaic)

I wrote it on purpose as "did I" instead of "I did" to rhyme "'tis I" while at the same time making it sound like I questioned myself as well. It is I who is overdramatic. It is I who acted in theatrical. Don't blame the beautiful innocent autumn :)

CANDALA

source: deviantart.com/hadila

Tuhan, aku akan mengetuk pintu-Mu bak pengemis

Bersandar seraya menyeka gurat-gurat tangis

Seperti gelandangan tak berpayung di bawah gerimis

Pada lindap suratan aku mengais

AKU AKAN BERPURA-PURA KAU TAK NYATA AGAR HATIKU TAK LARA

source: fullhdwallpapers3d.com

"Tonight I can write the saddest poem of all. To think I don't have her to feel that I've lost her." (Tonight I Can Write The Saddest Poem – Pablo Neruda)

 

Dua suku kata namaku seharusnya tidak perlu terdengar menyayat seandainya bukan dia yang mengucapkan. Suara itu seolah bergaung, tidak berbelas kasihan pada deretan waktu yang telah kuhabiskan untuk melupakan. Kuharap tak seorang pun memiliki kekuatan semacam ini. Dia hanya memanggil tetapi mengapa seluruh kenangan membanjiriku, hendak menenggelamkanku.

Perempuan yang Membenci Laut

source: giphy.com


Aku membenci laut

Barangkali sebab berkeinginan kau sudah di tepinya menyambut

Dengan kembang api yang diam-diam kausulut

Debur ombak yang kalah ribut ketimbang denyut

Jantungmu yang kibang-kibut beserta bersimpuhnya lutut

 

TETAPI SIAPA BETA UNTUK MENULIS PERIHAL CINTA

source: tenor.com


 Laksana peminta-minta nan nista

Tersita, terlunta-lunta di Jakarta

Mengudeta derita agar tak terlampau nyata

Di pusaran gegap gempita ibukota

Yang berpesta, dengan setumpuk harta

THE SECOND WIND

source: kera.org

Sat in a restaurant with low voices of people conversing in the back, I scrolled through her Instagram only to find that she was still the same—so was my heart. The way she never holds back her smile, naturally poses whenever a photo is taken—nothing changed from the old days. It bothered me that she didn’t text me even when it was almost the appointment time so I put my phone down. I needed to do something, which ended up being, washing my hand, to calm my frantic heart down. I was afraid that nervousness is all over my face. Would she come? She wasn’t the type of person who comes late so here I was half regretting myself not only for asking her to meet me, for the lame reason “hey I will be in your town how about a meetup?”, but also for being confident that she would certainly show herself up. It started because I jumped at the opportunity when I stumbled upon her Instagram 2 weeks ago. Now realizing that she had all the choices and canceling the meeting last minute was also an option for her knocked down my optimism.

KAWI

PART 12: MY HEART NEVER CHANGE
source: tumblr.com
(Raya’s POV)

Aku baru saja selesai meeting konsep buku salah satu penulis baru yang akan diorbitkan oleh penerbitan tempatku bekerja ketika sebuah pesan muncul di layarku. Panitia acara lustrum mengirimkan tautan untuk mengunduh foto-foto bedah buku yang diselenggarakan di lustrum ke-12 sekolah kami. Aku membuka tautan tersebut untuk kemudian terseret begitu saja dalam ingatan tentang hari itu, hari di mana aku kembali berbicara dengan Ardhana.

KAWI

PART 11: THE UNSAID
source: tumblr.com
(Ardhana’s POV)

“Raya Gauri ngejawab telpon gue barusan.” Mas Dirga, produser acara radio yang kupandu menghampiriku yang sedang merapikan script siaran. Seolah tidak ingin mendengar kabar selanjutnya, aku mengetuk-ngetukkan jari telunjukku ke meja.

“Dia mau jadi bintang tamu. Siap-siap ya, Dhan, buat minggu depan.” Dia menepuk bahuku.

DI BALIK LAYAR SURAT DARI IBU

source: instagram.com/thewidodo

Ramadhan kali ini jelas berbeda. Tidak ada lagi sudut pikiran yang berjingkatan merencanakan kepulangan ke kampung halaman di penghujungnya. Tidak lagi sama persuaan penuh kasih dengan sanak saudara dan handai taulan di tanggal 1 bulan selanjutnya. Bahwa tidak mengunjungi rumah, berdiam di perantauan, dan menahan sesak yang membanjiri dada adalah bentuk cinta setulus-tulusnya saat ini.  Itjen Kemenkeu ingin menepuk-nepuk bahu semua orang yang sedang mengarungi masa sulit itu dengan persembahan puisi berjudul “Surat dari Ibu” ini. Kami tahu air mata yang menggantung di sudut mata. Kami memahami kerinduan yang belum dapat terjawab dengan perjumpaan. Kami ikut merasakan masa di mana beban menjadi begitu sarat ditanggung batin.

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE