Senyum malu-malu milikmu adalah
senyum paling teduh. Mata bulan sabit yang melengkung saat kau tertawa terasa lebih
terang dari purnama. Udara di sekelilingmu sesejuk embun di waktu terpagi. Hari berhujan badai
kau sulap menjadi hari di mana matahari begitu perkasa. Hatimu sejernih air yang
mengaliri sungai-sungai di pegunungan. Tentu saja kau tak sebenderang itu. Kau hanya sedang membuatku mendramatisasi
semua kata-kata tentangmu.
Kesempatan berpapasan denganmu serupa
berjumpa tanggal 29 Februari. Sekalipun bertemu, secepat angin tertiup, kau
berlalu begitu saja. Jari-jarimu yang melambai ke arahku terasa seperti mantra
yang menghanyutkan. Apakah kau menyadari bahwa aku tak hanya memiliki nama tapi
juga rasa?
Sejujurnya, kau tidaklah
seistimewa itu. Jika manusia adalah bintang maka sinarmu tidaklah terang. Seandainya
manusia adalah payung, kau bukanlah yang sepenuhnya meneduhkan kala hujan. Kau
hanya bintang biasa yang berkeliling mengitari duniaku. Kau adalah payung kecil
yang yang ketika tak hujan terlipat rapi di dalam tasku. Tetapi aku tenang
menjinjingmu dalam setiap langkahku. Aku bahagia menyalakan binarmu dalam hatiku.
Cahayamu membuatku bisa melihat tanpa menyilaukan mata. Siapa bilang itu tak
cukup?
Terkadang orang yang kau cintai
adalah yang paling sederhana sinarnya. Aku menaruh hati pada sinar yang
menerobos sela-sela tirai jendelaku. Binarnya tak seterang cahaya-cahaya
lainnya tetapi mengetuk sudut mataku membangunkanku dari tidur panjang.
Sesungguhnya kau sesederhana sinar itu.