I know, letters are so last year but it's my only way to say everything unsaid. Jauh dari jangkauan matamu aku tetap melanjutkan kebiasaan lamaku. Serupa yang aku ceritakan dalam surat sebelumnya, aku khawatir kau telah menuliskan sesuatu secara terus-menerus di hatiku hingga cerita tentangmu tak pernah habis. Maafkan ketakutan yang selalu menghadangku mengirimkan surat padamu. Alasannya tentu masih sama. Aku tak ingin wanita yang menjadi istrimu kelak membacanya.

Cerita berawal dari Pondok Gontor yang menjadi tempat menimba ilmu Uda Fuadi. Pondok itu didirikan karena dulu tidak ada ahli agama yang mengenal dunia luar. Pendiri pondok di Jawa Timur ini berniat untuk membangun sekolah yang siswanya bisa berbahasa Arab sekaligus Bahasa Inggris. Ada banyak nilai luhur yang membuat siswa-siswa Pondok Gontor berhasil menjalani hidupnya. Salah satunya ketika pengajar mereka berkata "Man Jadda Wa Jadda" (barangsiapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil). Diceritakan oleh Uda Fuadi bahwa guru dan ustad di sana juga mencontohkan sendiri apa yang mereka katakan (uswatun khasanah). Selain itu, setelah beberapa bulan di sana, siswa dilarang menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi. Hanya ada dua bahasa untuk bercakap-cakap: Arab dan Inggris. Radio yang diputar di Pondok Gontor adalah saluran radio internasional. Dengan kondisi demikian, semangat anak-anak untuk bersekolah ke luar negeri menggebu-gebu.
Aku masih saja mengingat detail fragmen waktu ketika aku tak sengaja merapatkan
tatapan ke arahmu. Aroma debu yang kering seperti terguyur hujan lebat lima jam
lamanya. Suara sungai yang bergemuruh sesaat mengheningkan diri. Kau menawarkan
hati yang manis kepadaku. Karena ucapanmu itu, batas yang semula ada raib begitu saja.
Saat kita berada dalam jarak sedepa tiba-tiba ingin sekali aku memastikan satu hal. Apakah mata kita berkedip di millisecond yang sama? Aku tak habis pikir mengapa seseorang yang berkedip dalam tempomu begitu menarik. Ada sesuatu dalam pergerakan bola matamu yang membuatku tak ragu menamai perasaanku. Sepanjang waktu, senyummu yang sejuk seperti tengah menggantung di dahan pepohonan. Dan pergerakan kelopak matamu mengkuatkan gravitasi bumi.
Saat kita berada dalam jarak sedepa tiba-tiba ingin sekali aku memastikan satu hal. Apakah mata kita berkedip di millisecond yang sama? Aku tak habis pikir mengapa seseorang yang berkedip dalam tempomu begitu menarik. Ada sesuatu dalam pergerakan bola matamu yang membuatku tak ragu menamai perasaanku. Sepanjang waktu, senyummu yang sejuk seperti tengah menggantung di dahan pepohonan. Dan pergerakan kelopak matamu mengkuatkan gravitasi bumi.
Tak heran sejak hari kau memutuskan pergi ke laut, aku merasa bumi tidak menarik
telapak kakiku. Seseorang yang paling melindungi
mimpi-mimpiku tengah menyelami
samudera citanya. Karena
jarak, aku tidak sendirian tetapi kesepian. Aku berada
dalam kerumunan tetapi masih mencari-cari
seseorang.
"I
didn't know at that time when I was little. Everything was easy and it seemed
like everything was mine. But why is it only now that I miss you. I'm
officially missing you"
Saya seperti belum sembuh
dari kekaguman saya terhadap penampilan Tim A program WIN (Who Is Next) yang
diadakan YG Entertainment. Di battle kedua, Tim A menyanyikan lagu Officially
Missing You milik Tamia dengan lirik yang mereka gubah sesuai cerita hidup mereka
masing-masing. Bukan seseorang yang sedang mereka rindukan, tetapi masa lalu. Foto masa kecil mereka menjadi latar lagu itu. Kelima penyanyi ini menggerakkan emosi pendengar dengan musikalitas mereka. Kegeniusan menulis
lirik macam ini, bagaimana saya bisa membantah pesona talenta mereka. Dan yeah, kualitas vokal mereka bukan lagi seperti calon artis. Mereka telah tampil dalam paket seorang artis
profesional.
“ With a small
foot, taking a powerful steps. With a smile on his face, as if nothing to be
feared. Carrying a guitar on his back, that kid with a tittled hat. I’m
officially missing you” –Seungyoon-
Setelah kaleng cat dibuka, kita
mulai mewarnai kain dengan warna yang tak sengaja berbeda. Kau berceramah tentang betapa membosankannya kain-kain itu tanpa cat warna. Tanganmu tidak kehabisan ide untuk mengibarkan kain itu. Di dunia permainan,
batang kayu adalah tiang bendera kita. Terus terang sejak berkawan denganmu duniaku berjalan di luar garis kewajaran. Bukankah kita seharusnya memiliki bendera kita
masing-masing? Kita unik dengan paduan warna kita masing-masing. Kau
masih melanjutkan alasanmu mengapa kau menenteng segala warna cat di kedua
tanganmu.
Di masa lalu, dengan tas punggung mungil kita membawa beragam rupa mimpi. Anak kecil tak gentar berlari
mengejar pesawat kertas yang diterbangkan tinggi. Bila pesawat mendarat di tanah, bocah dengan lugu menerbangkan kembali kertas yang dilipatnya sendiri. Ketika kertas mimpi itu terdampar di dahan, dengan girang kita meraihnya kembali. Pesawat sederhana yang bisa kita buat begitu saja dan kapan saja itu dulu terlampau membahagiakan.
Suara parau radio yang bergema di sudut kamarmu
Mengepul secangkir
asap di gelas besi
Menyeruput si hitam pekat itu
Sama pahitnya dengan menungguku selesai berlarian di
pelataran
Aku kembali ke ruang ini
Mengaduk memori yang terkunci
Hanya saja tak ada seseorang duduk di sana menantiku kembali
Aku telah lelah bermain
Menyusuri daun ketela yang dulu kerap ku bandingkan dengan telapak
tanganku
Aku datang lagi dengan kaki yang sama
Tanah adalah alas kita
Tetapi aku tak menemukan jari-jarimu di sana
Seperti matahari, dia adalah seseorang yang berjalan ke arah barat. Sementara aku terlambat berpindah arah mengejarnya dari kejauhan. Jarak bayang-bayang kami sama jauhnya dengan batin kami. Kemudian aku berhenti untuk menunggunya berjalan dari timur keesokan harinya. Di satu titik kami tentu saja bertemu. Ada waktu kami bisa berpapasan, hanya saja terlampau sebentar.
Aku sendiri tak begitu yakin mengapa dia begitu memesona. Aku berhasrat menatap lebih lama sekalipun kilaunya menusuk mata. Aku ingin dia memperlambat langkahnya agar berjalan di sampingku. Aku berangan dia menawarkan hatinya kepadaku. Pandang yang teralihkan saat dia melintas, mulut yang terbata-bata mendeskripsikannya: entah.
Dari jendela yang sama, aku memutar ingatan hari lalu tatkala engkau
menyusuri taman di seberang jalan. Di semesta itu, pagi tersulap begitu
semarak. Siulanmu membuat burung-burung berlalu lalang di pusaran magnetmu. Kepakan sayap
yang terdengar seperti tepuk tangan. Kau melangkah tenang dan memanjakan dara
untuk tidak beralih. Sebagian dara bertengger di dahan pohon di ketinggian sana. Polah
anak-anak kecil yang membuatmu tertawa riang. Pohon yang dahannya riang
menyambutmu, daun yang berebut ingin kau petik. Kau masih bernyanyi pada gemericikan tangga
nada air itu. Parade roda-roda yang berputar seperti melambat di sekelilingmu. Tanganmu menebar butir jagung, kemudian dara berhamburan mendekatimu. Rumput-rumput
yang berbaur rasa iri pada binarmu. Kakimu berlarian kecil dan meredam
peluh. Napas tersengal-sengal yang kau lempar bersama senyuman. Sulit ku
tafsirkan, kau membiarkan semesta mengilaukanmu.
Arung Jeram Sungai Citatih |
Aku sedikit malas bangun pagi ini. Mataku masih
terlampau berat untuk terbuka. Hihi. Rasa capek berduet dengan kasur terus menggodaku. Kemarin siang aku baru saja selesai
mengikuti outbond. Yuhuu, Indonesia is absolutely beautiful. Arung jeram Sungai
Cicatih benar-benar menyenangkan. Sukabumi, masih seteduh ketika saya pertama kali ke sana. Dan kebun teh di sini sungguh menenangkan.
Pagi ini aku berangkat rapat Yafindo
di Semanggi. Kami membahas mengenai photo contest Yafindo serta rencana gathering untuk tanggal 13
Oktober besok. Sepanjang perjalanan di busway aku banyak merenung soal negara.
Ah, ternyata aku belum berubah. Dua tahun yang lalu aku berniat untuk berhenti
memikirkan soal politik dan melakukan saja hal-hal yang saya bisa. Tetapi
bahkan saat ini aku masih resah. Padahal aku tahu aku tak bisa berbuat banyak untuk
itu dan lebih baik untuk melakukan hal-hal kecil yang bisa ku lakukan. Kasus
Munir, Wiji Thukul, pesawat kepresidenan, dan kasus hakim MK yang baru saja
tertangkap basah menerima suap sungguh menciderai perasaan rakyat.
Senyum malu-malu milikmu adalah
senyum paling teduh. Mata bulan sabit yang melengkung saat kau tertawa terasa lebih
terang dari purnama. Udara di sekelilingmu sesejuk embun di waktu terpagi. Hari berhujan badai
kau sulap menjadi hari di mana matahari begitu perkasa. Hatimu sejernih air yang
mengaliri sungai-sungai di pegunungan. Tentu saja kau tak sebenderang itu. Kau hanya sedang membuatku mendramatisasi
semua kata-kata tentangmu.
Kesempatan berpapasan denganmu serupa
berjumpa tanggal 29 Februari. Sekalipun bertemu, secepat angin tertiup, kau
berlalu begitu saja. Jari-jarimu yang melambai ke arahku terasa seperti mantra
yang menghanyutkan. Apakah kau menyadari bahwa aku tak hanya memiliki nama tapi
juga rasa?
Sejujurnya, kau tidaklah
seistimewa itu. Jika manusia adalah bintang maka sinarmu tidaklah terang. Seandainya
manusia adalah payung, kau bukanlah yang sepenuhnya meneduhkan kala hujan. Kau
hanya bintang biasa yang berkeliling mengitari duniaku. Kau adalah payung kecil
yang yang ketika tak hujan terlipat rapi di dalam tasku. Tetapi aku tenang
menjinjingmu dalam setiap langkahku. Aku bahagia menyalakan binarmu dalam hatiku.
Cahayamu membuatku bisa melihat tanpa menyilaukan mata. Siapa bilang itu tak
cukup?
Terkadang orang yang kau cintai
adalah yang paling sederhana sinarnya. Aku menaruh hati pada sinar yang
menerobos sela-sela tirai jendelaku. Binarnya tak seterang cahaya-cahaya
lainnya tetapi mengetuk sudut mataku membangunkanku dari tidur panjang.
Sesungguhnya kau sesederhana sinar itu.
Dinding
Doaku adalah menjelma pamflet
Hanya sekadar untuk bersandar padamu
Aku berkhayal tak putus-putus
Sebab di dindingmu
Hanya ada pamflet itu
(Bintaro, 20081116)