WHAT I LEARNED FROM BEING A WRITING COMPETITION JUDGE
By nurimroatun - December 17, 2019
![]() |
source: weheartit.com |
PART 6: LAWAN YANG SEPADAN
![]() |
source: tumblr.com |
(Raya’s POV)
Qué horas son, mi corazón? Ini jam 1 dini hari
dan mengapa aku belum bisa tertidur? Ada apa dengan pertemuan dengannya hari
ini? Mengapa perjumpaan yang seharusnya meringankan beban justru membuat hatiku
makin remuk? Aku meraih ponsel dan menulis kalimat itu di
instagram story-ku. Aku hendak memadamkan ponsel ketika mendapati notifikasi
instagram story seseorang yang kutemui hari ini. Kami mengunggah kalimat yang
sama.
Qué horas son, mi corazón?
Dia mengunggah foto
langit berhias secuil bulan dengan kalimat tersebut dalam waktu yang hampir
bersamaan denganku. Mustahil rasanya Ardhan mencontekku. Aku meletakkan ponselku
kemudian mencoba memejamkan mata. Aku
tidak tahu apakah keputusanku hari ini untuk mem-follow instagram Ardhan
adalah sesuatu yang tepat. Tetapi kenyataan bahwa dia masih mengingat kalimat
yang aku perkenalkan 4 tahun lalu mengusik pikiranku kini. Tidurlah, Raya.
Tidur.
PART 5: Qué Horas son, Mi
Corazón?
(2012)
(Raya’s POV)
“Qué
horas son, mi corazón” aku berdendang lirih bersama jari yang
mengetuk lirih meja.
“’Corazon’, ‘corazon’ apaan sih, Ya?” Aku tak menyadari Ardhana
sudah duduk di sampingku dan melepas earphone kananku lalu memasangkannya ke
telinga kirinya.
“’Qué horas son, mi corazón’ bahasa
Spanyol yang berarti ‘jam berapa ini, hatiku’. "Mi corazón' bisa juga diartikan 'kekasihku'. Bagus ya, Dan,bunyinya ritmis
‘son’, ‘corazón’."
“Kamu serius ya belajarnya sampe pagi-pagi pun dengerin lagu
spanyol. Kirain cuma keinginan impulsif yang besoknya dilupain,” Ardhan
tertawa dengan earphone yang masih bergelayut di telinganya.
PART 4:
Bahkan Jika Aku Harus Merahasiakannya dari Seisi Dunia, Aku Masih Akan
Mengabarimu
![]() |
source: tumblr.com |
“Aku izin buat menjauh dari kamu sementara. Maaf ya, Dan,” dari
suaranya yang gemetaran saja, seseorang pasti tahu seberapa banyak usahanya
untuk mampu berujar demikian.
Ardhan yang semula menenggelamkan wajahnya dalam kedua telapak
tangannya mengangkat wajah untuk memastikan Raya benar yang barusan berucap.
Meski waktu yang panjang telah dilalui bersama, Ardhana kadangkala merasa tidak
mengenal sisi lain Raya. Seperti saat Raya dengan begitu lembut menghiburnya
ketika dia tidak diterima di jurusan sastra ataupun saat ini ketika dia dengan
kelembutan yang sama meminta jarak. Ardhana mengusap keningnya seolah keringat
dingin telah bertengger di sana sedari mula mendengar ucapan Raya.
PART 3: JARAK
KITA SAAT INI
![]() |
source: tumblr.com |
(Raya’s POV)
Semula aku menerka-nerka siapa gerangan di balik paket yang diantarkan
kurir pagi ini. Tetapi melihat pria
berkemeja biru itu menyerahkan bungkusan berwarna merah marun, aku semacam bisa
menebak siapa pengirimnya secara instan. Bergegas
kubuka kertas marun itu untuk mendapati sebuah buku bercover marun juga. Kita selalu tersenyum pada hal-hal kecil
yang mengingatkan kita pada seseorang yang berharga bukan? Ardhana and his unpopular maroon obsession
did it to me today. Kusibak halaman judulnya untuk menemukan pesan yang
ditulis dengan tangannya.
![]() |
source: pixabay.com |
Some writings effortlessly occupied special places in my heart and
“Muse” is one of them.
To tell you the truth, the whole story was inspired by a close
friend’s story. I made the storyline a bit altered from the actual one since I
didn’t want people to be able to guess who that famous writer is (and I bet
you'll be surprised if I reveal his identity. Hoho). But the plot of “being
loved by your idol but couldn’t accept his feeling since you know there’s
someone who deserves him better” is authentic. I recognized my friend’s
feelings and came up with the idea of serving it as fictional writing. She
agreed and even said that she would deliver the story to the “Ikra” in real
life. Guess what? The person behind the persona had read the story :)
PART
2: JARAK KITA HARI ITU
![]() |
source: tumblr.com |
(Raya’s POV)
“Putri,” bisiknya. Meski dia
berusaha berbicara selirih mungkin—seolah-olah rahasia ini hanya boleh didengar
olehku saja, otakku seperti mendengar dentuman yang meledak tepat di samping
telingaku. Aku menoleh dan mendapatinya tersenyum sangat lembut. Detak jantungku
seperti dibekukan oleh kejadian tak terduga ini. Aku tidak menduga akan ada
hari di mana Ardhan tidak melulu berbicara tentang mimpinya menjadi penulis
yang lebih hebat dari kakaknya, Arga. Aku tidak mempersiapkan diri untuk hari
di mana Ardhana Kawi mengambil jeda dari ambisinya dan memberi ruang penting di
pikirannya bagi seseorang. Aku tahu hari semacam ini pasti akan datang tetapi
tidak membayangkan hari itu adalah hari yang sedang kujalani saat ini. Tidak.
Seharusnya hari hatiku retak tidak datang setergesa-gesa ini.
PART 1: JARAK KITA HARI INI
![]() |
source: tumblr.com |
(2015)
(Raya's POV)
(Raya's POV)
Tak seperti biasanya, aku tidak merasa bersemangat mengikuti kelas Kajian Puisi yang akan dimulai sebentar lagi. Tidak ada yang aneh dari hari ini kecuali kenyataan bahwa aku melihat poster acara bedah buku terbaru Ardhana Kawi ketika berjalan ke kelas ini. Teman-teman kelasku bergegas mengetik pesan untuk mendaftarkan diri mengikuti acara tersebut tetapi aku tidak sedikit pun tergerak mengikuti mereka.
“Memangnya
kamu nggak mau dateng, Ya?” Dita yang duduk di belakangku menepuk bahuku. Dia
menunjukkan layar ponselnya yang sedang menampilkan poster acara yang sedang
dibicarakannya.
![]() |
source: suttoncollege.ac.uk |
Isn’t it an art to do something in a unique way?
Audit adalah sebuah seni. Di tengah
rigiditas standar-standar baku, audit membuka ruang kreativitas yang bergandengan tangan dengan aturan tetapi unik secara
penerapan. Guna mengambil keputusan dengan lebih baik, lebih cepat, dan lebih
akurat serta menyesuaikan dengan perkembangan masa, jiwa seni auditor pun
mewarnai proses audit. Bahkan sedari mula, audit adalah seni yang kaya estetika.
Audit berangkat dari himpunan keindahan: seni untuk melihat kebutuhan dari
beragam pemangku kepentingan dan seni memposisikan diri untuk bersikap
independen tetapi bersahabat.
Part 1: Pada Akhirnya Hati Kita Semua Retak dan Patah
![]() |
source: pixabay.com |
Dari ruang tunggu yang disediakan panitia, aku bisa melihat orang-orang mulai berdatangan sembari menenteng buku ketigaku di tangan mereka. Aku masih saja segembira ini setiap kali melihat hasil karyaku berada di genggaman seseorang meski telah bertahun-tahun menjadi penulis. Seolah turut menyangga hatiku, mereka yang menggenggam bukuku adalah kekuatanku untuk menelusuri malam-malam panjang merajut huruf dan kata. Sembari menanti acara dimulai, aku melanjutkan tulisan untuk buku selanjutnya sebelum akhirnya ada sesuatu yang membuat mataku beralih dari layar. Langkah ragu seorang perempuan dengan kamera menggantung di lehernya memasuki ruangan menghentikan jari-jariku dari lari-lari kecilnya di atas keyboard. Aku menarik napas panjang di bawah senyum yang mengembang. Pikiranku memang selalu riuh tetapi tidak pernah segaduh ini. Saat ini, seseorang yang suaranya mengheningkan semua suara lain di telingaku muncul membawa kembali gulungan ombak perasaaan yang tidak aku kenali sebelumnya. Seseorang seharusnya mengabariku bahwa bahkan jika seluruh perasaan dalam puisi dan cerita yang kutuliskan digabungkan, tak akan mampu menjelaskan debar jantung yang dia tinggalkan seusai perjumpaan perdana kami. Begitu juga kini, ketika kali kedua melihatnya, seluruh kata-kata yang hendak kurangkai mendadak melarikan diri.
![]() |
source: wallpaperup.com |
Aku tidak bisa mempercayai sesuatu yang terjadi pada diriku saat
ini. Seseorang yang empat tahun lalu pertama kali membekukan hatiku menjadi
salah seseorang yang berdiri di belakang pejabat yang sedang menggelar
konferensi pers yang sedang kuikuti siang ini. Aku menggenggam kartu pers yang
menggantung di leherku sembari menunduk khawatir tatapannya membuatku lebih
beku lagi. Bertahun-tahun belakangan, perasaanku kepadanya seakan beku tetapi
masih tetap tinggal. Seolah sebongkah es yang dilempar ke perapian, rasa yang
lama terbekukan di sudut hati ini mencair begitu saja.
![]() |
source: thoughtcatalog.com |
Dan hari-hari pun berjalan dengan lumrah bersama ketakjuban
bagaimana bisa aku menerima apapun yang kau lakukan dengan biasa saja. Aku yakin
kau menanggapi perjumpaan-perjumpaan tak sengaja kita sebagai hal yang biasa. Aku
tahu engkau menanggapi cerita-cerita kecil di antara kita dengan biasa saja. Aku,
lebih dari siapapun, mengetahui betapa biasanya segala sesuatu di tengah-tengah kita.
PART 7: ABERRANT DECODING
![]() |
source: trackblasters.com |
“Madhaaa.”
Kepala Naura muncul dari balik pintu. Sosok yang dicarinya tidak terlihat ada
di tempat duduknya biasa meski laptop hitamnya berada di meja. Naura melangkah
perlahan mendekat. Madha tertidur di 3 kursi yang dirapatkan. Badannya
meringkuk agar deretan kursi yang tidak terlalu panjang itu bisa memuat dirinya
yang tertidur lelap. Naura berhenti di dekat kursi kemudian melirik layar
laptop yang masih menyala. Dia baru saja
tertidur, gumamnya. Naura pun kembali ke studio radio dan menunggu sampai
waktu siarannya tiba. Di tanggal 22 Desember 2011 itu, surat-surat yang akan
dibacanya bertema ibu. Semula untuk mengurangi resahnya dia ingin mengganggu
Madha yang biasanya sedang coding tetapi
hari itu sahabatnya itu justru tertidur.
PART 6: THE
LITTLE WORLD WE SHARED
![]() |
source: trackblasters.com |
“Nau...” Bima menahan Naura melanjutkan
obrolan mereka kemudian mengarahkan dagunya ke arah tirai yang baru saja disibak
seseorang. Mata Naura mengikuti arah yang dimaksud.
“Lho kok di
sini?” Naura spontan bertanya.
“Aku juga panitia.
Humpubdok. Hari ini bener rapat gabungan pertama kan ya?” Bima dan Naura
sama-sama mengangguk. Madha berjalan mendekat kemudian ikut duduk lesehan
bersama Bima dan Naura di ruang kecil yang disekat khusus untuk digunakan seksi
Humpubdok, singkatan dari Humas, Publikasi, dan Dokumentasi, sebuah bidang di
kepanitiaan Peringatan 25 tahun universitas mereka itu. “Kamu pasti hasil close recruitment ya ya makanya kita
nggak ketemu pas wawancara. Aku wawancara bareng Bima waktu itu.” Madha
menjelaskan. Close recruitment adalah
mekanisme rekrutmen panitia secara tertutup. Naura ditunjuk secara langsung
oleh ketua bidang Humpukdok untuk ikut menjadi panitia tanpa melalui proses wawancara.
Naura mengangkat alisnya ke arah Bima mempertanyakan bagaimana bisa dia tidak
bercerita kalau dia sudah mengenal Madha.
PART 5: HIGH HEELS
![]() |
source: trackblasters.com |
Naura tidak tahu mana yang sekarang sedang mengganggu pikirannya:
kenyataan bahwa Galen refleks menghindar jauh ketika Naura ingin mendengar
detak jantungnya atau kenyataan bahwa detak jantung Madha terdengar begitu
keras saat dia mendekat. Baik mengetahui maupun tidak mengetahui ternyata sama
rumitnya. Masalahnya juga tidak sesederhana itu: sepertinya yang dia katakan
sebelumnya, bagaimana menerjemahkan detak jantung? Jantung berdetak kencang
tidak melulu secara spesifik ekuivalen dengan perasaan tertentu. It doesn’t even necessarily related to affection. Terlebih bagi Madha yang selama ini tidak memiliki teman
perempuan. How if he was just flustered because never a woman came that close?
Soal Galen, jangankan soal apa arti denyut jantungnya, Naura bahkan tak pernah
mendengar denyut itu dari jarak yang memungkinkannya untuk mendengar. Jika pun
sudah mendengar, dia juga tidak bisa serta merta memaknainya. Jelas ini
membingungkan. Bagi diri seseorang berusia 19 tahun, hal yang terdengar remeh
bagi orang-orang dewasa itu sudah cukup membuatnya sulit tertidur malam ini.
Lebih penting dari detak jantung orang lain, bagaimana dengan detak jantungnya
sendiri? Denyut semacam apa yang dimiliki jantungnya ketika bersama Madha
maupun Galen?