-->

Hello, this is me!

Nur Imroatun Sholihat

Your friend in learning IT audit Digital transformation advocate a-pat-on-your-shoulder storyteller

About me

Hello

I'mNur Imroatun Sholihat

IT Auditor and Storyteller

So I heard you are curious about IT and/or auditing. I'm your go-to buddy in this exciting journey. My typical professional life consists of performing (and studying!) IT audit and managing the award-winning magazine, Auditoria. Armed with a Master of Commerce in Digital Transformation from UNSW Sydney, I'm currently wearing multiple hats—ambassador at IIA Indonesia's Young Leader Community, mentor at ISACA Global, Head of Public Relations at MoF-Cybersecurity Community, and trainer at IIA Indonesia. You'll also find me sharing insights on my YouTube channel, speaking at seminars, and crafting content on LinkedIn. Let's connect and dive into the world of IT and auditing together!

Blog

Showing posts with label fiksi. Show all posts
Showing posts with label fiksi. Show all posts

KAFEIN

Namamu bersinonim dengan kafein, bukan?

Kau menyapa pagi hari dengan sepucuk senyum manis yang membuat rasa kantukku lari terbirit-birit. Tawa malu-malu yang terlukis di wajahmu menyulap kakiku menjadi demikian ringan. Sah saja kau menolak disebut kafein meski hasil tes DNA sekalipun membuktikan hal sebaliknya. Kau tak tampak sebagai kopi tetapi tak lantas kau bukan kafein begitu saja. Kau mewujudkan diri dalam secangkir cokelat hangat yang harumnya menarikku dari kejauhan. Aku bahagia di balik secangkir cokelat hangat yang ku sesap perlahan. Rasa pahitmu tak seberapa sebab tenggelam di antara gundukan gula. Karena kadar yang rendah kau dengan bebas mengalir di darahku berbulan-bulan ini. Tak ada sedikit pun resistensi terhadapmu. Lama kelamaan aku menjadi toleran terhadap kafeinmu. Tak lagi menganggapmu asing—kau bagian dari darahku. Di awal persuaan kita, aku sungguh sulit tertidur karena kau mengajak detak jantungku berlari. Setelah kita berkawan karib, aku tak lagi sulit terlelap meski kau masih di tempat yang sama. Kau tetap tak mau mengaku dirimu kafein?

BUKU CATATAN

Kita bersua lagi setelah beberapa waktu di dimensi yang tak ku duga akan membekukan kita berdua di ruang yang sama. Lama tak berjumpa, kau bersama seseorang kini. Aku mencoba tersenyum meskipun sadar aku bisa saja menatapmu kosong. Aku berhak mempertanyakan mengapa secepat ini aku terlupakan, bukan? Jauh di palung jiwaku, aku menyimpan rasa yang porak poranda terhuyung-huyung karena badai. Kau dahulu adalah angin sepoi-sepoi yang meniup embun perlahan. Sekarang kau adalah badai yang hendak menggulung dan menelanku hilang.

DEFINISI PULANG


Sejatinya bagiku rumah adalah tempat di mana kau berada, ke mana pun kau melangkah. Di jejak telapak kakimu aku menggantungkan alamat. Di koordinat keberadaanmu aku menetap. Pada kediamanmu akan memutuskan bermukim sepanjang hitungan usia. Aku tinggal dalam helaan napas yang kau hirup. Sejauh apapun kau pergi, aku akan berjalan mengikuti. Selarut malam apapun aku selesai berpetualang, aku akan tetap menghampirimu. Seperti biasa, aku akan pulang setelah usai segenap urusan.

PATAH

Ada sesuatu yang selalu membuatku lebih patah hati dari apapun: melihatmu menatap pasrah perempuan yang bertahun-tahun kau cintai bersama seseorang lain. Kau masih saja membiarkan dirimu tersudut di ruang hening seolah menikmati derita yang kau pelihara baik-baik. Matanya berbinar-binar, matamu berkaca-kaca, dan mataku berdarah-darah. Kau melulu berotasi di sekelilingnya bersama kesakitan yang dilemparinya duri kian hari kian jamak. Jangan salahkan bila kini aku begitu ingin memukulmu dan menunjukkan bahwa bumi tempatmu berpijak bukanlah bulatan globe nan kerdil. Jika abai ataupun enggan melihatku, tidakkah kau melihat perempuan lain?

DALAM DOAKU

Aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.- Dalam Doaku, Sapardi Djoko Damono.

Tuhan yang ku hampiri dalam lima waktuku, ada doa yang kubisikkan melalui semesta semenjak mataku terbuka. Doa tak putus-putus itu memohon Engkau melindunginya yang belum kulihat sepanjang waktu ini. Aku belum merasai keberadaannya tetapi yakin di antara bermilyar manusia yang hidup di dunia--dia ada. Engkau yang abadi terjaga dan menjaga, berikan dia kemudahan dalam langkahnya.

UGLY


Aku berkawan denganmu tetapi menggenggam luka setiap bersua denganmu. Kau tertawa renyah dan wajah cantikmu berkilauan. Aku telah ribuan kali menatap kaca berharap cara tersenyummu dapat ku curi. Begitu banyak perempuan, tak terkecuali aku, berhasrat bertukar rupa dengan wajahmu nan rupawan. Kita kerap bersama tetapi aku masih saja terheran-heran menyaksikan pancaran wajahmu. Mengapa dengan tampilan yang terlampau berbeda takdir menyandingkan kita sebagai sahabat terbaik?

TESTIMONI

Rintik hujan memainkan perkusi di jendela kamarnya. Dia terbangun bersama alarm lagu yang sedari lama dia sukai. Lagu lawas dari The Beatles masih setia berjajar di daftar putar ponselnya termasuk lagu yang sedang berdering saat ini. Dibiarkan rambutnya tak beraturan menutupi sebagian wajahnya. Dia memandang gerimis yang syahdu pagi itu. Dia menatap ruangan yang telah berbulan-bulan tak sempat dirapikannya. Dia beranjak dari duduk mematung di samping bantal untuk menata kamarnya.

MELINTASI RUMAH



Kaca jendela bus yang ku tumpangi menangis. Hujan lebat yang kini berdrama ku harap menenangkan diri menjadi gerimis yang romantis. Aku teringat persis bagaimana suara atap rumahku jika terguyur hujan. Dengan suara yang berasal dari kepala, atap bus pun kini menjelma atap rumahku. Tak peduli betapa kekanak-kanakan atau basinya kalimat ini, aku masih mengucapkannya secara tak sadar. Aku ingin pulang.

ELEGI KESEPIAN

Aku tidak membenci sepi. Telah tiba masa aku berdamai dengan kesepian dan mencintainya. Aku berkawan karib dengan hening nan bisu. Jari jemariku menggengam tangannya erat. Aku bernyanyi menghibur sepi yang dihinggapi kesepian. Dia tak lagi ku golongkan kejadian luar biasa. Aku dan sebagian orang mungkin menganggapnya situasi umum yang tak terpisahkan dalam keseharian. Diriku menerimanya apa adanya seperti aku menyetujui kenyataan bahwa makhluk hidup harus bernapas untuk hidup.

MENCURI MALAMKU

Malam itu aku bersua dengan paras yang ku rindukan seumur hidup. Itulah kala pertama hatiku tertaut pada seseorang. Sejak malam itu kau mencuri malamku. Di malam-malam sebelum perjumpaan, aku memimpikanmu dalam tidur. Wajah yang belum ku kenali itu duduk santai mengaduk-aduk alam bawah sadarku. Seusai pertemuan itu, malam memerdekakan diri dariku guna menghampirimu. Malam berdansa lincah denganmu hingga penghujung malam. Karena dirimu, aku tak melintasi satu malam pun tanpa diledek rasa sesal kehilangan. 

KARTU POS

Sepucuk kartu pos tersenyum melayang ke arahku. Tak ada nama pengirim di sana tetapi aku telanjur hafal wujud tulisan tanganmu. Seperti permadani terbang kartu itu melintas dan mengapungkanmu di hadapanku. Bisakah kau berhenti membuatku berimajinasi kau tengah duduk di atas selembar kertas itu?

“Kau yang selalu bertengkar dengan titik, tetaplah bertengkar. Dengan begitu kau akan senantiasa menulis dan aku masih akan terus membaca.”

BUKAN RINDU


Aku tak merindukanmu. Aku hanya ingin melihat wajahmu. Sebutan rindu terlalu sarat untuk ditanggung batin yang papa ini. Sekalipun pada saat melihat wajahmu dan masih tetap ingin bertemu, aku berkeberatan menamainya rindu.

Aku hanya ingin melihatmu. Ini bukan rindu.

KAU DULU, AKU SELALU

Kau berkata melupakan sesuatu hanya sukar di muka tetapi seringan menerbangkan debu kemudian. Kau berujar waktu akan menyembuhkan segalanya bahkan luka yang kukuh mengakar. Ini bukan musim hujan tetapi darahku berguguran ke kaki. Musim bukanlah kemarau tetapi tanah yang ku pijak terasa retak. Kau menepuk pundakku dan menjatuhkan buku di sela jemarimu.

CALLER RING (part 2)



Aku mendengar nada sambungmu yang seolah ditujukan untukku. Iramanya meledek kerinduanku untuk tergesa-gesa berputus asa. Aku berteriak memanggil meskipun aku sadar itu bodoh—mustahil kau mendengarnya. Panggilan dariku seperti bocah kecil yang menarik-narik lengan bajumu--kekanak-kanakan. Suaramu tak pernah membalas di seberang sana. Kau pasti mendengar dering yang kau khususkan untukku berdarah-darah di kamarmu. Mungkin tawamu sedang mengubur bunyi nada dering yang meraung-raung memanggil. Apakah kau sudah tak lagi membiarkan satu nada hanya untuk menandakan bahwa aku yang menghubungi? Kenyataannya, bahkan tak aneh rasanya jika kau sudah membuang nomor teleponku. Kau tak jua menolak panggilanku agar aku berhenti menunggu; kau sedang membiarkanku terlihat semakin bodoh?

CALLER RING (part 1)



Ring ring ring ring..

Aku mendengar nada sambungmu yang seolah ditujukan untukku. Iramanya membuatku teringat rona wajahmu saat mendendangkan lagu favoritmu itu. Segera, suaramu mengalun riang di seberang sana. Aku terdengar begitu tenang menyapamu padahal jantung terbirit-birit memompa darah. Kau tak akan pernah tahu bagaimana perasaanku mendapati suaramu. Telah dua tahun lamanya kita menambatkan batin pada kota yang berlainan. Hari demi hari berlalu menguatkan kemampuan suara memboyong perwujudanmu ke hadapanku. Aku telah sampai pada masa di mana suaramu saja menyulap hariku menjadi berpelangi.

PERIANG

Kau pernah berkata, “Periang hanyalah seseorang yang kesepian.” Kau dan aku berselisih tentang keaslian gegap gempita yang menggema dari para pemandu sorak. Kau mencatat senyum tulus para pendiam dan menuturkan padaku tawa kosong para penggembira. Aku menggeleng keras sembari kembali tersedak gelak tawa.

UNSAID

I don’t even understand why this kind of feeling exists. I want to know everything unsaid between us eventhough there’s nothing to do with our feeling anymore.
Pertemuan kita yang kerap terjadi di masa lalu tidak lagi tersisa. Kita tak lantas berjumpa meskipun menetap di kota yang sama. Jarak kita tak lagi dekat dalam segala perkara. Di masa kita membicarakan hal yang sungguh diperlukan saja, aku dikurung keinginan untuk mempertanyakan ketidakjelasan yang pernah menjadi sekat tipis di tengah kita.

NASI GORENG


Aku yakin setidaknya hingga saat ini kau masih menyukai nasi goreng seolah tak ada menu lain untuk dipilih.

Dulu aku kerap membuatkan nasi goreng karena binar matamu pada sepiring nasi berwarna kecoklatan itu. Lebih sering kau sendiri sibuk mengolah nasi bersama pelengkapnya untuk kau nikmati bersama buku yang tengah kau telusuri kalimatnya. Sepertinya setiap manusia terlahir dengan kemampuan membuat nasi goreng. Kau dan aku sama-sama bisa berdiam di dapur untuk mewujudnya meski dengan alasan yang berbeda. Tetapi tahukah kau mengapa awalnya manusia membuat nasi goreng?

KETIDAKSABARAN


Permisi. Bolehkah aku membenamkan diri ke ruang kesabaran kembali?

Penantian adalah sinonim kesabaran sebagaimana juga sinonim ketidaksabaran. Aku bersembunyi di balik tirai penantian dan terlihat begitu tenang sementara hati enggan putus bertanya-tanya. Aku tak berdaya membedakan bilamana ini ketabahan atau ketidaktabahan. Sering aku tidak mengerti pada kesabaran dan ketidaksabaran yang ku pilih sendiri. Aku meragu pada tahan atau tidaknya aku menghadapi segala pergerakan yang mengguncang batin. Sepertinya lumrah jika ku katakan aku tidak sabar hanya saja aku akan tampak kasihan karenanya. Dengan atau tanpa kesabaran, aku tetap hanya memperoleh yang tertulis untukku saja. Jadi mengapa aku harus kehilangan kesabaran?

YOGYAKARTA




















Yogya menyambutku mendung. Di bawah langitnya ada harapan yang berlarut-larut ku jaga. Aku mendatangi kota ini lagi seolah satu-satunya tujuan perjalananku hanyalah untuk sampai di sini. Udaranya mengusapku perlahan tetapi aku terhuyung-huyung seolah digulung badai. Ada duri-duri di sepatuku yang riang menyemangatiku berjalan. Aku melangkah menyusuri setiap sudut trotoar dan menghibur diri bahwa aku akan menemukan penggalan lagu yang hilang. Tak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa harapan adalah punyaku saja. Namun, aku kembali datang ke kota ini seperti amnesia bagaimana perihnya ditertawakan kehampaan dan kekosongan Yogya.

Videos

Jakarta, Indonesia

SEND ME A MESSAGE