Jenguk aku sebab
hatiku merasa gembira bahkan saat mendengar kau akan menjenguk. Jenguk aku
karena kau tak tahu apa-apa yang terjadi saat kau tak menjenguk. Jenguk aku
sebab jika kau tak menjenguk, ceritaku tak akan terucap pada siapa pun. Jenguk
aku sebab tak mungkin aku terus bercakap-cakap dengan sepi yang membersamaiku. Jenguk
aku karena lara mungkin meringan saat mendengar renyah sapaan tenangmu. Aku mengerti kau demikian sibuk. Aku tahu kau kehabisan waktu berlarian dengan
mimpi-mimpimu tetapi barangkali kau bisa menjenguk dengan alasan kau menghargai masa
lalu.
Showing posts with label fiksi. Show all posts
Showing posts with label fiksi. Show all posts
Di suatu rintik,
dengan mata bulatmu kau menatapku dan bertanya, “Apa yang kau rindukan di bawah hujan?”
Tak sebagaimana
lazimnya menghadapi pertanyaan, otakku tak langsung mencari jawaban atas tanda
tanya tersebut. Aku malah sibuk menelusuri ingatan barangkali aku pernah
membaca di kamus mana hujan bersinonim dengan rindu. Pertanyaanmu terus
berusaha meyakinkanku bahwa rindu adalah padanan kata dari hujan.
APA YANG KAU RINDUKAN DI BAWAH HUJAN
Nur Imroatun Sholihat
December 08, 2015
Kau sungguh
berbeda hari ini. Kita telah saling mengenal sekian lama tetapi saat ini kau
tak lagi sama. Bermula di hari ini segala hal-hal kecil yang natural saja kau
lakukan terasa istimewa. Aku tahu masa ini akan datang tetapi masih saja
bertanya-tanya mengapa butuh waktu demikian lama untuk berganti dengan perasaan
ini. Aku telah menyaksikan setiap detail pesona unikmu terlampau kerap tetapi anehnya baru kali ini aku sepenuhnya mengakui.
WAKTU YANG TEPAT UNTUK JATUH HATI
Nur Imroatun Sholihat
December 02, 2015
Aku tidak
menomorsatukan langit biru sebab langit jinga lebih mengikat batinku. Aku suka
suasana yang syahdu dan damai layaknya senja di pantai ini. Aku suka ketika ombak mendayu-dayu setelah begitu bersemangat sepanjang siang. Aku suka tatkala pasir tersisa hangat karena panasnya telah memudar seiring bergulirnya matahari
ke barat. Aku suka saat kilau jingga menyentuh pipimu seolah ingin terlelap
di wajahmu.
SEJINGGA LANGIT SENJA INI
Nur Imroatun Sholihat
October 30, 2015
Berkawan nyala
lilin nan temaram, aku tanpa sadar tersenyum mengingatmu. Aku selalu merasa
berkecukupan meski cahayanya hanya sekuncup. Aku tidak takut gelap sebab aku bisa
tertidur nyenyak bersama seutas senyummu yang aku simpan dalam saku bajuku.
Besok pagi kita akan bersua. Aku melirik jam dinding yang tahu jantungku
berdetak kencang bersama perjalanan detiknya. Jika besok aku akan bertemu
dengan cahaya yang lebih terang dari lampu, mengapa mengeluhkan lilin
malam ini?
KOTA YANG MENCINTAI LILIN
Nur Imroatun Sholihat
October 25, 2015
Kau
dan aku tengah mewujudkan cita yang sama di daratan yang berbeda. Aku kini
tinggal di kotamu meski kau sedang tinggal di kota lain. Dulu aku tak mengerti
mengapa kau membanggakan betapa eratnya kota kecil ini memelukmu. Kau
berbahagia tumbuh di tanah tempat aku kini berdiri. Langit selalu mendung di
selain kota ini, ujarmu ketika kutanya mengapa berat bagimu pergi mengejar
mimpi ke kota lain. Kota yang kini kupijak tentu istimewa sebab kau menyebut
rumah hanya kepada kota ini.
GULA
Nur Imroatun Sholihat
October 14, 2015
Aku berharap Kanda tidak heran mengapa seseorang sampai menulis
surat kepadamu di masa surat tidak lagi jamak digunakan. Aku pun terheran-heran mengapa jemariku terus menulis seolah yang tidak tertulis mendesak
untuk tertuangkan. Semoga surat kali tidak terlalu panjang seperti biasanya ya,
Kanda.
ASSALAMUALAIKUM, KAKANDA
Nur Imroatun Sholihat
October 02, 2015
UTOPIA
Nur Imroatun Sholihat
September 28, 2015
Dia tersenyum di pagi hari ini. Dia menyapa satu per satu orang dengan
senyum simpul nan semanis gulali. Hati yang berpapasan dengannya pasti meleleh
seperti arum manis yang digemam. September adalah nama belakang dari senyum
yang memendar begitu ringan di wajahnya itu. Dia tersenyum seolah seluruh angin
yang melintas pun menarik bibirnya untuk mengembang. Dia tertawa sehangat
matahari di pagi hari. Dia bertutur
dengan ceria seolah bunga di atas kepalanya bermekaran mendengar suaranya. Dia seperti
diciptakan untuk menjadi seseorang yang menyenangkan begitu saja. Kau pasti
bahagia hanya dengan melihat wajahnya yang merona kemerahan. Dia akan tertawa
renyah pada hal-hal lucu yang kau lontarkan. Dia tak akan segan melempar
candaan yang tak selalu lucu tetapi menghiburmu. Dia semestinya tersenyum di
pagi hari ini, esok, lusa, tubin, dan selanjutnya.
MASIH SEPTEMBER
Nur Imroatun Sholihat
September 19, 2015
PENAKUT
Nur Imroatun Sholihat
September 14, 2015
Kau dengar
bunyi gesekan di pembuluh kapilerku karena darah berlari demikian kencang?
Suara yang terdengar seperti perkusi itu adalah suara detak jantungku yang
melompat-lompat. Aku mendengar suara itu lebih keras ketimbang suaramu. Mungkin
aku terlalu gugup kau berdiri begitu saja di depanku. Kau berbicara seperti
biasanya kau berbicara—aku kehilangan akal cara menyembunyikan degup yang
dengan girangnya berakrobat. Aku curiga kalau-kalau kau juga mendengar
suara-suara itu ketimbang suaramu sendiri. Duh, tenanglah sedikit. Seseorang
yang menyita perasaanku tengah berbicara kepadaku.
LELAKI YANG MENARI DI BAWAH HUJAN
Nur Imroatun Sholihat
September 07, 2015
Aku tahu pertengahan malam ini kau tengah mendoakanku. Kau pernah berujar bahwa kau memang
tidak mengucapkannya tetapi kau terjaga di tengah malam mendoakan seseorang
yang berganti angka. Di pergantian hari ini kau pasti meminta hal-hal baik
untukku. Aku percaya itu meskipun tak pernah berani menanyakan
kebenarannya.
PERGANTIAN HARI
Nur Imroatun Sholihat
September 05, 2015
730
Nur Imroatun Sholihat
August 21, 2015
Aku berhenti terjatuh setelah selama enam tahun terjatuh makin
dalam sepanjang waktu.
Aku
tidak benar-benar tahu sejak kapan tepatnya aku bisa melepaskan diri dari belenggu
yang telah memasungku enam tahun ini. Di masa awal kepindahanku, aku belum jua
berhasil membisukan suaramu yang menggaung di sekelilingku. Kini aku terbangun
mendengar alunan burung berkicau dan terlelap bersama keheningan. Suaramu
menghilang seperti kaset yang telah terlalu lama diputar sehingga rusak. Aku
tak lagi perlu mengusirmu yang selalu duduk santai di dalam mimpiku, kau sudah
tak lagi di sana. Aku melangkah dengan ringan karena tidak lagi membawa beban
perasaan yang menggunung selama bertahun-tahun. Perasaan seperti ini lebih sesuai
bagiku ketimbang perasaan cukup berbahagia hanya dengan mengetahui
keberadaanmu.
ENAM TAHUN (Bagian III)
Nur Imroatun Sholihat
August 06, 2015
Hari yang biru itu adalah hari ini. Detik-detik perpisahan akhirnya menampakkan diri.
Aku tersenyum melepaskan satu persatu orang yang mengantarku. Mataku masih saja refleks mencarimu di antara orang-orang di sekelilingku. Berkali aku memastikan keberadaaanmu barangkali kau baru saja datang. Ketika aku telah memunggungi mereka dalam langkah kepergianku, mataku terasa begitu perih. Hingga detik aku melepaskan pijakanku dari kota ini, bayanganmu sekalipun tak berkelebat. Aku terlampau percaya diri bahwa kau pasti datang. Lebih dari itu, aku terlalu keras kepala untuk tidak mengusir suaramu yang menjadi musik pengiring kehidupanku enam tahun ini.
Aku tersenyum melepaskan satu persatu orang yang mengantarku. Mataku masih saja refleks mencarimu di antara orang-orang di sekelilingku. Berkali aku memastikan keberadaaanmu barangkali kau baru saja datang. Ketika aku telah memunggungi mereka dalam langkah kepergianku, mataku terasa begitu perih. Hingga detik aku melepaskan pijakanku dari kota ini, bayanganmu sekalipun tak berkelebat. Aku terlampau percaya diri bahwa kau pasti datang. Lebih dari itu, aku terlalu keras kepala untuk tidak mengusir suaramu yang menjadi musik pengiring kehidupanku enam tahun ini.
ENAM TAHUN (Bagian II)
Nur Imroatun Sholihat
August 04, 2015
Kau
mendengar rencana kepindahanku bukan?
Kini saat
aku tidak akan lagi berdiam pada kota yang sama denganmu, aku menyadari betapa
lamanya aku berdiam pada hati yang sama. Telah begitu lama aku seolah mendengar tawamu sepanjang waktu. Betul kita berada di kota yang sama tetapi kau tak sedang
dekat maupun berucap saat aku terus mendengar suaramu. Aku ingat ketika pertama
kali kau tak sengaja membaca namamu di buku catatanku lalu aku terdesak
mengakui perasaanku. Kejadian itu masih terasa memalukan bahkan setelah enam
tahun berlalu. Aku masih mengingat ketika terakhir kali kita berjumpa dan kau
tetap bersikap seolah aku tak pernah berucap apa-apa. Kau tahu perasaanku dan
menganggap seolah tidak terjadi apa pun.
ENAM TAHUN (Bagian I)
Nur Imroatun Sholihat
August 03, 2015
Setelah
musim kemarau dan musim penghujan bergiliran menemani, aku masih tidak melihat bayangan yang berjalan mendekat. Air hujan yang seharusnya dingin terasa hangat
sebab badanku lebih beku dari dingin itu. Angin kering kemarau membelaiku
sangat kasar. Jika hendak menyerah, aku akan melakukannya sejak pergantian
musim pertama. Aku tak menyerah sebab ternyata tidak menunggu lebih melukai.
Namun, kau tak boleh beranggapan aku tidak mungkin berputus asa. Cerita
tentangmu adalah cerita tentang seseorang yang seharusnya sudah sampai.
Bukankah tak seharusnya salah satu dari kita terlambat datang dalam sebuah
perjanjian? Kini aku sendiri berdiri di titik pertemuan tanpa seseorang
menemuiku. Atau aku berdiri di tempat yang salah? Atau kau berbalik arah
dari kejauhan enggan menemui seseorang sepertiku?
RINDU
Nur Imroatun Sholihat
July 06, 2015
Kau membawakan untukku sekeranjang
harapan. Tanpa sempat berpikir, aku menjinjingnya kapan pun aku melangkah. Tentu saja aku tak
mengerti apa yang tengah terjadi denganku. Aku
terlalu bahagia untuk menganalisis perasaanku sendiri. Sebenarnya ada rasa khawatir aku
akan menjelma pungguk merindukan bulan jika tak tepat menangkap maksudmu.
Kau menyatukanku dengan perasaan yang terlampau hebat untuk ditanggung oleh
batin. Seperti yang Milan Kundera tuliskan, aku tak tahu apakah ini histeria
atau cinta. Kau yang seterang bulan tiba-tiba memberikan sinarmu hanya untuk
menjadi lampu sorot ke mana pun aku bergerak.
LAMPU SOROT
Nur Imroatun Sholihat
June 10, 2015
Kau mengambil lakon yang berlainan di nyata dan ilusiku
Aku tak bisa mengingat kapan terakhir kali kita bersua
Seberapa jauh kita di dunia nyata
Di dalam nyata, kau hanya satu dari sekian ratus orang
yang berlalu-lalang
Kita justru kerap berpapasan di dalam tidurku
Selalu mengambil naskah dalam pementasan mimpiku
Kadangkala kau menyamar pohon rimbun di latar hutan
Kadang kau hanya terdiam di sudut ruangan
Mengamati gerak-gerik mimpiku
Tak jarang kau berjalan santai di kejauhan sana
Tempat yang tak mungkin kaki-kakiku hampiri
Lalu apa gunanya kau sesekali memanggilku dengan gerakan
tangan lalu menghilang begitu saja
Terakhir, kau terlihat duduk santai membaca koran di ruang
tamu rumahku
Pemeran tanpa dialog ataupun monolog
PERAN
Nur Imroatun Sholihat
May 27, 2015
Setahun berlalu
sejak aku terakhir kali berziarah ke tempat pembaringanmu. Ketika aku melintasi
kamar tempat dulu kau tertidur panjang, ada nyeri yang terlalu gelap untuk
disebut sebuah emosi. Aku tak tahu apakah aku sanggup singgah ke kamar itu seandainya pun kau masih di sana. Langit masih abu-abu hari ini. Dahan tua di samping kamar
itu menua. Aku masih membayangkan
keranjang pesanku utuh tergeletak di meja kamar itu. Semenjak kau terlelap teramat
nyenyak, aku gentar pada koridor panjang yang tengah ku lintasi ini. Aku takut
karena aku kembali bisa mendengar harapan, doa, tangis, dan kepasrahan yang
menggantung di langit-langit rumah sakit. Dalam ketiadaan derit napasmu, aku
bisa mendengar tangisku sendiri.
SINGGAH 5
Nur Imroatun Sholihat
May 11, 2015